Wednesday, April 21, 2010

Karbon lebih bernilai di tanah gambut



Oleh : Safitri Rayuni
FFI Update Ketapang-Surga gambut di Sentap Kancang agaknya membuat kawasan ini menjadi istimewa. Kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitarnya bukan lagi mimpi apabila mereka jeli melihat potensi gambut di Hutan Sentap Kancang. Mampukah masyarakat di sana memasuki pasar perdagangan karbon dunia, dengan potensi gambut sedalam 15 meter yang ada?
“Tentu saja, apabila kita optimis dan bisa mengubah kekhawatiran bersama, pasti akan lebih baik. Potensi karbon lebih bernilai di tanah gambut dibanding tanah kering,” jawab Robert Vanoi Gerrits investor dari World Bank, usai diskusi bersama warga Sungai Putri dan pemerintah setempat, Rabu (17/2) lalu.

Ia mengatakan ada beberapa sistem investasi karbon di tanah gambut, mengingat potensi karbon di tanah gambut lebih banyak dibanding tanah kering biasa. “Seberapa besar investasi tergantung warga di sini. Jika dibuat pagar sekalipun di kawasan hutan, orang akan tetap masuk, sebab masyarakat di sekitar hutan sangat tergantung dengan hasil hutan berupa kayu. Sementara nilai dari karbon ada di kubah gambut yang ada di hutan,” lanjutnya sembari mengatakan bahwa karbon bisa disimpan juga bisa ditambah sesuai kebutuhan.
Gerrits menilai diskusi yang digelar FFI bersama warga pada hari itu cukup penting bagi World Bank sebagai salah satu calon investor. “Memang belum ada jawaban dari banyak pertanyaan yang diajukan warga, tetapi bukankah untuk mencari jawaban harus ada pertanyaan dulu,” katanya tersenyum.
“Saya senang sekali, sebab proses untuk bikin proyek REDD bersama itu lumayan baru. Sementara aturan dari pemerintah belum pasti, penelitian yang dilakukan juga belum pasti. Tetapi jika kita bisa mengubah kekhawatiran bersama, pasti hasilnya akan lebih baik,” tegasnya lagi.
Sentap Kancang memang memiliki peranan yang sangat penting sebagai penyimpan karbon. Kandungan karbon rata-rata yangdimilikinya mencapai 4.172 ton per hektar. Bahkan di daerah dengan tutupan hutan yang masih bagus bisa mencapai 19 ribu-30 ribu ton karbon per hektar. Sementara untuk kawasan yang sudah ada pembalakan 12 ribu ton per hektar, kawasan yang terbakar hanya 2.000 ton per hektar.
Kawasan hutan dengan luas hampir 50.000 hektar ini didominasi kubah gambut ombrogen yang sangat luas. Tebalnya hingga 15 meter. Selain sebagai penyimpan karbon, kawasan hutan juga berperan sebagai reservoir (penyerap) air. (*)

Read More..

Tidak sekadar ketemu dan tangkap

oleh : Safitri Rayuni
FFI Update Ketapang- Proses edukasi, pelatihan dan pemberian pemahaman kepada masyarakat adalah pendekatan yang terbaik bagi mereka. Dengan begitu, masyarakat memiliki kesadaran untuk mengikuti aturan dan regulasi yang berlaku, demikian dikatakan Country Director FFI-IP, Darmawan Liswanto dalam forum bersama DPRD Ketapang.
“Tidak sekadar ketemu lantas ditangkap, harus ada proses edukasi, sehingga mereka bisa menularkan pengetahuannya kepada masyarakat yang lain,” lanjutnya.
FFI-IP dalam sejumlah kegiatannya di beberapa lokasi di Indonesia, termasuk di Sumatra, telah melibatkan sejumlah tokoh untuk memainkan fungsi-fungsi yang melekat di masyarakat.



