Sunday, March 22, 2009

Iiihh melahirkan itu seperti...(part Two)


Ada beberapa alasan mengapa kami memutuskan untuk melahirkan di klinik bidan. Walaupun sejumlah keluarga dekat menyayangkan pilihan itu. Maklum, anak pertama (juga cucu pertama) bagi keluarga suami saya, semua pinginnya berjalan mulus dan sempurna.

Bagi kami, pilihan melahirkan di bidan tidaklah mengurangi keinginan melewati semua dengan sempurna. Justru kami sangat ingin persalinan ini bisa sempurna dengan cara normal (bukan operasi). Kami ingin proses yang dilalui bisa sealami mungkin, sehingga pemulihan pasca melahirkan bisa berjalan cepat.



Walaupun jujur saya takut juga. Berbagai macam rasa takut mendera saya. Takut menanggung sakit yang amat sangat. Takut jika saya harus pergi selamanya. Saya sungguh tak bisa membayangkan rasa duka yang melingkupi bila semua terjadi seperti ketakutan-ketakutan saya itu.

Rasa berani juga coba saya kumpulkan. Keyakinan bahwa pertolongan itu selalu ada. Manusia tak bisa mengandalkan kekuatannya sendiri. Melainkan kekuatan Tuhan dan tentu doa orang-orang yang mengasihinya. Bismillah.....

Tiba di bidan. Saya kaget. Bidan yang memeriksa malam itu bukan Bidan Ratna, seperti biasa, tapi bidan lain, yang belakangan saya tau namanya Bidan Marike (Ike). Wajahnya manurut saya jutek (sorry ya bu Bidan). Wajahnya sangat susah menyunggingkan senyum. Pembawaannya panikan alias gak tenang seperti bidan Ratna. Saya menilai begitu karena begitu tiba, berkenalan pun tidak (sebagai basa-basi orang timur yang baru pertama ketemu), ditensi pun tidak, saya diminta membuka pakaian bagian bawah. Its very tactically for me. Sangat tak nyaman.

Malam itu kami ditempatkan di kamar kelas I. Bidan Ike pesan, jangan panggil pertolongan kalau sakitnya belum sakit sekali. "Baru pembukaan dua, tahan saja sakitnya dan jangan panggil saya sebelum ibu benar-benar tidak tahan sakitnya ya. Kalau sakit sekali pegang saja lutut sambil bilang iihhhkkkkk (dengan wajah menggeram merapatkan gigi). Ibu tidak akan bisa tidur malam ini, karena akan sakit sekali. Perkiraan saya pagi baru melahirkan," pesannya.

Oooh sungguh pesan yang tidak menenangkan buat saya dan suami yang malam itu memang memutuskan menginap dan menanti di klinik. Ya, kami tak mau panik saat waktu semakin dekat. Jadi lebih baik menginap. Saya juga tak mau melihat suami panik menyetir mobil karena harus segera tiba di klinik.

Sepanjang malam itu, servis di bidan hanya dijenguk sekali oleh bidan Ratna dan perawat yang mengganti bola lampu WC yang putus. No snack, no food just drink water. Malam semakin larut. Sakit semakin menghujam.

t

Read More..

Wednesday, March 11, 2009

Iiihh melahirkan itu seperti...(part One)


Aku mau cerita-cerita dikit soal proses persalinan normal yang aku jalani. Walau sampai sekarang aku belum menemukan kata-kata yang pas buat mendeskripsikan rasa yang aku alami. Baik padanan kata yang pas buat menggambarkan jeri pada fisik dan kebahagiaan pada psikis. Juga ketegangan-ketegangan yang aku lewati.

Tegangnya, malam di mana kami terburu-buru akan ke klinik bidan, suami saya harus mengantarkan seorang ibu korban penjambretan untuk melapor ke pos polisi terdekat. Jeri fisik yang tak tertahankan lagi memaksa aku untuk tetap berusaha bersabar, semoga pertolongan yang diberikan suami secara tak langsung turut mempermudah proses kelahiran bayi kami nantinya.



Suami saya yakin dan bilang, jika kita menolong orang susah Allah pasti juga akan menolong kita. Saya terkesima. Kagum bercampur bangga. Merasakan betapa beruntungnya saya dicintai lelaki yang berjiwa sosial, tidak individualis alias mengutamakan kepentingan dirinya di atas kepentingan orang lain yang sedang kesusahan. Thanks god, u send me a nice person.

