Ini kisah kawannya seorang kawan. Saya sampai hari ini masih bertanya-tanya, apa kelanjutan kisah itu. Bisa tidur nyenyakkah dia setelah sibuk cerita sana-sini tentang keburukan orang yang ia ingin lawan dan singkirkan...seorang perempuan..(yang pernah ingin ia kalahkan) juga kisah 'romantika semu' yang ia dapat dari perempuan itu...hanya untuk menunjukkan bahwa ia tak bersalah.
Agar ia dipertahankan dan mendapat tempat di hati orang yang menghiba kepadanya.
Sayangnya ...si korban bukanlah robot yang bisa bersikap ‘like ussually’ tanpa perasaan. Bukan mesin yang bisa digenjot bekerja tanpa mengistirahatkan syaraf, setelah diterpa masalah demi masalah dan kekerasan psikis, fitnah juga pembunuhan karakter.
Btw, Saya masih ingin tahu apa yang kawannya kawan saya terima sebagai hasil ilmu 'menjulur lidah'nya itu. Saya masih ingin tau bagaimana para 'decisssion maker' menerima dan memperlakukan ia dengan baik.
Ia bahkan pernah mengadukan hal-hal yang sifatnya bisa mengadudomba si perempuan dengan atasan. Bahkan saat bertemu dengan jurnalis senior di Indonesia, dianggap sebuah makar yang membahayakan bagi perusahaan. Saya jadi kasihan sama jurnalis senior yang dianggap 'berbahaya' itu.
Begitu juga keluhan kawan-kawan soal waktu pelatihan yang padat yang diadukan kepada si perempuan, dianggap sebagai pengorganisasian massa untuk menentang sistem. Benar-benar lidah yang berbahaya.
Bahkan saat si perempuan sakit, ia berani mengatakan pada si atasan, bahwa si peremnpuan mau cabut dari perusahaan karena padatnya waktu pelatihan.
Ia juga sibuk meyakinkan orang-orang, perempuan itu tak pernah menolak cintanya mentah-mentah bahkan pernah mengusirnya dari rumah.
Yang ia inginkan adalah posisi terhormat di mata orang-orang dan pengakuan serta perasaan bangga sebagai seorang laki-laki. Tak pernah ia cerita ia ditampar bahkan didorong keras tubuhnya hingga nyaris terjerembab. Yang ia ceritakan adalah semua keindahan. Keindahan perlakuan dari si perempuan. Perlakuan yang dilatari ketakutan akan tindak jahat kawannya kawan saya itu.
Sebuah pemutarbalikan fakta yang sempurna. Hebatnya nyaris semua yang mendengar begitu percaya. Sebuah ‘caracter assasination’ yang sempurna. Walau ia secara ‘de facto’ tak pernah mendapatkan hati si perempuan.
Wajarlah untuk seorang calon diplomat yang alumni jurusan Hubungan Internasional. Berpolitik dan memolitisasi sebuah persoalan sudah menjadi biasa. Setidaknya membohongi diri sendiri dan orang lain akan tidak menenangkan perasaan. Makannya ke badan sendiri, makan ati dan bisa makin kurus.
Kabarnya sekarang, nun jauh di sana kawannya kawan saya itu bisa tertawa-tawa lepas. Menikmati buah kecurangan dan kepalsuannya. "Asyik saya bisa jalan-jalan," katanya polos dalam perjalanan menuju bandara meninggalkan Pontianak.
Padahal belum lama ia menangis dan insyaf atas apa yang ia perbuat. Maafnya hanya kamuflase, ya sebelum maaf itu ia ucapkan kawan saya sudah tahu itu.
Dalam maafnya itu, kawannya kawan saya bilang: “Aku telah melupakanNya untuk waktu relatif lama. Pembentukan sistematika berpikirku terlalu licik dan kejam! Politisasi telah merasuk logika berpikirku yang praktis.
Kelicikanku telah membawa banyak korban, bahkan rasa idealisme.
