Sunday, January 27, 2008

Melbourne, Surga bagi Pejalan Kaki


*Ada Tram yang Siap Mengantar ke Mana Saja

Safitri Rayuni
Borneo Tribune

Di negeri Kangguru, Melbourne adalah satu-satunya kota dengan layanan transportasi umum tram (kereta listrik-ed). Kereta tersedia di jalan-jalan umum maupun di jalur stasiun kereta api bawah tanah.
Ada tiga stasiun bawah tanah yang saling terhubung, Melbourne Central Station, Flinders Station dan Southern Cross Station.

Dengan begitu, akses menuju pinggir-pinggir kota semakin mudah. Berjalan kaki ke mana saja terasa nikmat, karena ada sarana transportasi yang mudah dan murah.
Tak heran bila warga Melbourne umumnya lebih senang berjalan kaki ketimbang punya mobil sendiri. “Disamping memang tidak punya mobil pribadi, pajak kendaraan yang ditetapkan pemerintah juga amat tinggi. Begitu juga harga bahan bakar gas yang harus dibeli,” terang Alexandra Kennedy, program officer kami saat mengikuti ALA Fellow untuk economic reporting di Melbourne, Canberra dan Sydney, bulan September 2007 lalu.
Tak hanya itu, kenyamanan menikmati fasilitas transportasi tram ini hanya dihargai AU$1,69/hari dengan membeli sebuah met card (tiket). Kecuali hari Minggu, tiket naik menjadi AU$ 2. Tiket bisa didapat di dalam tram, atau di supermarket, juga mesin otomatis di pinggir-pinggir jalan. Setiap harinya, tiket berlaku hingga pukul 23.00, dan bisa digunakan di jalur tram manapun di seluruh pusat Kota Melbourne.
Validasi tiket dilakukan di dalam tram. Di sisi tempat duduk tersedia mesin validasi tiket otomatis. Ada dan tak ada petugas pengawas, warga dengan tertib memvalidasi tiket mereka.
Jika ketahuan ada yang naik tram tanpa tiket, akan dikenai denda sebesar AU$ 3 dan wajib membeli tiket tram saat itu juga. “Uang yang keluar sih tak seberapa, tapi malunya itu,” ujar Ricky Binihi, teman saya dari Vanuatu, sesama turis di Melbourne.
Turis dan pejalan kaki benar-benar dimanjakan dengan sistem transportasi ini. Berjalan dari Lygon street, tepatnya dari apartemen Quest on Lygon, tram hilir mudik setiap hari. Tinggal menanti di tengah jalan, timer penunjuk waktu memberi lampu dan informasi waktu, kedatangan tram dengan rute 1 atau 8 di Lygon Street akan tiba beberapa menit lagi.
Stop di pemberhentian 6, kami tinggal berjalan kaki lima menit menuju Victoria Market. Pasar tekstil dan barang-barang murah. Ada wine atau anggur yang harganya 10 dollar/botol. Ada sepatu dan pakaian, souvenir dengan harga miring dan bisa ditawar di sana.
Jika memilih stop di pemberhentian 8, kami bisa berjalan menyusuri factory outlet di depan Melbourne Central Station. Stasiun kereta api listrik bawah tanah ini menghubungkan jalan-jalan utama di jantung Kota Melbourne. Saya pernah mencoba sendiri naik satu kereta dari masjid Westall di Monash University pulang ke apartemen. Waktu tempuh 30 menit, dari Westall, saya tiba di apartemen Quest. Mudah, murah dan tidak tersesat. Peta ada di mana-mana, di dinding stasiun. Bagian informasi selalu ada di sudut stasiun untuk membantu, terlebih jika melihat Anda memegang peta, warga sana juga dengan senang hati membantu menunjukkan jalan tujuan Anda.
Tak hanya kereta listrik bawah tanah. Tram di jalur utama juga menjadi objek wisata yang menarik. Khususnya tram dengan desain kuno, cat cokelat yang hampir memudar dengan suara yang khas lebih diminati. Karena sopir tram umumnya pria-pria tua dengan kepiawaian bercerita yang baik. Jalan tujuan selanjutnya akan dikabari melalui loadspeaker, termasuk sejarah dibangunnya jalan, serta fasilitas perbelanjaan apa saja yang ada di ruas jalan yang dilalui tersebut. Informasi disampaikan secara akurat dan baik. Pelayanan yang ramah, hangat dan bersahabat, membuat wisatawan selalu tertarik untuk naik tram kuno ini. Meski jumlah tram kuno hanya ada dua unit, menyusuri La Trobe Street, Spencer Street dan William Street, wisatawan tak jemu mengunjungi pusat perbelanjaan seperti DFO di sana.
Jika dibandingkan dengan Pontianak, yang memiliki topografi sama datarnya dengan Melbourne, saya kadang merasa sedih. Di Pontianak, para pejalan kaki seakan orang asing di kota ini. Trotoar dibuat seadanya dan terputus-putus.
Syukur-syukur jika ada pohon rindang sebagai peneduh, kadang trotoar ditanami bunga aneka warna sebagai penghias. Jangan bicara soal pelayanan transportasi umum. Kota Pontianak mewajibkan warganya memiliki motor dan mobil sendiri.
Hidup tanpa motor dan mobil, hanya mengandalkan oplet dan bus kota dengan jumlah dan aksesibilitas terbatas di ruas-ruas jalan, ibarat hidup tanpa kaki. Setiap remaja yang beranjak dewasa diajarkan untuk memiliki motor atau mobil sendiri. Kalikan saja jumlah remaja di kota ini, dan hitung apabila satu remaja memiliki motor masing-masing, ditambah jumlah KK dari 500 ribu jiwa di Kota Pontianak. Katakan saja, hanya 20 persen yang memiliki motor, maka sudah 1.000 unit motor yang ada. Belum lagi mobil. Bisa dibayangkan kota ini akan mengulang sejarah macetnya Kota Jakarta.