Thursday, May 14, 2009

iiih melahirkan itu seperti... (part3)


Wedew sorry everyone....its too long for me finishing my story...maklum meski rutinitas ngenet gak berhenti, ternyata inspirasi menulis gak semudah itu saja datang. Bayi yang sempat rewel mulai usia satu bulan sampai 2 bulan sempat menyita perhatian dan waktu. Beberapa kali kami membawa Nathan ke rumah sakit dan ke dokter anak khawatir kalau-kalau ada yang kurang nyaman di badannya.


Maklum, kalau dia mulai nangis dan berlanjut hingga lama sering tak tega rasanya. Kadang nangisnya dicampur jeritan seperti kesakitan. Nangisnya pada jam-jam tertentu, biasanya menjelang sore, pernah juga gak tidur semalaman dan rewel sampe pagi. Pas dibawa naik mobil baru berhenti nangis trus bobo.

Wajar kalau saya sedikit panik dan merasa khawatir kalau-kalau ada sakit yang ia derita. Belakangan, memasuki usia 2,5 bulan (jalan 3 bulan) kebiasaan nangisnya mulai berkurang. Paling merengek kecil dan tidak lama kalau pas datang kantuk.
Ajaibnya anak ku ini lebih mementingkan bobo daripada mimik susu. Prinsipnya dia ga tahan kalau mengantuk, tapi lebih tahan lapar. (Agaknya sama dengan perilaku ayah dan bundanya hahaaa....)

Nathan agaknya mengadopsi sikap saya. Biasanya saya tahan laper 10 jam, tapi gak tahan kalo jatah tidur berkurang. Nah, waktu malam mau melahirkan di klinik, meski menahan sakit dengan interval waktu yang makin padat, sempat-sempatnya saya bobo.

Malam itu, sakit mendera bertubi-tubi setiap setengah jam sekali. Semakin larut sakit semakin cepat pula datangnya. Hingga subuh menjelang, sakit datang setiap lima menit sekali. Duh tak tahan lagi rasanya. Melihat begitu, Ronny berinisiatif memanggil bidan. Tepat pada waktu yang sama, bidan Ike pun mengetuk pintu kamar kami.

Saya dipapah menuju ruang bersalin. Air mata yang ditahan sejak tadi pun luruh demi sakit yang sangat. Bidan Ike tak sendiri, ada dua asisten yang membantu. Tapi ke mana Bidan Ratna? Bukannya dia janji juga akan ikut menolong persalinan saya? Belakangan dia klarifikasi kalau dia tertidur sampai pukul 06.45. Tepat setelah bayi saya lahir.

Pukul 05.00 itu jam seakan berhenti berdetak. WAKTU terasa berjalan begitu lama. saya dirangsang untuk BAB selama 15 menit, disuntik, mengedan dan entah banyak lagi sampai kurang lebih 1 jam, air ketuban tak kunjung pecah. Saya sudah lemes. Untuk mengedan pun serasa tak kuat. Satu-persatu wajah tampak di depan saya. Kedua mertua saya juga ada, tapi, mana ibuku? siapa yang menjemputnya ke klinik? Oh aku semakin kacau bila tanpa ibuku. Bidan yang marah-marah karena saya tak bisa mengedan sesuai teknik yang ia sarankan tak saya dengarkan. Saya konsentrasi berdoa di dalam hati.

Kasihan suamiku, tampak sudah tak tahan melihat derita itu, bidan pun memintanya keluar ruangan. Tak lama infus pun dipasang untuk mensuplai cairan tubuh yang mulai habis karena banyaknya keringat yang keluar. Tapi agaknya jaringan pembuluh darahku menolak dijejali jarum dengan slang cairan itu. 8 tusukan sudah merusak kulit.

1 comment:

Hamdani said...

jadi ortu memang tidaklah semudah yg diimpikan. kadang dibutuhkan kesabaran....begitulah yg dilakukan orangtua kita sewaktu kita masih kecil. slamat berbahagiaaa