Sunday, January 27, 2008

Wisata Sejarah di Soveregn Hill


*Menguak Perburuan Harta 200 Tahun Silam

Safitri Rayuni
Borneo Tribune, Ballarat, Australia

Sehari sebelum melanjutkan perjalanan wisata ke Ballarat, Australia, saya menyempatkan diri datang ke Museum China di China’s Town di pusat Kota Melbourne. Di sana diceritakan bagaimana penduduk China melakukan perjalanan selama lebih dari dua bulan menuju daratan Australia. Tujuannya satu. Emas

Pun begitu warga Eropa yang tertindas dan hidup miskin di negaranya. Menuju benua Australia, dengan satu tujuan. Emas. Perburuan ini ternyata akhirnya berujung pada pertumpahan darah. Perebutan, peperangan, dan akhirnya perbudakan.
Kini, Ballarat dijadikan sebagai salah satu pusat wisata sejarah dengan aksesn kota kuno. Penghuninya sebagian besar adalah sukarelawan dari pusat kota Ballarat dengan pakaian tradisional kuno Australia. Mereka menjadi guide dan penghibur di sana, secara khusus menampilkan aksi teatrikal kota kuno itu pada zamannya.
Berjalan ke Ballarat hanya memakan waktu sati jam dari Melbourne. Di sana sangat dingin, karena kontur alamnya pegunungan. Desain bangunan amat khas sesuai pada zamannya. Mesin penambang emas bekerja seolah-olah nyata, pun penambangan bawah tanah yang kami masuki, masih menyisakan sejuta kisah dan misteri yang terpendam. Di dalamnya ada layar besar menampilkan film sejarah, juga kereta yang melaju kencang membawa kami keluar dari gelapnya lorong tambang emas nan panjang.(bersambung)

Read More..

Melbourne, Surga bagi Pejalan Kaki


*Ada Tram yang Siap Mengantar ke Mana Saja

Safitri Rayuni
Borneo Tribune

Di negeri Kangguru, Melbourne adalah satu-satunya kota dengan layanan transportasi umum tram (kereta listrik-ed). Kereta tersedia di jalan-jalan umum maupun di jalur stasiun kereta api bawah tanah.
Ada tiga stasiun bawah tanah yang saling terhubung, Melbourne Central Station, Flinders Station dan Southern Cross Station.

Dengan begitu, akses menuju pinggir-pinggir kota semakin mudah. Berjalan kaki ke mana saja terasa nikmat, karena ada sarana transportasi yang mudah dan murah.
Tak heran bila warga Melbourne umumnya lebih senang berjalan kaki ketimbang punya mobil sendiri. “Disamping memang tidak punya mobil pribadi, pajak kendaraan yang ditetapkan pemerintah juga amat tinggi. Begitu juga harga bahan bakar gas yang harus dibeli,” terang Alexandra Kennedy, program officer kami saat mengikuti ALA Fellow untuk economic reporting di Melbourne, Canberra dan Sydney, bulan September 2007 lalu.
Tak hanya itu, kenyamanan menikmati fasilitas transportasi tram ini hanya dihargai AU$1,69/hari dengan membeli sebuah met card (tiket). Kecuali hari Minggu, tiket naik menjadi AU$ 2. Tiket bisa didapat di dalam tram, atau di supermarket, juga mesin otomatis di pinggir-pinggir jalan. Setiap harinya, tiket berlaku hingga pukul 23.00, dan bisa digunakan di jalur tram manapun di seluruh pusat Kota Melbourne.
Validasi tiket dilakukan di dalam tram. Di sisi tempat duduk tersedia mesin validasi tiket otomatis. Ada dan tak ada petugas pengawas, warga dengan tertib memvalidasi tiket mereka.
Jika ketahuan ada yang naik tram tanpa tiket, akan dikenai denda sebesar AU$ 3 dan wajib membeli tiket tram saat itu juga. “Uang yang keluar sih tak seberapa, tapi malunya itu,” ujar Ricky Binihi, teman saya dari Vanuatu, sesama turis di Melbourne.
Turis dan pejalan kaki benar-benar dimanjakan dengan sistem transportasi ini. Berjalan dari Lygon street, tepatnya dari apartemen Quest on Lygon, tram hilir mudik setiap hari. Tinggal menanti di tengah jalan, timer penunjuk waktu memberi lampu dan informasi waktu, kedatangan tram dengan rute 1 atau 8 di Lygon Street akan tiba beberapa menit lagi.
Stop di pemberhentian 6, kami tinggal berjalan kaki lima menit menuju Victoria Market. Pasar tekstil dan barang-barang murah. Ada wine atau anggur yang harganya 10 dollar/botol. Ada sepatu dan pakaian, souvenir dengan harga miring dan bisa ditawar di sana.
Jika memilih stop di pemberhentian 8, kami bisa berjalan menyusuri factory outlet di depan Melbourne Central Station. Stasiun kereta api listrik bawah tanah ini menghubungkan jalan-jalan utama di jantung Kota Melbourne. Saya pernah mencoba sendiri naik satu kereta dari masjid Westall di Monash University pulang ke apartemen. Waktu tempuh 30 menit, dari Westall, saya tiba di apartemen Quest. Mudah, murah dan tidak tersesat. Peta ada di mana-mana, di dinding stasiun. Bagian informasi selalu ada di sudut stasiun untuk membantu, terlebih jika melihat Anda memegang peta, warga sana juga dengan senang hati membantu menunjukkan jalan tujuan Anda.
Tak hanya kereta listrik bawah tanah. Tram di jalur utama juga menjadi objek wisata yang menarik. Khususnya tram dengan desain kuno, cat cokelat yang hampir memudar dengan suara yang khas lebih diminati. Karena sopir tram umumnya pria-pria tua dengan kepiawaian bercerita yang baik. Jalan tujuan selanjutnya akan dikabari melalui loadspeaker, termasuk sejarah dibangunnya jalan, serta fasilitas perbelanjaan apa saja yang ada di ruas jalan yang dilalui tersebut. Informasi disampaikan secara akurat dan baik. Pelayanan yang ramah, hangat dan bersahabat, membuat wisatawan selalu tertarik untuk naik tram kuno ini. Meski jumlah tram kuno hanya ada dua unit, menyusuri La Trobe Street, Spencer Street dan William Street, wisatawan tak jemu mengunjungi pusat perbelanjaan seperti DFO di sana.
Jika dibandingkan dengan Pontianak, yang memiliki topografi sama datarnya dengan Melbourne, saya kadang merasa sedih. Di Pontianak, para pejalan kaki seakan orang asing di kota ini. Trotoar dibuat seadanya dan terputus-putus.
Syukur-syukur jika ada pohon rindang sebagai peneduh, kadang trotoar ditanami bunga aneka warna sebagai penghias. Jangan bicara soal pelayanan transportasi umum. Kota Pontianak mewajibkan warganya memiliki motor dan mobil sendiri.
Hidup tanpa motor dan mobil, hanya mengandalkan oplet dan bus kota dengan jumlah dan aksesibilitas terbatas di ruas-ruas jalan, ibarat hidup tanpa kaki. Setiap remaja yang beranjak dewasa diajarkan untuk memiliki motor atau mobil sendiri. Kalikan saja jumlah remaja di kota ini, dan hitung apabila satu remaja memiliki motor masing-masing, ditambah jumlah KK dari 500 ribu jiwa di Kota Pontianak. Katakan saja, hanya 20 persen yang memiliki motor, maka sudah 1.000 unit motor yang ada. Belum lagi mobil. Bisa dibayangkan kota ini akan mengulang sejarah macetnya Kota Jakarta.

Read More..

Krisis Air Baku di Australia,Mandi 7 Menit, Cuci Mobil 2x Sebulan


Safitri Rayuni
Borneo Tribune, Australia

Berhemat air. Inilah yang tengah dilakukan pemerintah Australia dalam memproteksi negaranya dari krisis air baku yang berkepanjangan. Uniknya, peraturan diterapkan di semua lini kehidupan yang berhubungan dengan air. Saya ambil contoh mandi dan cuci mobil.