“Seperti adanya Panglima Hutan dan Panglima Laut di Aceh, mereka bertugas mengatur dan mengelola hutan dan adat istiadat di Aceh, mereka memudahkan komunikasi antara semua pihak. Begitu juga keberadaan Polisi Hutan Masyarakat Aceh, mereka sangat membantu,” kata Darmawan.
Apa yang berlaku di Aceh saat ini, kata ia, coba dilakukan juga di Taman Nasional Danau Sentarum, Kapuas Hulu. “Di Aceh sudah ada empat kelompok masyarakat yang berjalan baik, keberhasilan itu bukanlah keberhasilan FFI semata, FFI hanya merubah sebagian,” ujarnya merendah.
Kerjasama dengan pemerintah, PHKA, Kepala Balai Taman Nasional dan masyarakat lah yang menurutnya menjadi faktor kunci. “Tanpa masyarakat akan sangat sulit berhasil,” tekannya.
Pengetahuan tradisional dari masyarakat juga sangat dibutuhkan. “Bagaimana menanam tanaman hutan seperti mempercepat proses dan pembenihannya, sering berasal dari pengetahuan tradisional masyarakat,” ujarnya.
Di Kalbar, pengetahuan tradisional masyarakat Melayu dengan membuat banjaran atau galangan dinilainya merupakan pengetahuan yang baik. “Dimana gambut tidak dibuka semua, tetapi ditumpuk, sehingga membantu tata kelola air gambut. Berbeda dengan kanal yang menyebabkan intrusi air asin, galangan relatif lebih bagus” terangnya.
Persoalan konservasi dilanjutkannya, tidak hanya sekadar rencana pembangunan dan pembangunan masyarakat. “Di Ketapang belum ada dialog mengenai ini, tetapi di Kapuas Hulu skema REDD sudah menjadi bagian dari tata masyarakat daerah. Skema REDD melibatkan masyarakat untuk pengamanan dan restorasi,” tuturnya.
Dalam skema jangka panjang REDD, balas jasa untuk masyarakat yang akan diberikan bisa dalam bentuk tabungan pendidikan dan kesehatan. Tabungan pendidikan dimaksudkan agar terjaminnya usia sekolah bagi masyarakat.
Ditanya mengenai alur dana, Darmawan mengaku alur dananya belum tuntas dibahas. “Alur dana belum jelas bagaimana, masih didiskusikan di internal kami, yang jelas tidak boleh dibagi cash atau tunai, sebab bisa habis begitu saja, karena kita bicara konteks jangka panjang,” tuturnya.
Dari Millennium Development Goals (MDGs), tercatat human development index (HDI) Kalbar sangat rendah, termasuk di dalamnya pendidikan dan kesehatan. MDGs merupakan 8 tujuan yang akan dicapai per 2015 guna menjawab tantangan utama pembangunan dunia.
MDGs dirumuskan dari target yang tertuang dalam Millennium Declarations yang ditandatangani oleh 147 kepala negara saat UN Millennium Summit (konferensi tingkat tinggi millennium PBB) pada September 2000.
Pendidikan dan kesehatan menjadi kebutuhan dasar masyarakat Kalbar. “Apapun yang diberikan nantinya jangan dalam bentuk cash, tetapi yang sifatnya social saveguard seperti tabungan beasiswa misalnya, atau aktivitas pertanian atau peternakan, yang berdampak jangka panjang,” tandas Darmawan. (iphiet)

Read More..

Pemda Ketapang perlu kemitraan

oleh : Safitri rayuni
FFI Update Ketapang- Walaupun mengaku optimis skema REDD bisa berjalan baik di Ketapang, namun Direktur Bina Perhutanan Sosial (BPS), Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Kementrian Kehutanan, Billy Hindra, menilai Pemerintah Daerah Ketapang perlu bermitra dengan banyak pihak.
“Pemda Ketapang perlu kerjasama dengan banyak pihak, perlu NGO seperti FFI dan lainnya. Saya selalu optimis ini berjalan baik, namun perlu komunikasi antara pusat, daerah dan pihak lain agar tidak saling curiga,” ungkap Billy, ditemui secara terpisah di luar forum dialog.



