September 2003. Tahun pertama karir sebagai jurnalis kulakoni sebagai wartawan magang di desk kriminal. Dari 4 wartawan baru yang masuk Equator (grup Jawa Pos di Pontianak) ini, aku satu-satunya cewek.
Tak heran teman-teman seangkatanku selalu bersikap melindungi bak saudara kandung, tak pernah ada terlintas mereka hendak bertingkah ‘macam-macam’ meski kami sering liputan malam bahkan sampai subuh menjelang. Beginilah semestinya wartawan bersikap. Saya amat merindukan mereka, kalau berjumpa, kami biasa bersnostalgia dan tertawa mengenang bagaimana suka-duka liputan kriminal. Mereka adalah Misrawi (kini biro Equator Kapuas Hulu), mahmudi (kini redaktur olahraga), Kamiriluddin (kini biro di Ketapang)
Satu tahun meliput kriminal, berbagai modus dan kasus kejahatan saya temui. Curas, curat, pemerasan, pengancaman, pencabulan, sodomi, dan banyak ‘seksual harassment’ lain.
Umumya pelaku seksual harassment tidak pernah mau jujur dan mengaku sebelum digebuki polisi. Berbagai cerita dan detail pun dirangkai. Intinya ‘aku selamat’ dari jerat hukum. Mereka berusaha agar skrip kisah seakan-akan terjadi suka sama suka. Pasal dan UU Perlindungan Anak lah yang biasa menjerat mereka.
M.M. Nilam Widyarini, MSi, seorang Dosen Psikologi mengatakan, skrip-skrip seksual (sexual scripts) yang dimaksudkan di sini adalah harapan mengenai urutan terjadinya perilaku dalam interaksi seksual.
Menurut skrip seksual-heteroseksual, pada sebagian besar masyarakat, pria berinisiatif pada tiap level aktivitas seksual, biasanya tanpa mengajukan permintaan secara verbal, dan wanita mungkin menurut atau menolak. Selanjutnya pria memroses ke tingkat yang lebih intim, sampai mereka mengalami resistensi.
Sementara, kekerasan dan pelecehan seksual menyebabkan perasaan ternoda, malu, dan ketakutan. Oleh karena itu para korban tidak dapat begitu saja secara sukarela mengungkapkan keadaannya. Boro-boro visum ke rumah sakit pasca pemaksaan kontak fisik dan hubungan intim, untuk melapor saja mereka memerlukan keberanian luar biasa. Sebab biasanya ancaman selalu mengintai.
Kekerasan seksual dapat terjadi di mana-mana. Beberapa kali kita mendengar berita perkosaan yang dilakukan oleh pengemudi taksi terhadap penumpang wanita; perkosaan terhadap pelajar wanita oleh pemuda berandal; tak terkecuali terhadap santri yang baru saja selesai mengaji di pondok pesantren Aa Gym.
Seorang wanita berprestasi, yang memiliki kemampuan survival cukup kuat saja tampak rentan mengalami kekerasan seksual. Kemungkinan pelakunya bukan orang yang tidak dikenal, melainkan oleh orang yang sangat dekat.
Kekerasan seksual tampak tidak pandang bulu: siapa pun dapat menjadi korban, terutama wanita, dan bahkan dapat dilakukan oleh orang yang sudah dikenal. Yang menjadi pertanyaan besar kita sekarang adalah, mengapa kekerasan seksual dapat terjadi antara orang yang saling mengenal?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita dapat melihat dan beberapa kemungkinan. Hal ini telah dijelaskan oleh James T. Tedeschi & Richard B. Felson dalam Violence, Aggression, & Coercive Actions.
Menurut data etnografi (Broude & Greene), pada 50% dari 34 etnis yang diteliti, pria biasanya atau selalu mengambil inisiatif dalam relasi seksual. Hanya 17,6% etnis yang wanitanya mengambil inisiatif, dan pada 32,4% etnis lainnya kedua belah pihak mengambil inisiatif dengan frekuensi yang seimbang; Dengan sampel lebih luas, pada 77% dari 65 etnis, pria menunjukkan agresivitas verbal dan fisik dalam relasi seksual.
Kadang relasi seksual terjadi melalui negosiasi. Pria berinisiatif dan wanita akhirnya menurut setelah sebelumnya menolak. Johnson, Palileo & Gray menemukan 17% mahasiswi menunjukkan selalu mengatakan "tidak" untuk melakukan aktivitas seksual meskipun akhirnya mengatakan “ya”.
Sebagian pria memilih melanjutkan aktivitas seksual meski menghadapi penolakan. Pria melanjutkan inisiatif seksual ketika menghadapi penolakan karena ia yakin bahwa wanita akan terstimulasi secara seksual dan mengubah pikirannya. Strategi semi efektif bila wanita bersikap ambivalen untuk melakukan relasi seksual (Muehlenhard & Hollabaugh).
Ketika pria terangsang selama “proses negosiasi”, kendalinya untuk menggunakan kekerasan mungkin sangat rendah. Ia menjadi kurang perhatian pada perasaan pasangan atau implikasi jangka panjang perilaku seksual tersebut, dan mungkin gagal mempertimbangkan implikasi moralnya. Dalam keadaan terangsang, keputusan dibuat dengan fokus pada pencapaian akhir perilaku seksual.
Berbagai hasil survei menunjukkan banyak wanita yang mengalami pemaksaan seksual sejak remaja. Kenyataannya, hanya sebagian kecil yang mengalami kekerasan fisik.
Sebagian besar pelaku menggunakan bujukan. Mungkin karena menggunakan bujukan ini sebagian wanita memilih patuh dengan berbagai alasan: menghindari keributan, merasa wajib patuh.
Kekerasan seksual juga merupakan hasil miskomunikasi tentang minat seksual wanita. Hasil penelitian menunjukkan pria yang terlibat dalam kekerasan seksual kurang mampu membedakan persahabatan dengan perilaku untuk menggairahkan.
Selain itu pria juga berlebihan dalam menilai (overestimate) terhadap minat wanita dalam hal seks. Hal ini disebabkan gairah seks pria lebih tinggi daripada wanita, dan menganggap orang lain sama dengan dirinya. Akibatnya, pria sering menginterpretasi persahabatan wanita sebagai minat seksual.
Miskomunikasi semacam ini sering terjadi dalam situasi kencan, ketika pria mengharapkan wanita berminat melakukan aktivitas seksual dan ternyata wanita itu tidak berminat.
Bila pria banyak mengeluarkan uang atau memberikan hadiah saat berkencan, mungkin ia berharap melakukan aktivitas seksual. Bila si wanita ternyata tidak menginginkan, si pria mungkin menggunakan kekerasan untuk mendapat kesempatan melakukan aktivitas seksual. ****
Friday, July 18, 2008
Sejumput kisah dari desk kriminal
Diposting oleh Safitri Rayuni di 8:06 PM
Label: analisis budaya
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
Trima kasih ya cu,tulisan nya menarik karena banyak hal yang belom aku ketahui yang di bahas dalam artikel ini.
Post a Comment