Di Sunbury Hall, asrama mahasiswa Victoria University ini menerapkan aturan mandi tidak lebih dari tujuh menit bagi penghuninya. Di kamar mandi, imbauan ini ditempel dengan imbauan halus dan sangat konfirmatif. ‘Jika Anda mandi tidak lebih dari tujuh menit, itu berarti Anda membantu menghemat air sekitar 4.500 liter/minggunya’. Ajaibnya, semua siswa mematuhi aturan mandi dengan shower tersebut.
Tak hanya itu, pemerintah Victoria, Australia juga mengimbau warganya untuk mencuci mobil hanya dua kali dalam satu bulan. Semua warga mematuhi peraturan tersebut, dengan kesadaran tinggi, meski tanpa sanksi yang diterapkan pemerintah. Menariknya, Menteri Lingkungan Hidup Victoria pun secara kooperatif menulis surat imbauan kebijakan cuci mobil itu ke email-email warga, dan sms melalui operator telepon resmi, Vodafone.
Australia pada umumnya, termasuk negara bagiannya, Victoria saat ini tengah mengalami krisis air baku. Catatan terakhir di dalam laporan harian The Age bulan Oktober lalu menyebutkan cadangan air baku dalam penampungan air di Australia saat ini hanya sekitar 39,6 persen saja. Ini merupakan masalah besar bagi pemerintah Australia.
Display pengumuman persediaan air ini ditampilkan setiap hari di kolom bawah halaman muka.Tak hanya krisis air baku, krisis air untuk irigasi (pengairan pertanian) juga menjadi masalah di sini. Dalam perjalanan untuk mengeksplorasi kota kuno penambangan emas ‘gold rush village’ di Kota Ballarat, Victoria, saya mendapat cerita menarik tentang masalah pengairan untuk pertanian ini.
Asisten program Australian Leadership Award (ALA) Fellow, Greg Burchel mengatakan saat ini tingkat kekeringan sudah mencapai puncaknya. “Ini adalah kekeringan yang paling besar dalam kurun waktu 30 tahun terakhir ini,” kata pria berusia 54 tahun ini. Sepanjang perjalanan menggunakan kereta api listrik ke Ballarat, Greg bercerita banyak
Pertama kami naik tram dari apartemen Quest Lygon di Jalan Carlton Melbourne, menuju stasiun kereta Soutern Cross. Perjalanan dengan kereta api listrik ini ditempuh selama dua jam, hingga tiba di Ballarat, kota tua di sebelah tenggara Melbourne. Cukuplah untuk bercerita banyak tentang persoalan besar yang menimpa pertanian di sini.
Pun di sepanjang perjalanan, tampak kampung-kampung petani dan peternak di pinggir kota. Aroma tanah yang lama tak tersiram hujan merebak. Belum lagi pohon-pohon meranggas di sepanjang jalan. Tandus. Tanah-tanah retak, rumput hijau kekuningan, yang juga masih dimamah ternak. Lapang. Namun tandus.
Juga beberapa industri pertambangan gas dan platina. Meski terbilang tandus dari pepohonan, namun ternak masih dapat menikmati rumput yang terbentang luas sepanjang peternakan. Rumput-rumput ini kata Greg memang dipelihara dan dipupuk dengan subsidi dana dari pemerintah.
Lahan yang luas dan panjang ini hanya dibangun beberapa rumah sebagai tempat tinggal bagi peternak dan petani. Tanaman pertanian di sepanjang jalan ini juga tidak begitu banyak jenisnya. Ada kedelai dan sedikit kebun anggur. “Lebih banyak menjadi peternak di sini, ketimbang petani,” kata asisten program APJC, Greg Burchel dan project officer Alex Kennedy hamper bersamaan.
Dijelaskan Greg, beberapa daerah adalah proyek pemerintah yang dikembangkan. “Petani diberi cash untuk mengembangkan pertaniannya. Problem besar yang dihadapi adalah kekurangan air, sehingga banyak tanaman yang mengalami stress karena kekurangan air,” katanya.
Mensiasati persoalan ini, Australia mengambil persediaan air tidak hanya dari laut, namun juga dari tanah dan menadah air hujan.
Mouzinho Lopez, teman dari Timor Leste yang duduk di samping saya tampak sedang asik membaca koran pagi itu. Judul headline di The Weekend Australia hanya dua kata: Deepening Crisis dengan memampang foto besar Perdana Menteri Australia John Howard dan Peter Costello yang digadang-gadang bakal menggantikannya.
“Persoalan ketersediaan air dalam jumlah besar memang menjadi persoalan besar bagi Australia. Meski sejauh ini untuk memenuhi kebutuhan air baku di wilayah perkotaan mereka mampu mengatasinya,” timpal Mouzinho sembari menunjuk berita di halaman dalam.
Namun pengairan untuk kawasan pertanian menjadi ancaman serius. Para ahli di ANZ memprediksi ekspor produksi pertanian Australia terancam menurun drastis dibanding tahun lalu. Seorang dosen dari Timor Timur, Marselukatanus yang sedang mengambil program Pasca Sarjana di Victoria Universiti juga mengatakannya kepada saya.
Menurutnya persoalan kekeringan dan kekurangan air sempat menjadi masalah luar biasa di sini. “Tetapi campur tangan pemerintah yang luar biasa mampu men-support para ilmuwan untuk mengembangkan sistem pertanian lahan kering di sini,” terangnya.
Dijelaskannya pertanian lahan kering atau lebih dikenal dengan primaculture tidak banyak memerlukan suplai air dan tidak memakai bahan kimia apapun. Semua cadangan nutrisi atau pupuk diambil dari alam. Di Indonesia model pupuk dari alam ini dikenal dengan pertanian organic.
“Namun ini tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri-sendiri. Ilmuwan dengan konsepnya, petani dengan kesulitannya, dan pemerintah dengan dana yang besar menjalankan program dengan caranya sendiri,” kata Marselukatanus.
Ia mencontohkan pertanian tradisional yang dikelola secara moderen di Moluala, sekitar 300 kilometer dari Melbourne. “Pertanian anggur dan kedelai di sana hamper semua memakai tenaga mesin, termasuk untuk pengairan dan pemupukan. Campur tangan pemerintah sangat banyak, terutama dalam pembiayaan. Tidak mungkin to, kita punya konsep kita juga yang mendanainya, itu akan sangat berat,” kata pria ini dengan logat Titum, bahasa daerah yang menjadi bahasa kebangsaan Timor Timur atau Timor Leste, sejak berpisah dari Indonesia pada 1999 lalu.
Kim Wells, anggota parlemen dari Partai Buruh, saat makan siang di Parlemen Victoria mengatakan, saat ini cadangan air baku di penampungan pemerintahan Australia hanya sekitar 36 persen saja. “Ini menjadi masalah termasuk bagaimana caranya meningkatkan hasil pertanian dalam musim kemarau seperti ini. Perlu biaya yang sangat besar,” katanya. Dikatakan Kim, pemerintah Australia akan menghabiskan sekitar 8 miliar dollar amerika untuk ini. “Bukan biaya yang kecil untuk menjadikan salt water (air laut) menjadi fresh water (air siap pakai),” terangnya.

Read More..

Monday, January 21, 2008

Ermy Muchtar, Ibu UKM Kalbar Itu Kini Terbaring Sakit


*Mahalnya Biaya Pengobatan, Terpaksa Menguras Tabungan Haji

Sebuah jeweran buat pemerintah yang sudah banyak dibantu mengharumkan nama daerah dalam berbagai ekspo nasional, namun susah untuk memberi kepedulian, meski secuil, mereka berjanji membantu namun tak kunjung datang, janji menjenguk hanya dibibir saja.

Safitri Rayuni
Borneo Tribune

Tak sedikit pelaku usaha kecil dan menengah di Kalbar yang berhasil ia dorong untuk maju. Mulai dari pengusaha catering kue hingga pengusaha kerajinan keladi air di Kalbar, telah banyak yang mampu menembus pasar internasional berkat jasa pemasaran beliau.
Ialah Ermy Muchtar, sosok aktif yang sehari-hari mengemban amanah berat di pundaknya. Jabatan sebagai Sekjen Forda UKM Kalbar agaknya dihayati Ermy sebagai amanat yang akan ia pertanggungjawabkan kepada Sang Khalik. Karenanya, tak heran dalam satu hari, Ermy yang biasa menjadi tutor bagi koperasi-koperasi ini berada di banyak tempat.

Kesibukan menuntutnya tetap giat di usia 57. Selain aktif sebagai Sekjen Forda UKM, Ermy juga berkiprah sebagai Sekretaris DPD Golkar Kalbar dan Ketua Unit Usaha Peningkatan Pendapatan Kesejahteraan Keluarga (UPPKS) Kalbar.
Ia yang juga membuka catering kue di rumahnya ini, hidup secara sederhana. Sedikit demi sedikit Ermy mengumpulkan uang untuk mewujudkan cita-cita yang lama ia pendam. Berangkat Haji. Panggilan itu terus terngiang di telinga Ibu kelahiran 22 Agustus 1950 ini.
Tapi kini, uang tabungan itu harus terpakai untuk biaya pengobatan yang tidak sedikit. Sekali tebus resep saja, keluarga harus menghabiskan tak kurang Rp800.000. Sementara bantuan yang mengalir tak seberapa. “Sampai hari ini kami hanya menerima bantuan sebesar Rp860 ribu mbak, terpaksa harus mengorbankan tabungan haji Ibu,” ungkap Aria Sari berlinang air mata.
Ia sangat sedih mengingat betapa uang itu dikumpulkan Sang Bunda dengan susah payah. “Dia selalu bermimpi suatu saat uang itu akan ia pakai untuk berhaji. Sebenarnya kami (keluarga-ed) sudah akan membawa Ibu pulang hari ini, tetapi dokter mengatakan Ibu masih harus dirawat selama dua minggu lagi, ditambah Ibu menolak, katanya tunggu sampai bisa berjalan,” cerita Aria lirih.
Upaya menggunakan Askeskin juga ditempuh pihak keluarga. Namun sayang, askeskin itu tidak berlaku di rumah sakit swasta. Padahal dalam kesehariannya, Ermy aktif membantu Dinas Kesehatan Provinsi Kalbar untuk mendapatkan anggota izin kesehatan gratis dari berbagai UKM. Program Dinkes yang rutin diberlakukan setiap tahun bagi pelaku usaha-usaha kecil dan menengah.
Meski demikian, Ermy selalu takjub ketika anak-anaknya mengatakan biaya pengobatannya sudah teratasi. Meski dengan suara tak jelas, ia juga mengingatkan anak-anaknya untuk membayar telepon dan urusan rumah lainnya. “Kata dokter, ibu terlalu banyak urusan dan berpikir keras setiap hari,” ujarnya. Keempat anak Ermy dengan setia menemani Sang Bunda. Meski kadang Ermy memanggil nama mereka dengan suara yang tidak jelas, mereka selalu mencoba berkomunikasi dengan ibunya.
sosok Ermy terbaring tak berdaya di RSS Antonius. Ketika saya menjenguknya, Sabtu (19/1) siang lalu, Ermy yang dirawat di Matheus kamar 210 terlihat sangat lemah. Kata Aria Sari, putri ke-2 nya, Ermy tak mampu berjalan. Kalau bicara terbata-bata. Ini akibat serangan stroke yang menderanya, Sabtu (12/1) lalu.
Pagi itu, pukul 05.00 WIB Ermy yang sehari sebelumnya masih tampak sehat dan sibuk dengan aktivitas, terbaring tak berdaya di kamarnya, usai salat subuh. “Dari mulutnya keluar busa, kami panik dan segera melarikannya ke RSSA, dan harus dirawat di ICU selama empat hari,” kisah Aria. □

Read More..