Sadar, bahwa ambisiku membawa beberapa tumbal. Aku tidak mengerti, sama sekali tidak mengerti dengan diriku”
Ya, kalimat yang mencerminkan ungkapan seorang yang sakit JIWA
Sunday, June 29, 2008
Berlindung di balik kepalsuan
Diposting oleh Safitri Rayuni di 11:10 PM 0 komentar
Label: diary
Mengapa Kisah Venus Saya Hapus?
Tulisan ini untuk menjawab pertanyaan beberapa kawan yang ingin tahu nasib Venus dalam fiksi 'Lelaki yang menyerah pada cinta'....
Satu hal, saya memandang tulisan ini sangat menarik untuk dilanjutkan dalam bentuk buku. Fiksi ini akan saya rampungkan dalam waktu 3 bulan.
Cerita Venus akan menjadi jawaban atas semua yang menimpa perempuan urban ini.
Gambaran keterjajahan seorang perempuan atas perilaku penuh nafsu dari seorang laki-laki yang tak jera mengejar-ngejarnya meski sudah diperingatkan.
Orang egois yang menuruti nafsu birahi dengan ancaman-ancamannya. Orang ini selalu merasa perempuan tersebut mencintainya. Bahkan si lelaki menganggap apa yang ia terima sebagai perlakuan baik karena takut ancamannya, adalah bentuk cinta murni di perempuan. Benar-benar psiko gila perempuan.
Kalaulah tak takut akan ancaman dan perilaku buruk si lelaki, sang perempuan tak akan tunduk. Bahkan ia telah menyiapkan pisau dapur di meja TV nya untuk merobek-robek usus si lelaki. Pisau ini adalah simbol perlawanan Venus yang tak terungkap dan tak pernah diakui si Lelaki yang merasa sangat dicintai itu. Sampai akhirnya Venus memberitahu semua yang menimpanya, kepada orang yang ia percaya.
Yang tidak bisa diterima oleh perempuan itu kini adalah, bagaimana perilaku ini bisa dilindungi dan dibela tanpa saknsi apapun? Padahal satu korban juga telah mengalami ini sebelumnya. Kisah korban lain bernama Jingga akan tertuang dalam suatu adegan flash back, bagaimana Jingga direngkuh lantas ditinggalkan.
Rekan-rekan yang baik, kisah Venus tidak akan saya hapus dari komputer saya, ia hanya saya hapus dari tampilan blog saya. Sebab selain ingin dibukukan, saya tidak mau blog saya jadi tontonan untuk dibanding-bandingkan dengan blog lain yang mutunya 'kacangan' karena isinya hanya soal cinta dan cinta.. he he hehe ...Saya berharap rekan-rekan yang menanti kelanjutannya bisa bersabar beberapa bulan lagi,
Pada yang tersindir dengan tulisan yang murni fiksi ini, maaf deeehh...lantas ada yang minta dibuat obyektif, agaknya si peminta ini merasa ia lah lelaki itu, ...agaknya ia juga harus sadar bahwa yang namanya fiksi tentu bebas sesuai dengan apa yang dirasakan pengarangnya. Kecuali diary, yang isinya harus obyektif sesuai kejadian sebenarnya, bukan menonjolkan satu fakta lantas menenggelamkan fakta lain.
Soal Venus, yang ia alami adalah apa yang menimpanya. Sikap pasrah dan menerima dari sisi perempuan sebenarnya adalah ketakutan yang sangat untuk menerima akibat dari penolakan dan kemarahan lelaki hidung belang itu..so, sabar aja membaca lanjutannya..
Setidaknya kisah Venus ini berguna bagi para perempuan lajang atau bukan, dengan gaya hidup urban yang menjadi incaran para 'penjahat kelamin' yang bergentayangan di kota-kota besar.....bukan bermaksud menakut2i, tapi lebih baik waspada, karena hidup amat keras, rite?