Pemda menurutnya wajib melakukan pelatihan dan pendidikan, termasuk pengembangan kelembagaan serta bimbingan kepada masyarakat. “Juga diperlukan komunikasi dengan masyarakat tentang hutan desa yang diusulkan, sehingga masyarakat bisa meningkatkan taraf hidupnya,” tambahnya.
Target realisasi hutan desa tahun 2010 secara nasional adalah 100.000 hektar di 20 kawasan di Indonesia, meliputi Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.
“Alternatif lainnya adalah hutan kemasyarakatan, terkait pengembangan kebutuhan pemerintah dan masyarakat melalui skema REDD,” ujarnya.
Sedangkan hutan desa di Ketapang direncanakan ada di tiga lokasi. Pertama, hutan gambut di Matan Hilir Selatan (MHS), tepatnya di Pematang Gadung seluas 26.778 hektar. Lainnya di Beringin Rayo, Tumbang Titi dan Marau, seluas 61.835 hektar. Total kawasan hutan keseluruhan adalah 88.613 hektar.
Mengenai penetapan kawasan hutan desa di MHS perlu diusulkan Bupati kepada Menteri kehutanan. “Untuk Marau karena statusnya Areal Penggunaan Lain (APL) tidak harus diusulkan Bupati, namun merupakan wewenang Bupati karena sifatnya hutan rakyat,” tuturnya. 86.613 hektar adalah angka luasan yang besar, sehingga menurut Billy batas pengelolaan perlu diperhatikan, agar sesuai dengan batas administrasi desa.
“Untuk hutan desa di MHS, masuk dalam skema perdagangan karbon untuk Indonesia. Sedangkan di daerah lain di Jambi, hutan microhydro seluas 2.356 hektar,” rincinya.
Billy juga menekankan pentingnya aksesibilitas masyarakat terhadap hutan. “Kita berupaya membantu agar apa yang selama ini tidak legal menjadi legal, namun sesuai aturan,” katanya.
Ia menegaskan harus jelas pemahaman di tingkat masyarakat dan pemerintah tentang zona pemanfaatan, zona inti (rawan), kawasan hutan lindung dan hutan produksi. “Penting juga menciptakan unit usaha, bukan sekadar menanam, masyarakat perlu unit usaha apa, semisal jenis kayu unggul atau buah-buahan, perlu diakomodir. Sedangkan hutan zona inti bisa dikelola sebagai kawasan wisata alam,” tandasnya.

Read More..

Mengurai solusi kerusakan hutan di Ketapang



*Desa hingga parlemen bahas skema REDD

Oleh : Safitri Rayuni

FFI Update Ketapang- Tidak adanya akses legal masyarakat terhadap hutan dan kemiskinan menjadi salah satu penyebab pengrusakan hutan. Puluhan juta jiwa yang tinggal di kawasan hutan di Indonesia adalah masyarakat miskin. Angka ini seiring dengan lajunya degradasi hutan yang mencapai angka 0,8 juta hektar per tahun.
Uraian ini disampaikan Direktur Bina Perhutanan Sosial (BPS), Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Kementrian Kehutanan, Billy Hindra, dalam ekspos program yang dilakukan Fauna & Flora International (FFI)-Indonesian Programme kantor Ketapang bersama anggota Komisi II DPRD Ketapang, di gedung DPRD Ketapang, Rabu (3/3) lalu.