Friday, January 18, 2008

*Kenaikan Harga Kedelai Disperindagkop Tawarkan Empat Opsi bagi Pengusaha Tempe

Agus Wahyuni
Borneo Tribune, Pontianak

Sedikitnya 70 perwakilan produsen tempe dan tahu di Kota Pontianak melakukan pertemuan dengan Disperindagkop UKM Kota Pontianak, Kamis (17/1) kemarin. Mereka mengeluhkan kenaikan harga kedelai yang berdampak luas bagi pelaku usaha kecil di Kota Pontianak.

Tak hanya pabrik tahu tempe yang sempat mengalami kevakuman, penjual gorengan juga mengeluh akan kenaikan harga komoditas satu ini.
Menyikapi persoalan ini, Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Disperindagkop UKM) Kota Pontianak memberikan empat opsi kepada para pengusaha tahu tempe.
Dinas ini berharap sektor riil ini tidak lantas gulung tikar akibat naiknya sejumlah bahan pokok dan pangan. Empat opsi ini adalah mengkombinasikan bahan baku kedelai untuk produsen, dengan harga tetap, dengan cara mengurangi bahan baku kedelai.
Kedua, merevarasi mesin-mesin produksi tahu tempe, agar bahan baku kedelai tidak banyak terbuang. Ketiga, mengkombinasi bibit unggul melalui kerjasama dengan dinas tanaman pangan, sehingga kualitas kedelai mendekati dengan hasil impor.
Keempat, mendirikan sebuah koperasi tahu tempe di bawah naungan Disperindagkop dan UKM, tujuannya untuk menstabilkan harga dan menentukan harga jual.
Pertemuan yang dipimpin langsung Kepala Disperindagkop, Utin Hadidjah dan distributor kedelai Kota Pontianak, Andreas berujung pada sejumlah kesepakatan.
Utin mengatakan, harga kedelai dalam tiga tahun terakhir mengalami fluktuasi, dari Rp3.500 sekarang, mencapai Rp8.000. Naiknya harga kedelai di pasaran disebabkan karena Indonesia masih mengimpor dari negara Amerika dan Argentina sebanyak 75 persen, sedangkan 25 persen hasil petani lokal.
“Sementara permintaan pasar terus meningkat, dan berkurangnya stok kedelai sehingga menaikkan harga,” kata Utin. Ia menambahkan, berkurangnya stok kedelai di dalam negeri juga disebabkan sebagian petani beralih ke tanaman jagung. Harga jual jagung sebagai bahan baku ethanol dan methanol untuk bahan bakar biodiesel dinilai lebih tinggi.
Penghapusan Bea Masuk Tak Berpengaruh
Andreas mengatakan, kebijakan pemerintah menghapuskan biaya masuk yang semula 10 persen menjadi 0 persen untuk 21 Januari nanti diprediksi tidak berpengaruh pada penurunan harga jual kedelai di pasaran. Ini disebabkan sekarang nilai tukar rupiah terhadap dollar meningkat menjadi Rp9.500.
Tetapi Andreas berencana tetap berusaha menekan harga jual kepada produsen di pasaran. Sementara produsen tahu di Jalan Parit Pangeran, Tan Ahai mengatakan, dengan kenaikan harga kedelai sangat memberatkan baginya.
Sekarang ini yang dapat dilakukan olehnya adalah tetap berproduksi hanya 50 persen saja, sedangkan keuntungan yang di dapat biasanya hanya 10 persen dari 50 persen sebelum kenaikan, kata Tan Ahai. Ini ia lakukan agar tenaga kerja tetap bertahan untuk bertahan hidup.
Heri, produsen tahu tempe di Jalan Pancasila mengatakan, sebenarnya Indonesia negara kaya, ini bisa dilihat untuk mencukupi kebutuhan selalu mengimpor dari luar negeri.
Seperti beras, gula, dan kedelai sendiri, Akibatnya terkena permainan harga dari distributor, karenamereka melihat ketahanan pangan kita lemah. Jika sudah begini, tak heran jika petani kedelai banyak yang beralih ke tanaman lain, selain harga jual di dalam negeri sangat rendah akibat banjirnya kedelai dari luar.
Ia mengimbau, saat ini peran pemerintah sangat menentukan dalam menstabilkan kembali harga kedelai. Salah satunya menghentikan impor kedelai dari luar, dan meningkatkan hasil produksi petani, sehingga meningkat pula produksi dalam negeri.

Read More..

Monday, January 14, 2008

Media Mengkritik Juga Harus Terbiasa Menerima Kritik

*Dari Diskusi Meliput Tambang dan Bisnis (2)

Safitri Rayuni
Borneo Tribune, Pontianak

Dialog mengalir deras di antara para jurnalis, aktivis lingkungan hidup, tokoh cerdik-cendikia maupun dua narasumber yang piawai di bidangnya: Andreas Harsono (Direktur Pantau Foundation) dan Thadeus Yus (Provintial Coordinator EC Indonesia FLEGT Support Project) di Kalbar.
Meeting room Gajahmada Hotel penuh sesak dengan antusiasme peserta. Pembicaraan meliputi lingkungan darat, laut, udara, serta peran utama manusia.

Wartawan Kompas, Wahyu mengatakan untuk mewujudkan pers yang baik, perlu membuka peluang untuk kritik, khususnya isu lingkungan. “Butuh pemetaan bersama persoalan lingkungan di Kalbar itu apa, misal kabut asap, PETI dan illegal logging, apa yang harus didorong oleh media. Perlu kerangka berpikir bersama mengenai pemberitaan LH di Kalbar,” kata Wahyu beruluk saran.
Peserta lainnya yang oleh moderator Nur Iskandar dicandai sebagai kandidat Walikota karena fotonya menghiasi deret kandidat di Pontianak Post, Zulfydar Zaedar Mochtar juga angkat bicara. Ia yang pernah maju di Pilkada Sambas sebagai Cawabup menilai, ada kontradiktif terhadap tren politik, sosial, hukum. “Lingkungan hidup dinilai isu yang kurang menarik. Saya menduga isu ini ada kontradiktif dengan kepala daerah. Artinya bisa saja kepala daerah terlibat pengrusakan LH. Lalu apa yang harus kita lakukan? Tentunya mesti ada gerakan bersama. Bisa lewat masyarakat adat, gerakan bahasa, karikatur, dan pengambil kebijakan,” katanya.
Aktivis WWF, Yuliantini, menceritakan pembuatan skripsi tentang valuasi ekonomi dan budaya yang mengambil studi sub DAS Sibau dan Mendalam di TNBK, di mana ada rencana untuk konversi sawit di lokasi tersebut ketika dia riset skripsi strata 1. “Masyarakat di sana memanfaatkan air untuk semua aktivitas, dan banyak sekali hal-hal yang kita hitung. Ternyata jika dikonversi hasilnya triliunan rupiah yang akan hilang,” katanya menyinggung harga sosial (social cost) yang harus diderita lingkungan pasca pengelolaan lingkungan hidup.
Bambang Bider, Koordinator Heart of Borneo WWF juga menimpali, lingkungan hidup menyentuh spektrum yang sangat luas. “Sering kita hanya melihat dari persoalan masalah saja, ketika terjadi kabut asap, kita memberitakan kabut asap, tetapi jurnalis kurang membicarakan spektrum yang lebih luas seperti pengalaman dunia luar. Seharusnya jika ingin menjadi wartawan LH tidak cukup hanya sebagai teknisi belaka, tetapi juga pemikir,” ungkap mantan wartawan The Jakarta Post ini.
Andreas Acui Simanjaya menilai basic pengetahuan tentang suatu permasalahan menjadi penting sebelum wartawan menulis suatu masalah. “Jika tidak, akibatnya karya akan kabur dan distrorsinya besar. Pandangan wartawan mengambil angle sangat penting,” ujarnya.
Muhlis Suhaeri dari Harian Borneo Tribune mengungkapkan ada suatu sistem di media yang banyak tidak diketahui publik. “Dalam berbagai pertemuan di Jogja, Bandung dan Jakarta, ada satu yang terpetakan dari permasalahan wartawan daerah dan nasional,” katanya. Ketika wartawan berada di media nasional yang besar, yang memang punya wartawan banyak, punya suatu standar peliputan dengan isu besar tidak akan mengalami kendala. Lain halnya media lokal yang dari segi pendanaan tidak terlalu besar.
Bekerja sama dengan suatu lembaga tentu akan mempengaruhi independensi, dan apakah media juga menyediakan ruang yang lebar untuk melepas wartawan intens melakukan liputan mendalam tanpa mengerjakan liputan lain. Ini disebutkannya sebagai sejumlah kendala kenapa tidak muncul suatu tulisan investigasi yang sebenarnya bisa digarap oleh suatu media.
Andreas Harsono soal masukan para jurnalis mengakui, 1995, ia bekerja untuk The Nation di Bangkok, koran dengan oplah 55 ribu eks per hari. “The Nation juga memiliki keterbatasan dana. Uangnya juga terbatas. Saya tidak mungkin bisa meliput dari Sabang sampai Merauke. Itu pasti sangat berat. Namun redaktur saya mengatakan, di dunia ada tren ‘non profit reporting’. Artinya cukup banyak lembaga di negara maju, seperti Jepang, AS, dan Canada yang menjadi funding bagi wartawan yang mau memberikan bantuan,” katanya.
Muhammad Hairul Anwar, dari Bapedalda Pontianak mengungkapkan sedianya pemerintah bisa memberikan award (penghargaan, red) kepada wartawan yang bersedia menulis dengan baik. Ide ini disambut aplaus. Namun menurut Andreas, akan lebih baik juga media memberi penghargaan kepada pemerintah atau pejabat yang peduli lingkungan hidup. “Berikanlah penghargaan semisal kepada pegawai yang berbuat baik tahun ini,” ujarnya bercanda. “Maksud berbuat baik karena demikian banyaknya ketidakbaikan yang dilakukan dalam sistem lingkungan hidup kita,” urainya.
Di penghujung diskusi, Andreas mengulas akan ada suatu media besar dari Kompas Gramedia Group, pesaing Jawa Pos Group yang akan segera masuk Pontianak. Katanya, sudah menjadi kebiasaan di berbagai provinsi kedua raksasa media ini bertempur hingga neck to neck.
“Setiap perkembangan media selalu mendapat kontribusi, kecintaan, iklan, langganan dari masyarakat, karena media tersebut adalah milik publik. Media mana yang dicintai publik ia akan langgung.”
Andreas kadang merasa jengkel bila pemilik media sok-sokan dengan menafikan kritik untuk dirinya. Padahal kerja media adalah mengkritik. “Sebenarnya media adalah milik publik, dan publiklah yang membesarkan mereka. Anda sah untuk mengkritik media. Saya mohon wartawan itu dikritik, karena wartawan juga manusia. Jangan media saja mengkritik, tapi ketika orang media bermasalah lalu bebas dari kritik. Itu namanya munafik,” tandasnya.
Ia mencontohkan sebuah media di AS yang menurunkan 33 halaman untuk memberitakan CEO-nya yang tidak beres. Setelah laporan independen itu turun, sang CEO pun mundur. “Ini contoh media yang independen dan benar-benar milik publik,” ungkap Andreas seraya menimpali di Indonesia belum ada media yang seperti ini. □


