Sunday, June 29, 2008

Berlindung di balik kepalsuan

Ini kisah kawannya seorang kawan. Saya sampai hari ini masih bertanya-tanya, apa kelanjutan kisah itu. Bisa tidur nyenyakkah dia setelah sibuk cerita sana-sini tentang keburukan orang yang ia ingin lawan dan singkirkan...seorang perempuan..(yang pernah ingin ia kalahkan) juga kisah 'romantika semu' yang ia dapat dari perempuan itu...hanya untuk menunjukkan bahwa ia tak bersalah.
Agar ia dipertahankan dan mendapat tempat di hati orang yang menghiba kepadanya.
Sayangnya ...si korban bukanlah robot yang bisa bersikap ‘like ussually’ tanpa perasaan. Bukan mesin yang bisa digenjot bekerja tanpa mengistirahatkan syaraf, setelah diterpa masalah demi masalah dan kekerasan psikis, fitnah juga pembunuhan karakter.


Btw, Saya masih ingin tahu apa yang kawannya kawan saya terima sebagai hasil ilmu 'menjulur lidah'nya itu. Saya masih ingin tau bagaimana para 'decisssion maker' menerima dan memperlakukan ia dengan baik.
Ia bahkan pernah mengadukan hal-hal yang sifatnya bisa mengadudomba si perempuan dengan atasan. Bahkan saat bertemu dengan jurnalis senior di Indonesia, dianggap sebuah makar yang membahayakan bagi perusahaan. Saya jadi kasihan sama jurnalis senior yang dianggap 'berbahaya' itu.

Begitu juga keluhan kawan-kawan soal waktu pelatihan yang padat yang diadukan kepada si perempuan, dianggap sebagai pengorganisasian massa untuk menentang sistem. Benar-benar lidah yang berbahaya.

Bahkan saat si perempuan sakit, ia berani mengatakan pada si atasan, bahwa si peremnpuan mau cabut dari perusahaan karena padatnya waktu pelatihan.

Ia juga sibuk meyakinkan orang-orang, perempuan itu tak pernah menolak cintanya mentah-mentah bahkan pernah mengusirnya dari rumah.

Yang ia inginkan adalah posisi terhormat di mata orang-orang dan pengakuan serta perasaan bangga sebagai seorang laki-laki. Tak pernah ia cerita ia ditampar bahkan didorong keras tubuhnya hingga nyaris terjerembab. Yang ia ceritakan adalah semua keindahan. Keindahan perlakuan dari si perempuan. Perlakuan yang dilatari ketakutan akan tindak jahat kawannya kawan saya itu.

Sebuah pemutarbalikan fakta yang sempurna. Hebatnya nyaris semua yang mendengar begitu percaya. Sebuah ‘caracter assasination’ yang sempurna. Walau ia secara ‘de facto’ tak pernah mendapatkan hati si perempuan.

Wajarlah untuk seorang calon diplomat yang alumni jurusan Hubungan Internasional. Berpolitik dan memolitisasi sebuah persoalan sudah menjadi biasa. Setidaknya membohongi diri sendiri dan orang lain akan tidak menenangkan perasaan. Makannya ke badan sendiri, makan ati dan bisa makin kurus.

Kabarnya sekarang, nun jauh di sana kawannya kawan saya itu bisa tertawa-tawa lepas. Menikmati buah kecurangan dan kepalsuannya. "Asyik saya bisa jalan-jalan," katanya polos dalam perjalanan menuju bandara meninggalkan Pontianak.

Padahal belum lama ia menangis dan insyaf atas apa yang ia perbuat. Maafnya hanya kamuflase, ya sebelum maaf itu ia ucapkan kawan saya sudah tahu itu.

Dalam maafnya itu, kawannya kawan saya bilang: “Aku telah melupakanNya untuk waktu relatif lama. Pembentukan sistematika berpikirku terlalu licik dan kejam! Politisasi telah merasuk logika berpikirku yang praktis.
Kelicikanku telah membawa banyak korban, bahkan rasa idealisme.
Sadar, bahwa ambisiku membawa beberapa tumbal. Aku tidak mengerti, sama sekali tidak mengerti dengan diriku”
Ya, kalimat yang mencerminkan ungkapan seorang yang sakit JIWA

No comments: