* ‘Lontong Merdeka dan Jagung Bakar’ di Borneo त्रिबुने
Safitri Rayuni
Borneo Tribune, Pontianak
Kenapa lontong? Tanya saya ketika menu ini dijadikan sebagai menu utama sekaligus judul acara diskusi 17-an di Borneo Tribune malam Jumat lalu. Mungkin selain praktis disajikan, lontong dengan santan yang berlemak, legit dan manis dianggap cukup mewakili keberagaman dus kekentalan rasa kebersamaan yang ingin diwujudkan di sini.
Begitupula wacana dan lontaran yang disampaikan sejumlah pembicara yang hadir di Borneo Tribune benar-benar mewujudkan kenyataan yang terbayang tersebut. Kaya warna dan rasa. Manis, berlemak dan legit seperti lontong sayur dan jagung bakar malam itu.
Beri Pencerahan dan Pencerdasan
Seorang Halim Ramli misalnya. Tokoh budayawan milik Kalbar yang terkenal dengan goresan emasnya membuat maskot Kalbar “enggang gading” mengatakan betapa media massa memiliki peran nasionalisme. Ia teramat penting mendidik generasi mendatang.
Jurnalisme penting. Teramat penting. Satu-satunya yang bisa diandalkan.
Tampilan wajah, gambar hingga pilihan kata-kata harus sangat diperhatikan dalam jurnalisme. “Jurnalisme melawan kebodohan, ketertindasan, keterpinggiran! Kita di Kalbar ini tergolong tidak mampu karena terpinggirkan oleh kehendak-kehendak Pusat. Ada istilah numpang ketawa pun jadilah,” katanya.
Halim yang rambutnya kini berwarna perak ini melihat kebebasan berekspresi sudah cukup bagus dan harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. “Bukan untuk menjadi vulgar dan bebas sebebas-bebasnya. Sekarang kita sendiri yang mengatur diri kita, agar menjadi sebuah media yang elegan,” katanya.
Dulu, katanya, kalau seperti dirinya menulis “Mat Belatong” pasti sudah ditangkap rezim Orde Lama. Sekarang sudah mewah dengan kebebasan. Tentu kebebasan yang dilatari tanggung jawab moral membangun masyarakat.
Di awal era reformasi, bermunculan banyak media dengan teramat mudah. “Kran kebebasan ini membuat banyak orang dengan mudah menerbitkan media yang tujuannya juga beragam, dengan motif yang tak jarang untuk menghantam sana-sini,” katanya. Tulisan-tulisan seperti ini menurutnya lebih pantas untuk masuk ke ‘keranjang sampah’.
Borneo Tribune menurutnya harus memegang teguh prinsip awal untuk memberikan pencerahan dan pencerdasan. “Perlu dipegang teguh prinsip awal. Mudah-mudahan dengan hadirnya Borneo Tribune ada perbandingan dan warna baru di Kalbar,” katanya seraya mengecam liputan klenik, mistik yang dibesar-besarkan hingga foto vulgar nan berdarah-darah yang membuat gerah dan tidak mendidik.
Masih Terjajah
Seorang Ketua RT yang mewakili tokoh masyarakat setempat, Suprianto mengatakan saat ini kita tidak hidup di alam kemerdekaan, namun masih berada di alam penjajahan. “Sebab kemerdekaan dalam arti luas adalah merdeka dalam kehidupan berpolitik, ekonomi, dan sebagainya,” ungkapnya
Kemerdekaan kata Suprianto belum menyentuh rakyat kecil. Ia menyinggung soal penertiban illegal logging yang di satu sisi membuat masyarakat kelaparan.
Mantan pegawai BUMN yang kini membuat usaha sendiri berupa kompor minyak tanah dua tungku yang irit bahan bakar menilai pemerintah tak memberikan solusi kepada masyarakat. “Selama ini pemberitaan media lebih banyak kepada akibat, bukan sebab. Padahal kalau ada pekerjaan lain masyarakat tak mau bekerja di hutan sebab salah sedikit taruhannya nyawa. Resiko jadi pelaku illegal logging itu berat sekali. Pemerintah harus mencarikan solusi lapangan kerja,” kata alumnus Pertanian Untan ini.