Read More..

Tuesday, January 8, 2008

Air Sungai Kapuas di Bawah Standar Baku Mutu

Oleh : Safitri Rayuni
Bisnis Indonesia

PONTIANAK-Pemerintah Kota Pontianak telah menganggarkan sedikitnya Rp 330 juta di dalam APBD Tahun Anggaran 2006, untuk pengadaan alat pemantau kualitas air baku di Kota Pontianak. Sabtu (18/11) lalu, pengadaan 15 unit peralatan dengan kemampuan mengukur 240 parameter pencemaran air baku ini pun terealisir.
Dipimpin Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Kota Pontianak, Ade Halida Yulifus, uji coba peralatan dilakukan di tepi Sungai Kapuas, tepatnya di depan Kantor Wali Kota Pontianak. Hasilnya, air Sungai Kapuas berada di bawah standar baku mutu air bersih.

“Persoalan kualitas air adalah persoalan serius daerah kita, di mana 70 persen masyarakat Kota Pontianak dan Kalbar masih menggunakan air Sungai Kapuas secara langsung sebagai air konsumsi sehari-hari, baik melalui proses penyaringan PDAM maupun tidak,” ungkap Ade.
Berdasarkan pengukuran yang dilakukan tim Bapedalda dan supplier peralatan, kadar oksigen terlarut di Sungai Kapuas sebesar 4,98 miligram per liter, dengan pH 4, 68, kepadatan terlarut 24,6 miligram per liter, kecepatan 1,6 meter per det ik, tingkat kekeruhan air 22,1 KTU, saturasi 65,3 persen, kadar polutan terlarut 29,6 miligram per liter, salinitas 0,0 0/oo, dan daya hantar listrik atau konduktivitas sebesar 62,9 mikron per meter.
“Berdasarkan PP nomor 82 tahun 2001 tentang standar baku mutu air sungai, air bersih tidak boleh melebihi standar yang disaratkan,” ujar Ade. Upaya pengukuran yang dilakukan sebelumnya dikatakan Ade memerlukan proses yang cukup panjang di laboratorium, dengan keterbatasan pengukuran parameter.
Adanya 15 unit peralatan tersebut diakuinya memudahkan proses pengukuran yang langsung bias diketahui saat itu juga. “Persoalan selanjutnya adalah koordinasi Bapedalda dengan pihak PDAM maupun swasta yang berminat melakukan perbaikan kualitas air baku konsumsi masyarakat melalui pembinaan,” imbuhnya.
Sejauh ini, air Sungai Kapuas dikatakannya masih kerap dimanfaatkan untuk industri, perhotelan, rumah makan dan sejenisnya. Pencemaran di daerah aliran sungai (DAS) Kapuas selama ini dijelaskannya akibat pengaruh aliran hulu ke hilir, kandungan merkuri akibat aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI), limbah rumah tangga dan industri. “Saat ini 75 perusahaan industri dan rumah makan telah dibina Bapedalda Kota untuk memperhatikan kualitas mutu air baku,” terangnya .
Daerah yang tercemar di Pontianak lanjut Ade secara kasat mata tidak bisa dilihat, sebab harus dilakukan pengamatan di berbagai titik terlebih dahulu. “Jika mengukur melalui laboratorium, tergantung jumlah parameter dan biasanya harus menunggu satu minggu lamanya, belum lagi koordinasi yang melibatkan berbagai pihak pengelola air baku,” katanya.
Tercemar Merkuri
Mudahnya merkuri dijual di pasaran Kalbar, baik dalam kemasan kantung maupun botol plastik, turut berdampak mencemari Sungai Kapuas. Harga senyawa yang dipakai untuk aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin ini pun amat terjangkau bila dibandingkan dengan harga emas yang melangit.
Merkuri dijual seharga Rp 25 ribu per gram. Bapedalda Provinsi Kalbar pun belum diketahui nama perusahaan yang mengelola distribusi merkuri di Kalbar. Sebab, di negara ini pun belum ada satu pabrik pun yang memproduksi merkuri dalam kapasitas untuk diperjualbelikan.
“Jika satu gram merkuri bisa memilah satu gram emas dengan unsur non logam lainnya, maka bisa dibayangkan berapa besar tingkat pencemaran di satu titik sentral, yang selanjutnya aliran air di hulu ini akan dibawa ke hilir,” ungkap Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Kalbar, Ir Tri Budiarto.
Apa pun praktek atau aktivitas yang dilakukan di suatu daerah, menurutnya sangat penting bagi masyarakat untuk mengkritisinya. “Bukan hanya sekadar keuntungan finansial semata, tetapi juga keuntungan sosial, ekologi dan lainnya,” ujarnya.
Memang, secara finansial warga sekitar aktivitas penambangan emas merasa diuntungkan. Meski tak secara langsung melakukan aktivitas pemilahan unsur logam dan non logam, mereka membuka warung dan rumah makan di sekitar penambangan emas ini. Harga jual barang di sana pun bisa mencapai dua hingga tiga kali lipat, karena lokasi pedalaman yang sukar dijangkau kendaraan bermotor.
“Sejauh ini sampel kuku dan rambut yang kita ambil pada musim kering dan musim pasang menunjukkan tingkat pencemaran merkuri sudah melebihi ambang batas dan pada taraf berbahaya,” katanya yang sebulan lalu baru bersama-sama tim dari Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan (sarpedal), untuk melakukan uji petik di Kabupaten Sintang dan Sanggau.
Sementara LSM Walhi juga telah melakukan pengambilan sampel kuku dan rambut penduduk di Mandor, Kabupaten Landak dan sekitarnya.
Begitu pun Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Tanjungpura Pontianak, telah melakukan uji petik sampel terhadap penduduk di sekitar Sungai Kapuas, baik penduduk yang mengkonsumsi air sungai maupun air ledeng PDAM. (K6)

Read More..

Jurnalisme Bermutu Penggugah Kesadaran Pentingnya LH



*Dari Diskusi Meliput Tambang dan Bisnis

Safitri Rayuni
Borneo Tribune, Pontianak

Isu pemanasan global, deforestasi, social forestry dan disaster bukan hanya persoalan di tingkat elit. Demikian menurut Tadheus Yus, Provintial Coordinator EC Indonesia, membuka pembicaraan pada diskusi Meliput Tambang dan Bisnis, Senin (7/1) kemarin.