Diposting oleh Safitri Rayuni di 9:56 PM 0 komentar
Label: diary
Wednesday, June 18, 2008
Tentang Dekky,
Malam tadi aku bercinta dengan gelap dan sunyi. Kekosongan yang sejenak merambah jiwa. Meneteskan air mata luka. Haru tapi penuh makna. Jam menunjukkan pukul 01.30 WIB. Kokok ayam pertanda dini hari terdengar sayup-sayup ditingkahi gerimis. Aku baru saja pulang, masuk rumah dan menghempaskan pantat di empuknya pembaringan.
Aku melirik rokok di atas meja. Rokok LA putih milik Ronny, kekasih yang kini menjadi suamiku. Rokoknya tertinggal di meja dekat TV. Tergoda untuk mengisap walau hanya sebatang. Kuambil dan kutimang-timang dengan telunjuk dan jari tengah. Lalu kuletakkan lagi di meja. Tak ada korek api, pikirku. Aku membuka-buka laci, tak juga kutemukan. Lelah mencari membuatku malas dan tak jadi mencobanya.
Aku kembali memilih bercinta dengan gelap. Kupadamkan lampu kamar. Membakar lilin aroma terapi dan minyak esensial berbau lavender. Aku telungkup, terlentang, mendesah dan meregangkan kedua tangan di atas seprei motif abstrak ini. Seprei warna cream muda yang sering ketumpahan sperma usai bercinta. Aku mencoba menciptakan kantuk yang tak kunjung menyerang. Ah, jam tidurku sudah lewat tadi. Ke dapur lantas mengambil air hangat dan merendam kakiku di baskom. Masih di kamar yang gelap.
Pulang kerja tadi aku tak langsung pulang. Asyik melihat bagaimana rekan-rekan sesama wartawan yang memeragakan perangkat yang akan dibawa nanti ke daerah. Bagaimana mengirim berita, mengecilkan resolusi foto, menggunakan telkomsel flash, sampai bagaimana strategi kalau semua alat tak berfungsi.
Usai simulasi pun aku tak mau langsung pulang. Di luar hujan sedikit deras. Ngobrol sambil menunggu hujan reda membuat mata mengantuk. Aku juga batuk-batuk karena asap rokok memenuhi seluruh udara di ruangan. Lagi-lagi aku harus menjadi perokok pasif tanpa bisa menikmati bagaimana rasa nikmatnya orang merokok. Pikiran ini kadang menggodaku untuk mencoba mengisap rokok (ah jadi ingat becandanya kawan-kawan soal 'rokok')
Hujan reda, gerimis menjelma. Anak-anak mengajakku gabung nongkrong di warung kopi Gajah Mada. Ngopi bareng Deki, wartawan baru asal Yogya yang terpaksa tak lagi meneruskan karir di sini. Besok ia akan pulang. Tereksekusi hasil tes kesehatan yang membuatnya terpaksa memilih keluar setelah dua bulan mengikuti pendidikan. Tragis, nyeri dan memilukan. Menguras air mata semua yang mendengarnya.
Ayuklah, batinku. Sekali-kali ngopi di sana tak mengapa, walau aku sebenarnya kurang suka nongkrong di warung kopi karena penuh dengan asap rokok. Kami menembus gerimis. Ada enam motor meraung-raung malam itu. Aku, Agung, Hasyim, Daefvi, Danila, Bramasto, Dekky, dan Zamzami. Ririn, Galih dan Iin Sholihin yang rencananya menyusul terpaksa batal karena harus meliput razia Tipiring yang digelar Polda Kalbar. Ririn yang sedari tadi di kelas tak henti menangis hanya menelpon, bicara padaku dan dekky.
Di sana, ada Adi wartawan Trans TV, bersama wartawan TV lainnya, ada Sugeng Mulyono dan Hartono, wartawan kriminal Borneo Tribun, Heri Mustari, wartawan kriminal Equator, dan beberapa wajah yang tak aku kenal.