Anggota DPRD Provinsi DPRD Provinsi, Michael Yan Sriwidodo, SE, MM berbagi cerita masa kecil di mana kondisi kemerdekaan era tahun 70-an hingga 80-an, juga kondisi saat ini dan pers yang kebablasan. “Kalau dulu kita sangat takut dengan aparat baik polisi maupun ABRI (TNI). Kalau mereka ada di jalan dan kita di luar maka orang-orang tua akan bilang masuk! Masuk!,” ungkap pria yang juga salah satu tokoh masyarakat Tionghoa ini.
Advokat Dwi Syafriyanti, SH menyoroti soal hukum yang tumpang-tindih dan membuat kebingungan para praktisi hukum. Ia mengaku gelisah dengan beberapa perubahan dan amandemen UUD 1945, bahkan khawatir Pancasila pun akan hilang.
Pengamat media yang mantan Direktur LPS-AIR, Faisal Reza, ST banyak mengupas soal tampilan dan rubrikasi Borneo Tribune. “Saat membaca Tribune pertama kali yang saya cari adalah Skumba. Sebab ini menjadi semacam inspirasi dan mengundang tawa. Pikiran kita selama ini media membawa ketegangan, namun dengan membaca cerita-cerita lucu seperti itu jadi berpikir ada sisi lain kehidupan yang harus ditertawakan termasuk mentertawakan diri kita sendiri,” ujar mantan aktivis mahasiswa ini.
Dikatakan, selama ini kalau membaca koran yang ditemukan pasti 5W + 1H. Namun jika ingin mendapatkan Why-mengapa-maka ia membaca Borneo Tribune. Kehadirannya diharapkan bisa memberikan warna lain bagi jurnalistik.
Faisal mengkritisi tampilan Borneo Tribune yang berani memasang gambar besar dan tulisan sedikit namun panjang bahkan ada ruang kosong. ”Mungkin selama ini mindset kita koran dengan berita yang padat, jadi belum terbiasa. Padahal Harian Tempo atau Tempo juga enak dibaca dengan tata wajahseperti itu,” kata dia sambil tersenyum.
Kepala Humas Pemprov Kalbar Drs Hamdan Harun, M.Si yang malam sangat sibuk terkaitagenda acara Agustusan Pemprov namun berusaha hadir prima menyoroti persoalan nasionalisme di Borneo Tribune. Ia kecewa dengan demo di kantor gubernur yang sampai ingin membakar dan menurunkan bendera beberapa waktu silam menyoal nasionalisme ini. ”Padahal bendera itu bukan hanya sepotong kain, namun ada makna penting bahwa puluhan ribu jiwa melayang untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan.”
Pakar hukum tata negara, Turiman Faturrachman Nur, SH, M.Hum melihat persoalan bangsa saat ini bukan hanya capacity building namun juga national and character building yang harus terus dibangun. “Untuk membangun bangsa ini mulai dari sendiri,” saran dia.
Turiman berfilsafat dengan 4 alif. Alif ditunjukkannya dengan sejengkal jari. Ia sejengkal di muka artinya mengukur diri dengan orang lain. Sejengkal ke kuping kiri dan kanan, yang artinya mau mendengar. Lalu alif satu lagi dari mulut ke hati.
Institutional Development Specialist NMC-NUSSP Ripana Puntarasa turut hadir ke malam refleksi kemerdekaan di Borneo Tribune. Ia mengaitkan kemerdekaan dan gagalnya pameran photography yang akan digelar Lukas B Wijanarko di Ayani Mega Mall. “Sesungguhnyaa hari ini ada peristiwa jurnalistik untuk pameran foto yang gagal diselenggarakan. Entah karena miss management atau apa, namun saya melihat ada arogansi di balik semua ini,” papar Ripana.
Ia melihat ada wilayah yang belum merdeka di dunia jurnalistik kita. Padahal jurnalistik adalah salah satu kunci perubahan. Media pencerdasan adalah jurnalistik. Ripana banyak menyoroti persoalan sosial dan kemasyarakatan dengan sudut pandang jurnalistik.