“Insan pers menjadi pilar untuk membuka kesadaran publik tentang pentingnya pelestarian lingkungan. Menggugah kesadaran tentang tanggung jawab dalam diri masyarakat, sehingga kritis terhadap persoalan serius dari kerusakan LH yang mengancam mereka,” ungkapnya.
Diskusi yang dirangkai dengan launching buku ‘Covering Oil’ terbitan Yayasan Pantau ini dihadiri puluhan insan pers. Selain Tadheus Yus, menjadi panelis, Andreas Harsono, Direktur Pantau Foundation, dimoderatori Nur Iskandar, Pimred Borneo Tribune.
Tampak hadir diantaranya Kepala Bapedalda Kalbar, Try Budiarto bersama tiga stafnya, Bapedalda Kota Pontianak Muhammad Hairul Anwar, Kepala Kantor Berita Antara Pontianak, Nurul Hayat, Wartawan Kompas Wahyu, Aseanty Pahlevi dan Mella Dani Sari dari Pontianak Post, Kusmalina dari Kapuas Post, aktivis pers kampus Mimbar Untan, Ketua LPS AIR Deman Huri Gustira, Direktur WWF Kalbar Hermayani Putra, dan koordinator Heart of Borneo WWF, Bambang Bider, serta Bacilius Hendy Chandra dari WALHI.
Tampak pula wartawan senior HA Halim Ramli, mantan anggota DPRD Kalbar Andreas Acui Simanjaya, Pemimpin Radio Divasi Zulfydar Zaedar Mochtar dan puluhan peserta lainnya.
Terkait isu lingkungan hidup dan ekonomi, Andreas Harsono memaparkan cerita tersendiri. Tepatnya dua bulan lalu ia bertemu seorang konsultan bisnis yang tinggal di Singapura. Mereka makan siang bersama. Konsultan ini sedang membantu pemerintah Jakarta menjual dua atau tiga BUMN. Si konsultan menolak menyebut BUMN mana saja yang mau dijual tersebut
Namun, si konsultan sebagian besar wilayah target investasi penawarannya berada di Pulau Jawa. “Saya tanya kalau investasi di Pontianak bagaimana?” kata Andreas. “Who wants to go there, tidak ada investor yang mau masuk ke sana, there are great fire and great violence in Pontianak,” jawab si konsultan.
“Cerita tadi mencerminkan apa yang terkait cerita kita hari ini, isu lingkungan hidup dan isu ekonomi,” terang Andreas. Andreas juga menyinggung wartawan ekonomi dan bisnis jarang menghitung green GDP (gross domestic product yang menghitung kerusakan lingkungan). “Buku ini hanya tambahan bacaan kecil bagi wartawan bisnis maupun aktivis LH dan mahasiswa,” ujar Andreas.
Yang menarik satu segmen dari buku ini lanjut Andreas, yakni seorang peraih nobel ekonomi Joseph Stiglitz yang mengeluarkan ungkapan membingungkan para ekonom. Mereka menyebutnya sebagai ‘kutukan minyak atau kutukan sumber daya alam’, di mana negara yang memiliki tambang minyak selama 40 tahun terakhir, bukannya bertambah kaya namun semakin miskin.
Terjadi gap yang semakin tinggi. Dimisalkan Nigeria, penghasil minyak di tahun 1973, pendapatan perkapitanya 302 USD, di tahun 2002 atau 30 tahun kemudian, turun menjadi 254 USD. Contoh lain, Saudi Arabia. Penghasil minyak terbesar tahun 1981 ini memiliki income per kapita 28.600 USD/kapita. Enam tahun lalu turun jadi 2.800 USD per kapita.
Mengapa? Menurut buku ini ada 4 hal yang mempengaruhi, yaitu ketidakstabilan harga sumberdaya alam, minyak, berlian dan sebagainya. Jika harga minyak tidak stabil, terjadi ketidakdisiplinan terhadap anggaran negara dan sering diubah-ubah.
“Ada suatu penyakit yang disebut Dutch Disease (penyakit Belanda), di mana mata uang lokal nilai tukarnya makin hari turun,” ujar Andreas seraya meyakini bahwa semakin bermutu jurnalisme, semakin bermutu pula informasi yang diperoleh warga. “Makin bermutu koran-koran makin bermutu keputusan yang diambil oleh masyarakat. Makin kacau mereka, makin besar apinya,” tukasnya.
Penyakit ketiga perlunya keahlian-keahlian khusus. Sedangkan penyakit yang keempat pengelolaan pajak. Keahlian khusus menyebabkan tenaga kerja banyak yang menganggur digantikan mesin, sedangkan pajak kecil, banyak kebocoran pula.
Hendy Chandra, dari WALHI Kalbar, pada forum ini mengamini hal tersebut. “Sesuai dengan konteks hak atas lingkungan hidup adalah hak asasi atas manusia, pers sebagai pilar perubahan merupakan sesuatu yang penting mempengaruhi warga,” katanya.
Ia menilai di Kalbar lebih didominasi fungsi ekonomi, ketimbang sosial dan ekologi dalam pengelolaan SDA. “Tren kerusakan LH di Kalbar yang amat patut disimak adalah tren konversi hutan untuk perkebunan monokultur, akibatnya bencana kabut asap, ada praktik illegal logging, PETI yang semakin hari semakin marak,” katanya.
Sementara Hermayani Putra, dari WWF menilai isu religiusitas, refleksi dari krisis teologi. Kesalehan individual seseorang, tidak terefleksikan dalam kesalehan lingkungan. “Para pelaku kejahatan LH adalah orang-orang yang rajin mendonasi kesejahteraan mereka terhadap lembaga keagamaan. Donasi pun diterima dengan tangan terbuka. Pesan untuk media, bagaimana mengkritisi praktik ini, sehingga publik tidak lagi terjebak pada pemerintahan yang manipulatif, oleh individu-individu yang dibesarkan pula oleh media,” katanya.
Point dari itu semua menurutnya adalah bagaimana membangun media, NGO, mahasiswa dan tokoh masyarakat untuk bersinergi, agar terbangun agenda politik terhadap masa depan Kalbar. “Saya berharap media-media yang mengklaim besar di Kalbar tidak mengintroduksi budaya kekerasan, karena sampai sekarang saya belum berlangganan media-media lokal khawatir bahasa dalam media tersebut terbawa ke rumah dan mempengaruhi anak-anak saya,” pungkasnya.
Deman Huri Gustira dari LPS AIR mengatakan, kita sepakat bahwa dalam membangun perubahan suatu daerah, media berperan penting. Di lain pihak media akan menghancurkan sebuah daerah ketika informasi yang disampaikan berbeda dari yang terjadi di lapangan.
“Bahwa sesungguhnya nilai secara positivisme, cover both side, global warming dan lain sebagainya sangat menyesatkan dan tidak sesuai fakta, hak-hak masyarakat sangat jarang diberitakan dan dimarginalisasikan sebagai sumber dokumen data dan sebagainya, ini berdampak pada keputusan pemerintah yang lagi tren,” ungkapnya.
Wartawan tiga zaman, HA Halim Ramli mendukung peningkatan mutu SDM wartawan. Untuk liputan lingkungan hidup katanya dibutuhkan integritas dan disiplin ilmu yang khusus. Upaya seperti diskusi liputan lingkungan hidup sangat membantu. “Para ahli juga perlu mengisi ruang opini yang disediakan setiap media,” sarannya untuk pakar mengisi kekurangan pengetahuan wartawan atas isu-isu lingkungan atau penulisan yang kurang mendalam.
Wartawan Kompas, Wahyu mengatakan untuk mewujudkan pers yang baik, perlu membuka peluang untuk kritik, khususnya isu lingkungan. “Butuh pemetaan bersama persoalan lingkungan di Kalbar itu apa, misal kabut asap, PETI dan illegal logging, apa yang harus didorong oleh media. Perlu kerangka berpikir bersama mengenai pemberitaan LH di Kalbar,” kata dia.
Zulfydar menilai, ada kontradiktif terhadap tren politik, sosial, hukum. Lingkungan hidup dinilai kurang menarik. “Saya menduga isu ini ada kontradiktif dengan kepala daerah. Apa yang harus kita lakukan? Membuka pikiran untuk berbeda. Ada gerakan bersama, bisa lewat masyarakat adat, gerakan bahasa, misal bahasa daerah yang menarik buat anak-anak, karikatur, dan pengambil kebijakan,” katanya.
Aktivis WWF, Yuliantini, menceritakan pembuatan skripsi tentang Valuasi Ekonomi dan Budaya yang mengambil studi sub DAS Sibau dan Mendalam di TNBK, di mana ada rencana untuk konversi sawit di lokasi tersebut. “Masyarakat di sana memanfaatkan air untuk semua aktivitas, dan banyak sekali hal-hal yang kita hitung. Ternyata jika dikonversi maka triliunan yang akan hilang,” katanya menyinggung social cost yang harus diderita pasca pengelolaan lingkungan hidup.
Bambang Bider, Koordinator Heart of Borneo WWF juga menimpali. Menurutnya lingkungan hidup menyentuh spektrum yang sangat luas. “Sering kita hanya melihat dari persoalan masalah saja, ketika terjadi kabut asap, kita memberitakan kabut asap, tetapi ketika akan membicarakan spektrum yang lebih luas seperti pengalaman dunia luar, jika ingin menjadi wartawan LH tidak cukup teknisi tetapi juga pemikir,” ungkap mantan wartawan The Jakarta Post ini.
Andreas Acui Simanjaya menilai basic pengetahuan tentang suatu permasalahan menjadi penting sebelum wartawan menulis suatu masalah. “Jika tidak akibatnya kabur dan distrorsinya besar. Pandangan wartawan mengambil angle sangat penting,” ujarnya.
Muhlis Suhaeri dari Harian Borneo Tribune mengungkapkan ada suatu sistem di media sendiri yang banyak tidak diketahui publik. “Dalam berbagai pertemuan di Jogja, Bandung dan Jakarta, ada satu yang terpetakan dari permasalahan wartawan daerah dan nasional,” katanya. Ketika wartawan berada di media nasional yang besar, yang memang punya wartawan banyak, punya suatu standar peliputan dengan isu besar tidak akan mengalami kendala. Lain halnya media lokal yang dari segi pendanaan tidak terlalu besar.
Bekerja sama dengan suatu lembaga tentu akan mempengaruhi independensi, dan apakah media juga menyediakan ruang yang lebar untuk melepas wartawan intens melakukan liputan mendalam tanpa mengerjakan liputan lain. Ini disebutkannya sebagai sejumlah kendala kenapa tidak muncul suatu tulisan investigasi yang sebenarnya bisa digarap oleh suatu media.
Dijawab Andreas, pada tahun 1995, ia yang bekerja untuk The Nation di Bangkok, koran dengan oplah 55 ribu eks per hari, juga memiliki keterbatasan dana. “Uangnya juga terbatas, tidak mungkin saya meliput dari Sabang sampai Merauke. Sangat berat. Namun redaktur saya mengatakan, di dunia ada tren ‘non profit reporting’. Artinya cukup banyak lembaga di negara maju, seperti Jepang, AS, dan Canada yang menjadi funding bagi wartawan yang mau memberikan bantuan,” katanya.
Muhammad Hairul Anwar, dari Bapedalda Pontianak mengungkapkan sedianya pemerintah bisa memberikan award (penghargaan, red) kepada wartawan yang bersedia menulis dengan baik. Ide ini disambut aplaus. Namun menurut Andreas, akan lebih baik juga media memberi penghargaan kepada pemerintah atau pejabat yang peduli lingkungan hidup.
Di penghujung diskusi, Andreas mengulas akan ada suatu media besar dari Kompas Gramedia Group, pesaing Jawa Pos Group yang akan segera masuk Pontianak.
Setiap perkembangan media selalu mendapat kontribusi, kecintaan, iklan, langganan dari masyarakat, karena media tersebut adalah milik publik. “Sehingga kadang merasa jengkel bila pemilik media sok-sokan. Karena sebenarnya media adalah milik publik, dan publiklah yang membesarkan mereka. Anda sah untuk mengkritik media. Saya mohon wartawan itu dikritik, karena wartawan juga manusia,” tandasnya. □

Read More..