Kami makan apa saja. Bakwan, goreng pisang, tahu isi, kopi, teh, susu, mie rebus, sambil gojek-gojekan (meminjam istilah Agung). Suasana berbalut tawa itu masih tercekam keharuan di kelas, saat Mr Albert mengumumkan kepulangan Deki. Tapi kisah soal ekspresi idiot Dekky terus membuat kami senyum-senyum, sambil memintanya berpose dengan wajah idiot.
Aku tak bisa menghilangkan kesedihan. Aku menangis dalam hati dan dalam tawa. Hingga sampai di kamar ini, aku tak henti merenungi nasib Dekky. Apa yang terjadi pada kesehatannya. Begitu fatalkah hingga ia tak lagi bisa bergabung mengembangkan karir jurnalistiknya?
Rasa lelah dan jenuh memang sempat menghinggapinya. Juga kami dan lainnya. Tak heran satu dua orang sempat mau mundur karena ketatnya jadwal pelatihan. Begitu juga Dekky. Beberapa hari lalu, saat pengumuman tes kesehatan belum ia ketahui, ia sempat mau pulang kampung. "Tiket Lion Air bisa beli di mana sih Mbak?" tanyanya dengan maksud mencari tiket rute Pontianak-Yogya.
Waktu itu aku bertanya, "Kenapa, kamu sedang menimbang-nimbang untuk resign ya?" tanyaku. "Iya, aku masih menimbang-nimbang Mbak," jawabnya. Beberapa hari berselang setelah itu, aku tak lagi mendengarnya bertanya soal tiket. Sampai saat pengumuman eksekusinya.
Tragisnya, pagi hari sebelum pengumuman itu, Dekky mengubah niatnya. Ia ingin tetap stay dan berjuang bersama kawan-kawan untuk berkarir sebagai jurnalis. Tekadnya itu akan ia buktikan melalui tulisan-tulisannya. Namun tekad itu seketika kandas dalam hitungan jam. Tak ada yang membuat aku sedih sampai menitikkan air mata selain peristiwa itu. Wajahnya yang tabah dan pucat masih terbayang. Bahkan sampai saat aku meringkuk di kamar gelap ini juga hingga tulisan ini aku buat.
Jam 12.00 siang ini ia ke bandara Supadio Pontianak, diantar beberapa rekan, ada yang bermobil dan bermotor. Aku hanya melepas kepergiannya di kantor. Stick drum. Kado itu dipilih dan dibeli kawan Dekky sesama perantau dari Yogya, Agung, dengan uangnya sendiri sebagai kenang-kenangan untuk Dekky. Harganya sekitar Rp 80 ribu, stick drum merk Zildjian.
Drum kata Dekky sudah mendarahdaging dalam jiwanya. Dari menabuh drum ia bertahun-tahun menggantungkan hidup dan harapannya akan musik. Selamat jalan Dekky, semoga kita dipertemukan dalam kondisi yang berbeda, saat kesuksesan menyertaimu.
Diposting oleh Safitri Rayuni di 10:11 PM 2 komentar
Label: diary, media dan jurnalisme
Tuesday, June 17, 2008
Media dan gurita bisnis
PENTINGKAN segmentasi menengah atas, karena mereka adalah target market kita.
Kalimat ini seakan menjadi doktrin yang membuatku seketika pusing dan berkunang-kunang. Tiba-tiba ada yang menusuk di ulu hati yang membuat aku mual dan ingin mengeluarkan cairan dalam lambungku. Akhirnya aku ke WC dan muntah sungguhan.
Bukannya anti dengan konsep pemasaran, mau gak mau media sudah harus memikirkan bisnis yang juga nantinya akan mempengaruhi sejahtera or tidaknya ia. Berikut para karyawannya. Cuma, muak aja jika ada diskriminasi kelas dalam masyarakat. Masyarakat mana sih yang sebenarnya mau dilayani dan disuarakan?