Ceritanya, pada sore harinya aku sudah mulai merasakan kontraksi ringan. Kami ke bidan. Periksa dan tensi. Bidan bilang belum pembukaan. Padahal tanda berupa lendir dan darah cokelat sudah mulai ada sedikit-sedikit. Kata Rinda via telepon dari Sintang, kakak saya yang bidan, berarti sudah dekat waktunya.

Pulang dari bidan, saya dan suami jalan-jalan sore. Kami belanja ikan, jagung muda, dan sayuran, buat stok di rumah. Kebetulan Ibu saya sudah tiba sejak dua minggu lalu. Ibu saya hobi masak. Kami hobi makan. Klop lah. Sepanjang jalan, suami memutar lagu Internationale, lagu perjuangan katanya, dengan harapan anak kami jadi pejuang kelak. hehe ada ada aja..amin deh

Magrib menjelang. Kontraksi semakin kuat dan intens. Ayah mertua saya datang menjenguk. Ibu mertua sedang pemulihan usai opname, jadi tidak ikutan. Mertua meminta kami segera ke RS bersalin RS Fatima. Saya masih menunggu. Sebab kami memang berniat ke klinik bidan.

Pukul 20.30 mertua pulang. Tak lama saya merasakan kontraksi yang semakin kuat. Kami sudah hendak pergi, tapi kasihan ibu saya sendiri di rumah. Suami pun saya minta menjemput Risma, anak Bibik (orang yang selalu bantu-bantu beresin rumah) buat menemaninya. Nah, dalam perjalanan menjemput itulah seorang ibu sedang panik karena tasnya dijambret dua pria bermotor Yamaha Mio. Orang-orang ramai mengelilingi si Ibu tanpa memberi solusi apapun. Mana tangan si Ibu keseleo akibat adu tarik dengan si jambret. Pemuda setempat yang mau mengejar pelaku juga tertinggal jauh. Pak RT hanya bengong, sampai Ronny berinisiatif mengantar korban ke pos polisi terdekat. Sebelumnya ia menyempatkan menelepon saya meminta bersabar dan minta kirimkan nomor polres ketapang. Ck..ck...mana hape nya pake ketinggalan lagi....duhhh

Pukul 21.30 kami pun tiba di klinik Bidan Ratna. Di sinilah proses ketegangan dan jeri tak terkira mendera sepanjang malam hingga pagi menjelang. Ada sabar yang hendak dikayuh, ada sendu yang mendayu, ada haru yang membiru, juga ada kantuk (secara sepanjang malam gak bisa tidur dengan enak)...yang tak tertahankan..uaaaahhhhmmmmmm (to be contiuned)

Read More..

Tuhan rela memberi....




Nathan Ganesh Ilkiya. Nama ini kami pilih buat bayi kecil kami yang lahir Kamis (26/2) lalu. Nathan saya ambil dari Nahtan yang bahasa Spanyol berarti Tuhan rela memberi. Juga dari bahasa Ibrani...nama Nathan adalah nama dari saya, ibunya.

Sebelumnya kami (saya dan ayah Nathan) sudah menyadari, sebagai muslim nama ini pasti jadi kontroversi di kalangan keluarga besar kami yang umumnya lebih cenderung kepada nama-nama 'islami' yang identik dan notabene dengan kosakata bahasa Arab.


Abang kembar saya, orang pertama yang komplain kalau nama Nathan adalah nama tokoh Yahudi. Walau komplain ini ditujukan lewat ibu saya dan tidak langsung ke saya dan suami. Kami bisa memahaminya. Buat kami, nama 'islami' bukan jaminan perilaku hidup si empunya nama. Coba lihat orang-orang yang disidik dan ditangkap KPK, kebanyakan memiliki nama dengan kosakata arab berbau islam dengan arti yang sungguh indah. Betapa memalukannya.

Suami saya berpendapat bahwa nama tidak dengan serta merta mengkafirkan seseorang. Setiap nama menurut Ronny mengandung doa dan harapan buat si empunya nama. Tak ada yang salah dengan arti nama yang kami berikan, arti dan harapan yang terkandung dalam nama itu kami nilai sangat bagus. Pertanyaannya pakah salah dan tak boleh seorang dengan nama berbau Yahudi atau Nasrani memiliki keyakinan sebagai muslim atau sebaliknya, tak sedikit orang di Timur Tengah memiliki nama berbau muslim dan menganut agama non muslim. Apakah seorang Nathalie atau Kristin tak boleh beragama Islam, dan harus mengubah namanya dahulu sebelum atau sesudah masuk Islam. Betapa ironisnya.