Monday, January 7, 2008

Krisis Air Baku, Pemerintah Perlu 8 Miliar USD

Laporan Safitri Rayuni dari Australia

Australia pada umumnya, termasuk negara bagiannya, Victoria saat ini tengah mengalami krisis air baku. Catatan terakhir di dalam laporan harian The Age menyebutkan cadangan air baku dalam penampungan air di Australia saat ini hanya sekitar 39,6 persen saja. Ini merupakan masalah besar bagi pemerintah Australia.

Display pengumuman persediaan air ini ditampilkan setiap hari di kolom bawah halaman muka.Tak hanya krisis air baku, krisis air untuk irigasi (pengairan pertanian) juga menjadi masalah di sini. Dalam perjalanan untuk mengeksplorasi kota kuno penambangan emas ‘gold rush village’ di Kota Ballarat, Victoria, saya mendapat cerita menarik tentang masalah pengairan untuk pertanian ini.
Asisten program Australian Leadership Award (ALA) Fellow, Greg Burchel mengatakan saat ini tingkat kekeringan sudah mencapai puncaknya. “Ini adalah kekeringan yang paling besar dalam kurun waktu 30 tahun terakhir ini,” kata pria berusia 54 tahun ini. Sepanjang perjalanan menggunakan kereta api listrik ke Ballarat, Greg bercerita banyak
Pertama kami naik tram dari apartemen Quest Lygon di Jalan Carlton Melbourne, menuju stasiun kereta Soutern Cross. Perjalanan dengan kereta api listrik ini ditempuh selama dua jam, hingga tiba di Ballarat, kota tua di sebelah tenggara Melbourne. Cukuplah untuk bercerita banyak tentang persoalan besar yang menimpa pertanian di sini.
Pun di sepanjang perjalanan, tampak kampung-kampung petani dan peternak di pinggir kota. Aroma tanah yang lama tak tersiram hujan merebak. Belum lagi pohon-pohon meranggas di sepanjang jalan. Tandus. Tanah-tanah retak, rumput hijau kekuningan, yang juga masih dimamah ternak. Lapang. Namun tandus.
Juga beberapa industri pertambangan gas dan platina. Meski terbilang tandus dari pepohonan, namun ternak masih dapat menikmati rumput yang terbentang luas sepanjang peternakan. Rumput-rumput ini kata Greg memang dipelihara dan dipupuk dengan subsidi dana dari pemerintah.
Lahan yang luas dan panjang ini hanya dibangun beberapa rumah sebagai tempat tinggal bagi peternak dan petani. Tanaman pertanian di sepanjang jalan ini juga tidak begitu banyak jenisnya. Ada kedelai dan sedikit kebun anggur. “Lebih banyak menjadi peternak di sini, ketimbang petani,” kata asisten program APJC, Greg Burchel dan project officer Alex Kennedy hamper bersamaan.
Dijelaskan Greg, beberapa daerah adalah proyek pemerintah yang dikembangkan. “Petani diberi cash untuk mengembangkan pertaniannya. Problem besar yang dihadapi adalah kekurangan air, sehingga banyak tanaman yang mengalami stress karena kekurangan air,” katanya.
Mensiasati persoalan ini, Australia mengambil persediaan air tidak hanya dari laut, namun juga dari tanah dan menadah air hujan.
Mouzinho Lopez, teman dari Timor Leste yang duduk di samping saya tampak sedang asik membaca koran pagi itu. Judul headline di The Weekend Australia hanya dua kata: Deepening Crisis dengan memampang foto besar Perdana Menteri Australia John Howard dan Peter Costello yang digadang-gadang bakal menggantikannya.
“Persoalan ketersediaan air dalam jumlah besar memang menjadi persoalan besar bagi Australia. Meski sejauh ini untuk memenuhi kebutuhan air baku di wilayah perkotaan mereka mampu mengatasinya,” timpal Mouzinho sembari menunjuk berita di halaman dalam.
Namun pengairan untuk kawasan pertanian menjadi ancaman serius. Para ahli di ANZ memprediksi ekspor produksi pertanian Australia terancam menurun drastis dibanding tahun lalu. Seorang dosen dari Timor Timur, Marselukatanus yang sedang mengambil program Pasca Sarjana di Victoria Universiti juga mengatakannya kepada saya.
Menurutnya persoalan kekeringan dan kekurangan air sempat menjadi masalah luar biasa di sini. “Tetapi campur tangan pemerintah yang luar biasa mampu men-support para ilmuwan untuk mengembangkan sistem pertanian lahan kering di sini,” terangnya.
Dijelaskannya pertanian lahan kering atau lebih dikenal dengan primaculture tidak banyak memerlukan suplai air dan tidak memakai bahan kimia apapun. Semua cadangan nutrisi atau pupuk diambil dari alam. Di Indonesia model pupuk dari alam ini dikenal dengan pertanian organic.
“Namun ini tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri-sendiri. Ilmuwan dengan konsepnya, petani dengan kesulitannya, dan pemerintah dengan dana yang besar menjalankan program dengan caranya sendiri,” kata Marselukatanus.
Ia mencontohkan pertanian tradisional yang dikelola secara moderen di Moluala, sekitar 300 kilometer dari Melbourne. “Pertanian anggur dan kedelai di sana hamper semua memakai tenaga mesin, termasuk untuk pengairan dan pemupukan. Campur tangan pemerintah sangat banyak, terutama dalam pembiayaan. Tidak mungkin to, kita punya konsep kita juga yang mendanainya, itu akan sangat berat,” kata pria ini dengan logat Titum, bahasa daerah yang menjadi bahasa kebangsaan Timor Timur atau Timor Leste, sejak berpisah dari Indonesia pada 1999 lalu.
Kim Wells, anggota parlemen dari Partai Labor mengatakan saat ini cadangan air baku di penampungan pemerintahan Australia hanya sekitar 36 persen saja. “Ini menjadi masalah termasuk bagaimana caranya meningkatkan hasil pertanian dalam musim kemarau seperti ini. Perlu biaya yang sangat besar,” katanya. Dikatakan Kim, pemerintah Australia akan menghabiskan sekitar 8 miliar dollar amerika untuk ini. “Bukan biaya yang kecil untuk menjadikan salt water (air laut) menjadi fresh water (air siap pakai),” terangnya. □

Read More..

Target Pertumbuhan Ekonomi Kalbar di Tahun 2007 Tidak Tercapai

Safitri Rayuni
Borneo Tribune, Pontianak

Pencapaian target pertumbuhan ekonomi (PE) Kalbar di tahun 2007 sebesar 6,21 persen memang banyak diragukan oleh banyak kalangan. Terbukti, hingga penghujung tahun ini angka pertumbuhan ekonomi kita belum beranjak dari kisaran 5 persen.
Pesimisme yang dilontarkan tersebut agaknya bukan tidak beralasan. Sebab sejauh ini aktivitas ekonomi yang menjadi penyumbang pertumbuhan ekonomi Kalbar hanya berasal dari belanja pemerintah.