Jika media sudah kurang peduli dan sensitif dengan orang-orang menengah bawah ini, ke mana lagi mereka hendak mengadu???Jika kritik terhadap berita tadi kemudian akan memunculkan sikap antipati wartawan untuk meliput berita bertema 'kelangkaan pupuk bersubsidi' misalnya, karena hanya akan jadi bagian kecil dalam halaman Bisnis, karena 'mainannya' hanya kalangan petani belaka, walau impact nya ya buat orang-orang kota juga yang susah makan beras (eh..nasi) kalau petani susah produksi. Uhhhh...betapa berdosanya si pencetus kritik tadi. Apalagi kalau wartawan yang mendengarnya menelan mentah-mentah begitu saja, tanpa mencerna apalagi kritis untuk menidakkannya. Lantas, ke mana lagi petani mengadu? sebab media adalah corong bagi wong cilik (pinjam bahasa penjajah) menyuarakan aspirasinya.
Diposting oleh Safitri Rayuni di 8:18 AM 2 komentar
Label: english version, media dan jurnalisme
Monday, June 16, 2008
trust is an expensive thing
There are many questions here
on my head
to all of you
Is it difficult to you to believe us
how it can be a great team
if there's no faithfull between us
you keep your distance from me
so do I
we all knew
trust is an expensive thing in a world
This is not about culture
Not about religion or colour of skin
its all about heart
By a naked girl
Diposting oleh Safitri Rayuni di 9:37 PM 0 komentar
Label: diary, english version
How I love my self
How I love my self
Today at 1:02pm
This night, i was wake up and look at my face on a mirror
there are many confused things turn around on my head
its all about my self...
who am i? s there love here .. on my heart...
or is there a big idea on my head?
or i didnt have both of them...
i took my hand and put it on my chick
wondering how it can be..
i just a human who loves her self
by a naked girl
Diposting oleh Safitri Rayuni di 9:34 PM 0 komentar
Label: diary
Thursday, June 5, 2008
Kami Tak Bisa Lagi Tanam Karet
Oleh Safitri Rayuni
*Demonstrasi Ratusan Warga Tolak Sawit
FOTO : Iis Sabahudin
KETAPANG, TRIBUN-Memperingati hari lingkungan hidup, Kamis (5/6) siang kemarin, ratusan masyarakat perhuluan Kabupaten Ketapang berunjukrasa menolak sawit.
Aksi selama kurang lebih tiga jam dari pukul 12.00 WIB ini mendatangi gedung DPRD Ketapang, Polres Ketapang dan PT Sapta Indra Sejati (SIS).
Mereka menuntut Bupati Ketapang Morkes Effendi mencabut izin atas sepertiga wilayah Ketapang yang sudah ditanami sawit. “Cabut izinnya, karena tak ade lagi lahan tersisa untuk berkebun karet atau berladang,” kata Sakura, Koordinator Lapangan aksi unjuk rasa itu.
Kepala Desa Pematang Gadung, Abdurrahman, mengatakan, masyarakat pedalaman merasa dirugikan dengan masuknya perkebunan sawit, karena mereka tidak lagi bisa menentukan sendiri komoditas apa yang akan ditanam di lahan masing-masing.
Massa yang terus berjalan diiringi satu pick up aparat kepolisian pun terus meneriakkan yel-yel. “Sawit No! Sawit No..Noo!!,” teriak mereka sambil mengusung poster-poster.
Di DPRD Ketapang, demonstran hanya berorasi tanpa dialog. Massa kemudian bergerak ke Polres Ketapang dan PT SIS. 15 menit berada di depan PT SIS yang lengang, massa pulang menuju Rumah Panjang.
Dipimpin korlap aksi, massa pulang dengan menyanyikan lagu Gelang-gelang Sipatu GElang. “Kita melakukan aksi damai, jangan sampai berbuat anarkis. Itu adalah kantor sumber konflik, tapi kita jangan sampai berbuat anarkis,” kata korlap menunjuk kantor PT SIS. (fitri, dari interview dengan Iis Sabahudin di Ketapang, via Yahoo mesanger, Kamis (5/6) malam)
Diposting oleh Safitri Rayuni di 6:06 AM 0 komentar
Label: lingkungan