Hadir dalam forum itu Ketua DPRD Ketapang, Ir Gusti Kamboja MH selaku moderator, Sekda Ketapang, Drs Bachtiar, anggota komisi II DPRD Ketapang, sejumlah perwakilan instansi Pemkab Ketapang, Perwakilan Dinas Kehutanan Kalbar, Bambang Prihanung PS, Country Director Fauna & Flora International (FFI)-Indonesia Programme, Darmawan Liswanto, Koordinator REDD Nasional, Dewi Rizki, Kalimantan Project Leader FFI, Ahmad Kusworo, dan Project Leader FFI Ketapang, Happy Hendrawan.
Billy mengatakan, pemberian akses terhadap hutan negara bisa meningkatkan kapasitas hidup masyarakat miskin, namun harus mengikuti aturan yang berlaku.
Ia mencontohkan program Hutan Desa yang di-launching di Jambi. Pelaku utama adalah lembaga desa yang ditunjuk desa dengan peraturan desa (perdes). “Hak pengelolaan bisa dilaksanakan di hutan produksi, dengan mengambil manfaat alam, non kayu, dan tanaman. Sedangkan di hutan lindung, bisa memanfaatkan jasa lingkungan seperti air dan ekowisata,” terangnya.
“Banyak praktik-praktik pengrusakan hutan oleh masyarakat sekitar hutan. Pengembangan kebutuhan pemerintah dan masyarakat melalui skema REDD diharapkan bisa menjadi jalan tengah,” sambung Billy.
REDD kependekan dari reducing emission from deforestation and forest degradation atau pengurangan emisi dari kerusakan (deforestasi) dan penurunan kualitas (degradasi) hutan, adalah pendekatan yang mencoba mengurai benang kusut masalah kerusakan hutan.
Pendekatan ini terbilang baru. Konferensi Para Pihak Konvensi Perubahan Iklim ke-13 (COP 13) di Bali pada tahun 2007 menghasilkan Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan), melanjutkan Protokol Kyoto. Rencana ini mengakui pentingnya hutan dalam mengatasi perubahan iklim dan perlunya strategi mitigasi perubahan iklim melalui skema REDD.
Harapannya melalui skema ini pengurangan emisi karbon dan pengentasan kemiskinan berjalan beriringan. Hak masyarakat lokal untuk memanfaatkan hutan harus diseimbangkan dengan tujuan masyarakat internasional dalam mengatasi perubahan iklim.
Ide ini berbeda dengan kegiatan konservasi hutan sebelumnya, karena dikaitkan langsung dengan insentif finansial untuk menjaga hutan yang berfungsi sebagai penyimpan karbon.
Direktur FFI-IP, Darmawan Liswanto mengatakan, hak kelola pada masyarakat yang paling baik adalah yang menghasilkan benefit (manfaat). “Sebab selama ini pola kelola masyarakat hanya memakan biaya konservasi tanpa benefit,” ujarnya.
Ia menilai community carbon pool (CCP) adalah salah satu pemecahan masalah perubahan iklim. Banyak kawasan hutan yang dikelola masyarakat secara tradisional yang terancam terdegradasi akibat belum adanya legal akses dan tingginya tekanan dari pengembang perkebunan.
Legal akses diantaranya bisa diperoleh melalui penetapan hutan kelola masyarakat menjadi hutan desa. Ditambahkannya, dalam rentang waktu tahun 2009-2012 FFI membuat kesepakatan (MoU) untuk empat kawasan hutan desa yang menjadi pilot project (proyek percontohan) di Ketapang.
FFI juga akan memfasilitasi penguatan kapasitas masyarakat untuk mengelola hutan sehingga memungkinkan mereka menjual karbon dari hutan desa ke pasar karbon dunia. Dengan CCP, masyarakat di sekitar hutan bisa memperoleh insentif dari negara-negara maju.
Kalimantan Project Leader FFI, Ahmad Kusworo menambahkan, hutan gambut di Sungai Putri, Pematang Gadung, Pesaguan, dan lima desa di Kecamatan Tumbang Titi merupakan empat kawasan yang masuk dalam pengembangan mekanisme pendanaan berkelanjutan melalui skema REDD.
Sedangkan di Kabupaten Kayong Utara, ada zona penyangga Taman Nasional Gunung Palung. Sedangkan di Kapuas Hulu, ada hutan gambut di Danau Sentarum, Danau Siawan dan Danau Belida.
Sedangkan National REDD Coordinator, Dewi Rizki mengatakan, sedikitnya 10.300 hektar hutan telah diukur kedalaman gambutnya di komplek Hutan Sentap Kancang. Hutan ini juga merupakan koridor orangutan dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi.