Anggota DPRD Kalbar, Rosliyan Ramli Saleh menilai ada banyak factor yang menjadi kendala pencapaian target tersebut. Pertama, lambannya pelaksanaan APBD Kalbar. Kelambanan ini berpengaruh karena dalam kondisi belanja pemerintah sebagai pilar pertumbuhan, maka kegiatan pembangunan pemerintahan harus dilaksanakan secara disiplin dan tepat waktu.
Teori yang baku dalam pertumbuhan ekonomi bisa dipakai untuk mengukur tingkat pertumbuhan ekonomi adalah rumus Y = C + I + G. Dimana Y menunjukkan angka pertumbuhan, C menunjukkan belanja konsumsi rumah tangga, I menunjukkan investasi dan G belanja pemerintah atau Government.
“Untuk investasi jelas nilainya sangat minim saat ini, nyaris tidak ada. Bagaimana investasi bisa masuk kalau infrastruktur dasar tidak tersedia. Listrik kita baru tahun 2010 nanti bisa lancar, belum lagi infrastruktur lainnya,” katanya.
Berangkat dari fakta ini, Rosliyan mengaku pesimis target pertumbuhan ekonomi Kalbar dapat tercapai di akhir periode nanti. Secara matematis ia menghitung bahwa triwulan pertama pertumbuhan ekonomi 5, 35 persen, triwulan kedua 5, 41.
“Diakumulasikan keduanya jadi 10, 76. Untuk mencapai angka 24, 85, persen masih kurang 14, 09 persen lagi. Mungkinkan dua triwulan ini pertumbuhan bisa dicapai angka 7 persen,” kata Rosliyan setengah bertanya.
Mencermati publikasi dari Badan Pusat Statistik dalam beberapa kali rilisnya, gerak laju pertumbuhan ekonomi Kalbar memang lamban. Untuk mencapai target yang telah dipatok di awal tahun tersebut saat ini rasanya amat muskil.
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Secara teori, ia menyebut dengan pertumbuhan ekonomi yang baik akan membuka lowongan pekerjaan. Apalagi dengan dukungan sektor riil yang menggeliat, maka roda perekonomian suatu daerah akan terdongkrak. Namun jika angka pertumbuhan ekonomi rendah, pengangguran akan meningkat, di ujungnya kemiskinan menjadi muara akhir.
Meski demikian, tercatat hingga 19 Desember 2007, realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kalimantan Barat (Kalbar) melalui pajak-pajak sektor kendaraan bermotor hingga 19 Desember 2007 telah melewati target dari Rp 342 miliar menjadi Rp 355 miliar.
Sebelumnya, Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kalbar, Darwin Muhammad, mengaku sempat pesimis target tersebut terpenuhi, karena kondisi cuaca sepanjang tahun 2007 yang tidak menentu. “Kemarau panjang, banjir dan cuaca buruk yang kerap terjadi dikhawatirkan mengganggu ekonomi masyarakat tetapi untungnya tidak terbukti,” kata Darwin.
Kegembiraan serupa juga dialami Pemkot Pontianak. Sejak triwulan pertama tahun 2007 pajak Kota Pontianak telah menunjukkan angka menggembirakan, mencapai angka Rp 10 miliar.
Selain itu, pembangunan Kota Pontianak di mata nasional dinilai berhasil. Terbukti dengan dipilihnya Kota Pontianak sebagai penyelenggara Indonesia City Expo (ICE) 2007, Indonesian Product Expo 2007, Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) 2007, juga Asosiasi Dewan Kota Seluruh Indonesia (Adeksi) 2007.
Bukti lain, capaian pajak yang dihimpun Dispenda kota Pontianak pada tahun 2006 lalu mencapai 102 persen atau senilai Rp 30,2 miliar.
Untuk triwulan pertama (Januari hingga April-ed) tahun 2007 saja, pendapatan asli daerah (PAD) yang terhimpun dari sektor pajak telah mencapai Rp 10 miliar atau sekitar 33,47 persen.
“Berdasarkan angka tersebut, maka realisasi penerimaan pajak daerah telah mencapai target yang telah ditetapkan,” ungkap Kepala Dispenda kota Pontianak Suharni Riduan. (dari berbagai sumber)


Read More..

Berpihakkah Perbankan dan Pemerintah Terhadap UMKM Selama Tahun 2007?

Safitri Rayuni
Borneo Tribune, Pontianak

Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sering disebut-sebut sebagai ujung tombak bagi meningkatnya pendapatan asli suatu daerah. Meski demikian, belanja publik yang dialokasikan dari APBN maupun APBD masih terlalu fokus pada pembangunan fisik. Pengadaan sarana ini atau pembangunan gedung itu.

Persoalan pembinaan dan pelatihan bagi masyarakat, khususnya bagi pelaku usaha seperti UMKM, perkebunan dan pertanian, belum mendapat perhatian yang serius. Padahal sektor perkebunan dan pertanian adalah dua sektor yang paling tahan terhadap terpaan krisis ekonomi. Namun perhatian pemerintah terhadap sektor ini juga belum maksimal.
Sudah saatnya sektor-sektor riil ini dibina serius oleh pemerintah, karena memiliki prospek menjanjikan di tahun 2008. Pemerintah dan perbankan seyogyanya tidak hanya mengucurkan bantuan permodalan. Pembinaan skill dan etos berusaha mestinya tetap menjadi fokus perhatian. Terlebih perbankan adalah mitra pemerintah dalam memberikan kemudahan-kemudahan ini.
Di pertengahan tahun 2007, pemerintah dan perbankan berupaya memenuhi kewajiban tersebut. Seperti dibentuknya Lembaga Penjamin Kredit daerah (LPKD) oleh Pemkot Pontianak, bermitra dengan Bank Kalbar dan PT Askrindo, dan difasilitasi oleh Bank Indonesia (BI).
Harapan peningkatan kelas bagi pelaku usaha kecil dan menengah menjadi harapan bersama. Namun jaminan agar tidak terjadinya permasalahan kredit macet juga menjadi penting bagi pihak perbankan. “Seleksi yang ketat oleh pihak bank menjadi salah satu jaminannya,” kata Direktur Umum Bank Kalbar, Jamaluddin Attamini.
Ia optimis jika para debitur adalah pelaku usaha yang memiliki jiwa enterpreneur, sehingga bunga tidak akan menjadi persoalan. “Buktinya dalam pelaksanaan program PER, dari Rp 14,5 miliar dana yang bergulir sejak program ini diluncurkan, telah mencapai Rp 94 miliar,” katanya. Sedangkan nilai total kredit yang telah dikucurkan oleh Bank Kalbar hingga Juni 2007 telah mencapai Rp 1,165 miliar. Jumlah debitor di Bank Kalbar sendiri saat ini telah mencapai 38.400 orang, dengan nilai pinjaman rata-rata Rp 25 juta.
Sementara itu Kepala Kantor PT Askrindo, Tony Agustiawan mengatakan hingga april 2007, secara nasional total jaminan kredit yang diberikan sejak tahun 1971 telah mencapai Rp 108 triliun.
“Sudah sekitar 7,1 juta unit usaha yang kreditnya kita jamin hingga april 2007 ini,” katanya. Ketika ditanya target yang ingin dicapai pada pelaksanaan LPKD yang akan segera diluncurkan tersebut, ia mengatakan pihaknya tidak menargetkan jumlah atau nominal.
“Target kita bukan pada jumlah dana yang kita jaminkan, tetapi lebih kepada terjadinya peningkatan kelas bagi para pelaku UKM,” terangnya.
Dimata Tony, bisnis kredit merupakan bisnis dengan high risk (risiko yang tinggi-ed). Oleh karena itu, pihaknya juga akan menggunakan prinsip-prinsip asuransi. Ia juga berjanji akan mengoptimalkan dana kredit dari Pemkot tersebut untuk para pelaku UKM.
PT. Askrindo sendiri merupakan anak perusahaan Bank Indonesia (BI) yang didirikan pada 1 april 1971. Sebesar 55 persen saham perusahaan ini dimiliki oleh BI, sedangkan sisanya sebanyak 45 persen dipegang oleh Departemen Keuangan.
Pihak Bank Indonesia (BI) yang diwakili oleh bagian analisis madya, Ahmad Sobari mengatakan pihaknya hanya melakukan pemantauan terhadap program ini. “Karena kami hanya menjadi fasilitator maka kami akan melakukan pemantauan saja terhadap bergulirnya program ini. Tentu dengan melihat secara teliti laporan bulanan yang ada,” tandasnya.
Kabar peluncuran LPKD ini tentu menjadi kabar gembira bagi para pedagang kaki lima (PKL) di Kota Pontianak. Maklum saja, pelaku usaha kecil ini kerap menjadi ‘kambing hitam’ atas kesemrawutan wajah Kota Pontianak.
“Para pelaku usaha mikro kecil menengah selama ini selalu terkendala dalam hal pembiayaan untuk mengembangkan usahanya. Kehadiran LKPD ini diharap menjadi salah satu cara bagi para pelaku usaha kecil untuk mengembangkan usahanya,” ungkap Wali Kota Pontianak, Buchary A Rachman.
Para pelaku usaha kecil yang bisa mengakses kredit ini adalah para pengusaha kecil yang telah dinyatakan layak (visible). Penentuan layak tidaknya usaha kecil mendapat kredit, akan ditangani langsung oleh Bank Kalbar dan PT Askrindo.
Buchary mencontohkan seorang pengusaha bakso yang ingin memiliki lebih dari satu gerobak, dapat mengajukan kredit melalui Bank Kalbar. Kredit yang diajukan oleh tukang bakso tersebut akan dijamin oleh LPKD.
“Para pelaku usaha kecil yang visible tapi belum bank able, maka dengan LPKD ini akan ditingkatkan menjadi visible dan bank able. Dan yang dijamin oleh LKPD adalah risiko bila terjadi kemacetan dalam proses pengembalian kredit tersebut,”jelasnya.
Tak hanya LKPD, Lembaga Pembiayaan dan Jasa Manajemen untuk usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) melalui PT Permodalan Nasional Madani (PNM) Cabang Pontianak juga berkomitmen memberikan kemudahan dalam menyediakan bantuan kredit bagi UMKM.
“Kita melihat UMKM khususnya di Pontianak cukup berkembang dengan baik,” ucap Pimpinan PT PNM Cabang Pontianak, Yal Syahrial. Ia menilai bantuan kredit yang diberikan oleh PNM kepada para pelaku UMKM selama kurun waktu empat tahun terahir tidak mengalami kendala yang signifikan. Misalnya saja, salah satunya yang paling dikhawatirkan oleh pemilik modal yakni kredit macet atau pengembalian angsuran oleh kreditur melewati batas yang telah ditetapkan.
“Setiap tahun kita menyediakan dana sebesar 25 M untuk bantuan kredit dan tahun 2007 meningkat menjadi Rp 40 miliar, sedangkan kredit macet selama kurun waktu empat tahun terakhir masih di bawah 2 persen dan jumlah ini tidak terlalu mengkhawatirkan,” papar Yal Syahrial.
Sampai saat ini UMKM yang dibina dan beri pendampingan oleh PT PNM sebanyak kurang lebih 80 usaha. Yal Syahrial memaparkan para pelaku usaha yang ingin mendapatkan bantuan modal bisa mendatangi PNM dengan memperhatikan syarat seperti minimal usaha tersebut sudah berjalan dua tahun, memiliki izin usaha, dan memiliki asset usaha untuk UMKM minimal 20 juta, sedankan untuk koperasi, minimal asset usaha lebih dari Rp 2 miliar.
Kemudahan dan pelayanan bantuan kredit serupa juga ditawarkan oleh bank-bank yang keberadaannya terbilang baru di Pontianak. Sebutlah Bank Centra Dana Kapuas Cabang Hijaz yang diresmikan Bulan November lalu.
Kantor cabang yang diresmikan Pimpinan Bank Indonesia R Supriyadi ini adalah kantor cabang ke dua di Kalbar. “Diharapkan mampu membangun perekonomian daerah, guna mewujudkan dan memberdayakan perekonomian rakyat dalam perkreditan, tabungan dan BPR,” kata Supriyadi. .
“Karena kami semakin dekat dengan Anda dan siap melayani berbagai kebutuhan perbankan yang anda perlukan,”ungkap Direktur Bank CDK, H Masru. Bank Centra Dana Kapuas Cabang Pontianak dikatakannya, menyusun strategi dan program perbankan dengan mengedepankan pelayanan kepada konsumen.
Ditambahkan Dirut Bank CDK, Paulus Sing Kiang, untuk tahun depan, Bank Centra Dana Kapuas akan meningkatkan pelayanan perbankan ini dengan membangun ATM di setiap kantor cabang atau kantor kas.
Bank Centra Dana Kapuas ini dikatakannya akan menjadi sebuah Bank yang profesional, karena dalam Dewan Komisaris, bank ini dipimpin oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan perbankan, seperti Komisaris Utama Hengki S, Komisaris Sutanto, Direktur Utama Paulus Sing Kiang, Direktur H.Masru.
“Sebagai Bank Swasta yang bergerak di bidang perkreditan kami selalu memanjakan nasabah dalam memperoleh modal dalam berusaha,” janjinya. Acara peresmian ini juga dihibur oleh tarian Barongsai dari Yayasan Budi Agung.
Tak ingin tertinggal, Bank Muammalat juga meluncurkan program Komunitas Usaha Miikro Muammalat berbasis Masjid (KUM3). Program KUM3 ini digulirkan untuk menjalani kehidupan baru dan untuk membangun kesejahteraan melalui perbankan Islam yang halal dengan hasil yang lebih baik.
Shar-e yang merupakan produk Bank Muammalat juga khusus hadir bagi masyarakat yang membutuhkan pengelolaan dana secara Islami dengan cara yang mudah.
Di mana dalam launching tersebut, hadir Bupati Pontianak, Drs H Agus Salim, MM, yang langsung meresmikan program tersebut, serta Camat Sungai Pinyuh, Gusti Hadriyani SSos, tokoh agama dan masyarakat, serta ibu-ibu majelis taklim se- Kecamatan Sungai Pinyuh.
Pimpinan Bank Muamalat Indonesia, Cabang Pontianak, Suparmo Salim, dalam sambutannya mengatakan, KUM3 sebagai wujud pengembangan dan kepedulian Bank Muamalat terhadap masyarakat dalam rangka membangun ketaatan kepada Allah SWT.
Bank Muammalat dikatakan Suparmo, lahir di Pontianak, melakukan aktivitas bisnis dan memiliki fungsi sosial. Sudah menjadi ketetapan pengurus Bank Muammalat dan Baitul Maal Muamalat dengan program memperdayakan ekonomi usaha mikro, yaitu usaha-usaha yang dimiliki keluarga yang belum mampu memenuhi hidupnya secara wajar. (dari berbagai sumber)□