Semakin malam diskusi semakin hangat. Bahkan diskusi informal dilanjutkan di beranda belakang Borneo Tribune. Bermacam topik mulai dari hal sederhana hingga njelimet kembali muncul hingga pukul 00.30 WIB malam. □
Tuesday, August 21, 2007
Dialog Ringan Membedah Nasionalisme Kita
Diposting oleh Safitri Rayuni di 5:20 AM 0 komentar
Label: diary
Sunday, August 19, 2007
‘Lontong Merdeka dan Jagung Bakar’ di Borneo Tribune
Dialog Ringan Membedah Nasionalisme Kita
Safitri Rayuni
Kenapa lontong? Tanya saya ketika menu ini dijadikan sebagai menu utama sekaligus judul acara diskusi 17-an di Borneo Tribune malam Jumat lalu. Mungkin selain praktis disajikan, lontong dengan santan yang berlemak, legit dan manis dianggap cukup mewakili keberagaman dus kekentalan rasa kebersamaan yang ingin diwujudkan di sini.
Begitupula wacana dan lontaran yang disampaikan sejumlah pembicara yang hadir di Borneo Tribune benar-benar mewujudkan kenyataan yang terbayang tersebut. Kaya warna dan rasa. Manis, berlemak dan legit seperti lontong sayur dan jagung bakar malam itu.
Beri Pencerahan dan Pencerdasan
Seorang Halim Ramli misalnya. Tokoh budayawan milik Kalbar yang terkenal dengan goresan emasnya membuat maskot Kalbar “enggang gading” mengatakan betapa media massa memiliki peran nasionalisme. Ia teramat penting mendidik generasi mendatang.
Jurnalisme penting. Teramat penting. Satu-satunya yang bisa diandalkan.
Tampilan wajah, gambar hingga pilihan kata-kata harus sangat diperhatikan dalam jurnalisme. “Jurnalisme melawan kebodohan, ketertindasan, keterpinggiran! Kita di Kalbar ini tergolong tidak mampu karena terpinggirkan oleh kehendak-kehendak Pusat. Ada istilah numpang ketawa pun jadilah,” katanya.
Halim yang rambutnya kini berwarna perak ini melihat kebebasan berekspresi sudah cukup bagus dan harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. “Bukan untuk menjadi vulgar dan bebas sebebas-bebasnya. Sekarang kita sendiri yang mengatur diri kita, agar menjadi sebuah media yang elegan,” katanya.
Dulu, katanya, kalau seperti dirinya menulis “Mat Belatong” pasti sudah ditangkap rezim Orde Lama. Sekarang sudah mewah dengan kebebasan. Tentu kebebasan yang dilatari tanggung jawab moral membangun masyarakat.
Di awal era reformasi, bermunculan banyak media dengan teramat mudah. “Kran kebebasan ini membuat banyak orang dengan mudah menerbitkan media yang tujuannya juga beragam, dengan motif yang tak jarang untuk menghantam sana-sini,” katanya. Tulisan-tulisan seperti ini menurutnya lebih pantas untuk masuk ke ‘keranjang sampah’.
Borneo Tribune menurutnya harus memegang teguh prinsip awal untuk memberikan pencerahan dan pencerdasan. “Perlu dipegang teguh prinsip awal. Mudah-mudahan dengan hadirnya Borneo Tribune ada perbandingan dan warna baru di Kalbar,” katanya seraya mengecam liputan klenik, mistik yang dibesar-besarkan hingga foto vulgar nan berdarah-darah yang membuat gerah dan tidak mendidik.
Masih Terjajah
Seorang Ketua RT yang mewakili tokoh masyarakat setempat, Suprianto mengatakan saat ini kita tidak hidup di alam kemerdekaan, namun masih berada di alam penjajahan. “Sebab kemerdekaan dalam arti luas adalah merdeka dalam kehidupan berpolitik, ekonomi, dan sebagainya,” ungkapnya
Kemerdekaan kata Suprianto belum menyentuh rakyat kecil. Ia menyinggung soal penertiban illegal logging yang di satu sisi membuat masyarakat kelaparan.
Mantan pegawai BUMN yang kini membuat usaha sendiri berupa kompor minyak tanah dua tungku yang irit bahan bakar menilai pemerintah tak memberikan solusi kepada masyarakat. “Selama ini pemberitaan media lebih banyak kepada akibat, bukan sebab. Padahal kalau ada pekerjaan lain masyarakat tak mau bekerja di hutan sebab salah sedikit taruhannya nyawa. Resiko jadi pelaku illegal logging itu berat sekali. Pemerintah harus mencarikan solusi lapangan kerja,” kata alumnus Pertanian Untan ini.