Sebelumnya cukup lama bagi kami untuk merumuskan dan memilih nama. Waktu kehamilan sembilan bulan tidaklah cukup bagi kami untuk memutuskan nama yang tepat. Bisa dibilang, persiapan dan kelengkapan bagi kelahiran bayi kami sudah 90 persen tersedia, namun tidak dengan nama.

Sebelum kami memberi nama bagi Nathan, abang saya minta anak kami dikasi nama yang ada Muhammad nya. Ayah mertua saya malah sudah menyiapkan nama seperti Muhammad Rafiq, dan dua nama lain yang saya lupa. Tapi kami berpikiran, cukuplah nama kami selaku anak yang diintervensi ortu, sementara nama anak kami biar kami selaku ortu yang memberi. Adil bukan? hehe




Nama Nathan juga terinspirasi dari Nathan Sang Bijak (judul asli dalam bahasa Jerman Nathan der Weise) adalah sebuah sandiwara karya Gotthold Ephraim Lessing, yang diterbitkan pada 1779. Isinya mengandung imbauan yang mendesak untuk toleransi keagamaan.

Sandiwara ini dilarang dipertunjukkan oleh Gereja pada masa hidup Lessing.
Sandiwara yang mengambil tempat di Yerusalem pada masa Perang Salib Ketiga, melukiskan bagaimana Nathan, sang pedagang Yahudi yang bijaksana, Sultan Saladin yang berhikmat dan Templar (yang mulanya anonim) menjembatani perbedaan-perbedaan mereka antara agama Kristen, Yudaisme dan Islam.

Bagian inti dari karya ini adalah perumpamaan cincin, yang dikisahkan oleh Nathan ketika ditanya oleh Saladin, agama manakah yang benar: Sebuah cincin warisan yang mempunyai kemampuan ajaib untuk membuat si pemiliknya berkenan di mata Allah dan umat manusia telah diteruskan oleh seorang ayah kepada anak lelaki yang paling dikasihinya.

Ketika tiba pada seorang ayah yang mempunyai tiga orang anak lelaki yang sama-sama ia cintai, ia berjanji untuk memberikannya (dalam "kelemahan yang saleh") kepada masing-masing anaknya. Ia berusaha mencari jalan untuk memegang janjinya, karenanya ia membuat dua tiruan yang sempurna dari cincin aslinya. Begitu sempurnanya sehingga kedua cincin tiruan itu tidak dapat dibedakan dari aslinya. Di ranjang kematiannya ia memberikan masing-masing cincin itu kepada masing-masing anaknya. Ketiga bersaudara itu saling bertengkar tentang siapa yang mendapatkan cincin yang sejati. Seorang hakim yang bijaksana menasihati mereka bahwa semuanya tergantung kepada diri mereka sendiri untuk menunjukkan melalui hidup mereka bahwa kuasa cincin itu benar-benar terbukti. Nathan membandingkan hal ini dengan agama, sambil mengatakan bahwa masing-masing kita hidup menurut agama yang telah kita pelajari dari mereka yang kita hormati.

Tokoh Nathan ini pada umumnya mengikuti teladan sahabat lama Lessing, sang filsuf terkemuka Moses Mendelssohn. Serupa dengan Nathan Sang Bijak dan Saladin, yang dibuat Lessing bertemu di sekitar papan catur, mereka sama-sama mencintai permainan itu.



Nama Ganesh adalah nama sumbangan dari Oppie, adik ipar saya yang sedang menyelesaikan kuliah pertambangan di Yogya. Ganesh artinya berilmu dan cerdas. Mulanya Oppie menyumbang nama Ganesh Lenno (pria) Minerva (bijaksana) buat bayi cowok dan Almira (putri) Gian Istifari (selalu beristighfar) buat bayi perempuan.

Sedangkan nama Ilkiya adalah nama pemberian Ronny, suami saya. Nama ini diambil dari bahasa Persia yang berarti orang yang terpandang. Mudah-mudahan dengan nama ini kamu tumbuh dan besar sebagai manusia yang humanis dalam didikan orang tua mu ya Nak. Amiiin


Read More..