Read More..

Arsitektur Rumah Melayu Kalbar



Riset dan Adopsi dari 22 Keraton

Safitri Rayuni
Borneo Tribune, Pontianak

Setahun riset mengenai rumah Melayu di Kalbar, arsitek Ahmad Roffi Faturrahman ST dan Ari Yanuarif MT memulai merancang bangunan yang representatif mewakili Melayu Kalbar. Riset dilakukan sekitar tahun 2002-2003.

“Mulanya kami menginventarisir keraton-keraton yang ada di Kalbar untuk mendapatkan tipikal dan denah. Dari semua daerah kabupaten dan kota, ada 22 keraton yang masih tersisa dari 36 keraton yang terinventarisir,” terang Ahmad Roffi.
Detil yang menjadi catatan Roffi dan Ari adalah tipikal umum rumah Melayu, denah, sifat simetris bangunan, keseimbangan sisi kiri dan kanan rumah.
Secara detil, Roffi menggambarkan rumah Melayu sangat adaptable dengan iklim tropis. Umumnya rumah-rumah Melayu di Kalbar adalah rumah panggung. Memiliki teras besar, dengan ciri khas tangga yang banyak.
“Bentuk panggung dengan tangga yang tinggi dan banyak bukan tanpa alasan. Dengan iklim tropis, kolong di bawah panggung dimaksudkan sebagai penyangga panas agar tidak langsung naik ke rumah,” katanya.
Bangunan atap rumah Melayu di Kalbar mendapat pengaruh dari arsitektur atap bangunan di Jawa.
Model atap segitiga ini memiliki derajat ketinggian maksimal 30 derajat. Dimaksudkan agar udara panas terperangkap ke bawah atap lebih dulu dan tidak langsung mencapai bagian dalam rumah. Kolong tinggi di bawah dan atap segitiga di atas menurutnya adalah kemampuan rumah Melayu beradaptasi dengan iklim tropis.
“Ini adalah bagian dari kebijakan orang-orang dahulu, tidak seperti sekarang orang lebih mementingkan desain modern ketimbang adaptasi dengan iklim,” katanya. Dalam seminar arsitek rumah Melayu di Malaysia belum lama ini, peneliti rumah Melayu asal Jepang dan Singapura memaparkan hasil riset mereka di sejumlah daerah dan negara rumpun Melayu. □

Read More..

Saturday, January 5, 2008

*Konsep Centra UKM di Rumah Melayu



Akan Dibangun Mini Market dan Penginapan Empat Lantai

Safitri Rayuni
Borneo Tribune, Pontianak

Latar belakang dibangunnya rumah melayu adalah tekad yang kuat dari para pengurus Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) untuk membangun spirit of Malay di kalangan masyarakat Melayu. Demikian ungkap Mirza A Moein, pengurus MABM.

Dikatakannya, keberadaan rumah Melayu menjadi lambang identitas masyarakat Melayu. “Diharapkan pembangunan rumah Melayu ini menjadi pemacu semangat masyarakat Melayu untuk membangun identitasnya,” ungkap Mirza.
Membicarakan mana yang lebih dulu, pembangunan fisik atau pembangunan semangat, kata Mirza seperti membicarakan mana yang dulu dibangun, pagar atau bangunan. “Tentu akan kita bangun bangunan dulu dari pagar,” kata Mirza.
Setelah adanya pembangunan rumah Melayu ia berharap semangat masyarakat Melayu mengenal budaya keseharian dan identitasnya sebagai orang Melayu semakin meningkat.
“Saat ini pembangunan rumah Melayu baru sampai pada tahap Balairung Sari dan Balai Kerja, ini baru sebatas simbol saja, ke depan pembangunannya akan lebih berkonsep pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat Melayu,” kata Mirza.
Pembangunan berkonsep pemberdayaan ekonomi dimaksudkannya adalah konsep centra Unit Kecil dan Menengah (UKM) di kawasan bangunan rumah Melayu. “Rumah yang didirikan di lokasi eks Kompleks Kantor Gubernur Kalbar ini akan mengakomodir seluruh potensi kaum Melayu, yang rancangannya tidak terlepas dari fungsi bangunannya,” terangnya.
Luas area 13.940 meter persegi (102,5 m x 136 m) ini tak hanya terdiri dari Balairung Sari dan Balai Kerja saja, namun kompleks ini akan diisi pesanggarahan yang berfungsi sebagai penginapan, mini market, perpustakaan, klinik kesehatan, apotek dan kedai.
Pesanggarahan akan memuat ruang tidur, ruang pertemuan, ruang makan, ruang pengelola, gudang, dan parkir. Jumlah ruang tidur menurut rencana 45-50 unit masing-masing 2-4 orang/kamar. Letaknya berada di belakang bangunan utama.
Balai rakyat atau kedai, juga akan berdiri di sayap kanan bangunan, lengkap dengan taman bermain dan kios penjualan. Di dalamnya akan berisi ruang kios makanan tradisional, kios kerajinan, kios umum dan parkir.
Balai pengobatan, berfungsi sebagai klinik kesehatan dan bersalin. Tempat ini berisi ruang periksa, ruang tindakan, rawat inap, gudang dan parkir. Tiga klinik dan 20 pasien rawat inap.
“Pembangunan dibantu Pemkab atau Pemprov Kalbar. Saat ini Balairung Sari dan Balai Kerja adalah simbol, yang terpenting adalah Spirit of Malay, dimana kultural, budaya, dan cara berpikir yang memberi keseimbangan,” ungkap Mirza.
Mengenai museum mini dan perpustakaan, kata Mirza sudah ada tim kajian atau lembaga riset. “Kami akan meminta bantuan lembaga riset yang ada di STAIN dan Pusat Kajian Melayu Untan,” katanya. Kedai diharapkan bisa beroperasi pada 2008 mendatang, dan Batam berencana akan berinvestasi Rp 250 juta. □


Read More..