Anggota DPRD Provinsi DPRD Provinsi, Michael Yan Sriwidodo, SE, MM berbagi cerita masa kecil di mana kondisi kemerdekaan era tahun 70-an hingga 80-an, juga kondisi saat ini dan pers yang kebablasan. “Kalau dulu kita sangat takut dengan aparat baik polisi maupun ABRI (TNI). Kalau mereka ada di jalan dan kita di luar maka orang-orang tua akan bilang masuk! Masuk!,” ungkap pria yang juga salah satu tokoh masyarakat Tionghoa ini.
Advokat Dwi Syafriyanti, SH menyoroti soal hukum yang tumpang-tindih dan membuat kebingungan para praktisi hukum. Ia mengaku gelisah dengan beberapa perubahan dan amandemen UUD 1945, bahkan khawatir Pancasila pun akan hilang.
Pengamat media yang mantan Direktur LPS-AIR, Faisal Reza, ST banyak mengupas soal tampilan dan rubrikasi Borneo Tribune. “Saat membaca Tribune pertama kali yang saya cari adalah Skumba. Sebab ini menjadi semacam inspirasi dan mengundang tawa. Pikiran kita selama ini media membawa ketegangan, namun dengan membaca cerita-cerita lucu seperti itu jadi berpikir ada sisi lain kehidupan yang harus ditertawakan termasuk mentertawakan diri kita sendiri,” ujar mantan aktivis mahasiswa ini.
Dikatakan, selama ini kalau membaca koran yang ditemukan pasti 5W + 1H. Namun jika ingin mendapatkan Why-mengapa-maka ia membaca Borneo Tribune. Kehadirannya diharapkan bisa memberikan warna lain bagi jurnalistik.
Faisal mengkritisi tampilan Borneo Tribune yang berani memasang gambar besar dan tulisan sedikit namun panjang bahkan ada ruang kosong. ”Mungkin selama ini mindset kita koran dengan berita yang padat, jadi belum terbiasa. Padahal Harian Tempo atau Tempo juga enak dibaca dengan tata wajahseperti itu,” kata dia sambil tersenyum.
Kepala Humas Pemprov Kalbar Drs Hamdan Harun, M.Si yang malam sangat sibuk terkaitagenda acara Agustusan Pemprov namun berusaha hadir prima menyoroti persoalan nasionalisme di Borneo Tribune. Ia kecewa dengan demo di kantor gubernur yang sampai ingin membakar dan menurunkan bendera beberapa waktu silam menyoal nasionalisme ini. ”Padahal bendera itu bukan hanya sepotong kain, namun ada makna penting bahwa puluhan ribu jiwa melayang untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan.”
Pakar hukum tata negara, Turiman Faturrachman Nur, SH, M.Hum melihat persoalan bangsa saat ini bukan hanya capacity building namun juga national and character building yang harus terus dibangun. “Untuk membangun bangsa ini mulai dari sendiri,” saran dia.
Turiman berfilsafat dengan 4 alif. Alif ditunjukkannya dengan sejengkal jari. Ia sejengkal di muka artinya mengukur diri dengan orang lain. Sejengkal ke kuping kiri dan kanan, yang artinya mau mendengar. Lalu alif satu lagi dari mulut ke hati.
Institutional Development Specialist NMC-NUSSP Ripana Puntarasa turut hadir ke malam refleksi kemerdekaan di Borneo Tribune. Ia mengaitkan kemerdekaan dan gagalnya pameran photography yang akan digelar Lukas B Wijanarko di Ayani Mega Mall. “Sesungguhnyaa hari ini ada peristiwa jurnalistik untuk pameran foto yang gagal diselenggarakan. Entah karena miss management atau apa, namun saya melihat ada arogansi di balik semua ini,” papar Ripana.
Ia melihat ada wilayah yang belum merdeka di dunia jurnalistik kita. Padahal jurnalistik adalah salah satu kunci perubahan. Media pencerdasan adalah jurnalistik. Ripana banyak menyoroti persoalan sosial dan kemasyarakatan dengan sudut pandang jurnalistik.