“Semua spesies atau jenis pohon dilihat sebarannya, diameternya untuk melihat biometri hutan itu seperti apa,” katanya. Pengukuran itu dilakukan untuk memberikan nilai bagi sebidang lahan berhutan yang berpotensi menyimpan karbon.
Sekda Ketapang, Drs H Bachtiar mengatakan, Pemda Ketapang merespon program tersebut. “Status kawasan sudah tidak menjadi masalah, masyarakat juga bersungguh-sungguh, intinya bagaimana menyejahterakan masyarakat tetapi hutan kita tetap lestari,” katanya.
Project Leader FFI Ketapang, Happy Hendrawan menambahkan, permohonan hak pengelolaan hutan desa dilakukan oleh lembaga desa dan ditujukan kepada bupati untuk diteruskan kepada gubernur. “FFI Ketapang juga membantu masyarakat melakukan pemetaan partisipatif melalui pelatihan pemetaan belum lama ini, agar masyarakat desa mengetahui batas-batas desa mereka,” urainya.
Pada kesempatan lain perwakilan dari Dinas Kehutanan Kalbar, Bambang Prihanung PS mengatakan, satu dari enam sasaran yang dituju pemerintah saat ini adalah peningkatan sumberdaya manusia. “Pemerintah memfasilitasi agar masyarakat tidak terkena pidana kehutanan. Caranya dengan memberikan edukasi dan pelatihan bagi masyarakat sekitar hutan,” ujarnya.
Sejumlah anggota legislatif yang hadir dalam forum tersebut juga merespon baik program yang dipaparkan FFI-IP. Beberapa catatan yang menjadi masukan dari para wakil rakyat ini diantaranya adalah pentingnya pengawasan dari perangkat desa agar tidak menimbulkan masalah baru. Hal ini disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPRD Ketapang, A Sani.
Sementara legislator dari PKS, A Yani, mengingatkan agar pemanfaatan hutan desa juga perlu diiringi pengembangan ekonomi masyarakat sekitar. Yani juga meminta contoh program REDD dari FFI yang telah berhasil dilaksanakan.
Pentingnya mengelola hutan desa dengan tetap mengindahkan tata ruang daerah, disampaikan salah satu anggota Komisi II, Samsidi. “Saat ini saja PP (peraturan pemerintah-ed) tentang hutan adat belum terbit, belum lagi kita berbicara hutan desa yang belum ada implementasinya. Penting untuk diperhatikan agar program hutan desa dikaitkan dengan tata ruang daerah ini,” sarannya.
12 Pertanyaan Warga Desa
Dalam diskusi di Desa Sungai Putri, Rabu (17/2) lalu, ada sekitar 12 pertanyaan dari lima kelompok peserta diskusi membahas skema REDD. Setiap kelompok terdiri dari warga desa dan fasilitator ini mendapat instrumen berupa poster skema pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.
Mereka membahas skema REDD tersebut selama satu jam lebih dengan antusiasnya. Dari diskusi per kelompok yang dimoderatori Social Research Community FFI-IP, Sabinus Melano, timbul 12 pertanyaan dari warga. Diantaranya persoalan solusi lapangan pekerjaan, apabila pekerjaan membalak kayu mulai dibatasi.
Pertanyaan pemanfaatan kayu untuk rumah dan kayu bakar juga muncul dari kelompok II, Masyarakat pedesaan umumnya hidup tergantung hutan, bagaimana caranya hutan tetap terjaga dan kebutuhan masyarakat tetap terpenuhi? Usaha apa yang dapat diupayakan FFI dan pemerintah untuk menanggulangi hal tersebut? Bagaimana sistim bagi hasil dari REDD?
Dari berbagai pertanyaan itu setidaknya warga desa mulai peduli akan nasib desa dan hak mereka terhadap hutan yang ada di kawasannya. Project Leader FFI-IP Ketapang, Happy Hendrawan menilai pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah potret kegelisahan dan keinginan masyarakat yang bisa dipahami. “Semua ada proses, ibarat melamar gadis ada banyak tahapan yang bisa dilalui sebelum memasuki malam pertama. FFI adalah fasilitator, tanggungjawab negara dan masyarakat adalah untuk sama-sama menyejahterakan diri,” katanya.
Melano menambahkan, Hutan Sentap Kancang adalah hutan Negara dimana masyarakat memiliki hak untuk mengaksesnya. “Masyarakat Sungai Putri lah yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, kita akan membantu mereka menemukan jawabannya,” tukasnya.(*)

Read More..