Semakin malam diskusi semakin hangat. Bahkan diskusi informal dilanjutkan di beranda belakang Borneo Tribune. Bermacam topik mulai dari hal sederhana hingga njelimet kembali muncul hingga pukul 00.30 WIB malam. □
Read More..
Begitupula wacana dan lontaran yang disampaikan sejumlah pembicara yang hadir di Borneo Tribune benar-benar mewujudkan kenyataan yang terbayang tersebut. Kaya warna dan rasa. Manis, berlemak dan legit seperti lontong sayur dan jagung bakar malam itu.
Beri Pencerahan dan Pencerdasan
Seorang Halim Ramli misalnya. Tokoh budayawan milik Kalbar yang terkenal dengan goresan emasnya membuat maskot Kalbar “enggang gading” mengatakan betapa media massa memiliki peran nasionalisme. Ia teramat penting mendidik generasi mendatang.
Jurnalisme penting. Teramat penting. Satu-satunya yang bisa diandalkan.
Tampilan wajah, gambar hingga pilihan kata-kata harus sangat diperhatikan dalam jurnalisme. “Jurnalisme melawan kebodohan, ketertindasan, keterpinggiran! Kita di Kalbar ini tergolong tidak mampu karena terpinggirkan oleh kehendak-kehendak Pusat. Ada istilah numpang ketawa pun jadilah,” katanya.
Halim yang rambutnya kini berwarna perak ini melihat kebebasan berekspresi sudah cukup bagus dan harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. “Bukan untuk menjadi vulgar dan bebas sebebas-bebasnya. Sekarang kita sendiri yang mengatur diri kita, agar menjadi sebuah media yang elegan,” katanya.
Dulu, katanya, kalau seperti dirinya menulis “Mat Belatong” pasti sudah ditangkap rezim Orde Lama. Sekarang sudah mewah dengan kebebasan. Tentu kebebasan yang dilatari tanggung jawab moral membangun masyarakat.
Di awal era reformasi, bermunculan banyak media dengan teramat mudah. “Kran kebebasan ini membuat banyak orang dengan mudah menerbitkan media yang tujuannya juga beragam, dengan motif yang tak jarang untuk menghantam sana-sini,” katanya. Tulisan-tulisan seperti ini menurutnya lebih pantas untuk masuk ke ‘keranjang sampah’.
Borneo Tribune menurutnya harus memegang teguh prinsip awal untuk memberikan pencerahan dan pencerdasan. “Perlu dipegang teguh prinsip awal. Mudah-mudahan dengan hadirnya Borneo Tribune ada perbandingan dan warna baru di Kalbar,” katanya seraya mengecam liputan klenik, mistik yang dibesar-besarkan hingga foto vulgar nan berdarah-darah yang membuat gerah dan tidak mendidik.
Masih Terjajah
Seorang Ketua RT yang mewakili tokoh masyarakat setempat, Suprianto mengatakan saat ini kita tidak hidup di alam kemerdekaan, namun masih berada di alam penjajahan. “Sebab kemerdekaan dalam arti luas adalah merdeka dalam kehidupan berpolitik, ekonomi, dan sebagainya,” ungkapnya
Kemerdekaan kata Suprianto belum menyentuh rakyat kecil. Ia menyinggung soal penertiban illegal logging yang di satu sisi membuat masyarakat kelaparan.
Mantan pegawai BUMN yang kini membuat usaha sendiri berupa kompor minyak tanah dua tungku yang irit bahan bakar menilai pemerintah tak memberikan solusi kepada masyarakat. “Selama ini pemberitaan media lebih banyak kepada akibat, bukan sebab. Padahal kalau ada pekerjaan lain masyarakat tak mau bekerja di hutan sebab salah sedikit taruhannya nyawa. Resiko jadi pelaku illegal logging itu berat sekali. Pemerintah harus mencarikan solusi lapangan kerja,” kata alumnus Pertanian Untan ini.
Anggota DPRD Provinsi DPRD Provinsi, Michael Yan Sriwidodo, SE, MM berbagi cerita masa kecil di mana kondisi kemerdekaan era tahun 70-an hingga 80-an, juga kondisi saat ini dan pers yang kebablasan. “Kalau dulu kita sangat takut dengan aparat baik polisi maupun ABRI (TNI). Kalau mereka ada di jalan dan kita di luar maka orang-orang tua akan bilang masuk! Masuk!,” ungkap pria yang juga salah satu tokoh masyarakat Tionghoa ini.
Advokat Dwi Syafriyanti, SH menyoroti soal hukum yang tumpang-tindih dan membuat kebingungan para praktisi hukum. Ia mengaku gelisah dengan beberapa perubahan dan amandemen UUD 1945, bahkan khawatir Pancasila pun akan hilang.
Pengamat media yang mantan Direktur LPS-AIR, Faisal Reza, ST banyak mengupas soal tampilan dan rubrikasi Borneo Tribune. “Saat membaca Tribune pertama kali yang saya cari adalah Skumba. Sebab ini menjadi semacam inspirasi dan mengundang tawa. Pikiran kita selama ini media membawa ketegangan, namun dengan membaca cerita-cerita lucu seperti itu jadi berpikir ada sisi lain kehidupan yang harus ditertawakan termasuk mentertawakan diri kita sendiri,” ujar mantan aktivis mahasiswa ini.
Dikatakan, selama ini kalau membaca koran yang ditemukan pasti 5W + 1H. Namun jika ingin mendapatkan Why-mengapa-maka ia membaca Borneo Tribune. Kehadirannya diharapkan bisa memberikan warna lain bagi jurnalistik.
Faisal mengkritisi tampilan Borneo Tribune yang berani memasang gambar besar dan tulisan sedikit namun panjang bahkan ada ruang kosong. ”Mungkin selama ini mindset kita koran dengan berita yang padat, jadi belum terbiasa. Padahal Harian Tempo atau Tempo juga enak dibaca dengan tata wajahseperti itu,” kata dia sambil tersenyum.
Kepala Humas Pemprov Kalbar Drs Hamdan Harun, M.Si yang malam sangat sibuk terkaitagenda acara Agustusan Pemprov namun berusaha hadir prima menyoroti persoalan nasionalisme di Borneo Tribune. Ia kecewa dengan demo di kantor gubernur yang sampai ingin membakar dan menurunkan bendera beberapa waktu silam menyoal nasionalisme ini. ”Padahal bendera itu bukan hanya sepotong kain, namun ada makna penting bahwa puluhan ribu jiwa melayang untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan.”
Pakar hukum tata negara, Turiman Faturrachman Nur, SH, M.Hum melihat persoalan bangsa saat ini bukan hanya capacity building namun juga national and character building yang harus terus dibangun. “Untuk membangun bangsa ini mulai dari sendiri,” saran dia.
Turiman berfilsafat dengan 4 alif. Alif ditunjukkannya dengan sejengkal jari. Ia sejengkal di muka artinya mengukur diri dengan orang lain. Sejengkal ke kuping kiri dan kanan, yang artinya mau mendengar. Lalu alif satu lagi dari mulut ke hati.
Institutional Development Specialist NMC-NUSSP Ripana Puntarasa turut hadir ke malam refleksi kemerdekaan di Borneo Tribune. Ia mengaitkan kemerdekaan dan gagalnya pameran photography yang akan digelar Lukas B Wijanarko di Ayani Mega Mall. “Sesungguhnyaa hari ini ada peristiwa jurnalistik untuk pameran foto yang gagal diselenggarakan. Entah karena miss management atau apa, namun saya melihat ada arogansi di balik semua ini,” papar Ripana.
Ia melihat ada wilayah yang belum merdeka di dunia jurnalistik kita. Padahal jurnalistik adalah salah satu kunci perubahan. Media pencerdasan adalah jurnalistik. Ripana banyak menyoroti persoalan sosial dan kemasyarakatan dengan sudut pandang jurnalistik.
Semakin malam diskusi semakin hangat. Bahkan diskusi informal dilanjutkan di beranda belakang Borneo Tribune. Bermacam topik mulai dari hal sederhana hingga njelimet kembali muncul hingga pukul 00.30 WIB malam. □
Diposting oleh Safitri Rayuni di 9:23 PM 0 komentar
Label: diary
Subscribe to:
Posts (Atom)