Krisis Listrik Hambat Investasi di Kalbar
*Pertambangan Gambut Menuai Kontroversi
Safitri Rayuni *)
PONTIANAK, West Kalimantan
Pemerintah Daerah Kalimantan Barat telah lama menyatakan bahwa krisis listrik di daerah ini adalah ancaman besar bagi berkembangnya investasi. Dengan beban puncak pada malam hari sebesar 150,3 mega watt, dan beban puncak pada siang hari sebesar 194,3 mega watt saja, Perusahaan Listrik Negara (PLN) Kalbar mengaku masih kesulitan menyediakan kapasitas daya listrik yang memadai bagi masyarakat.
Belum lagi memenuhi kebutuhan listrik bagi investasi di sektor industri dan lainnya. PLN sampai saat ini hanya melayani separuh dari 4,2 juta masyarakat di Provinsi Kalbar, sehingga menjadikannya wilayah krisis listrik. Sistem ini menggunakan minyak impor sebagai bahan bakar pembangkit listrik yang menyerap biaya sebesar USD 23 per kWH.
Di luar kebutuhan investasi, berdasarkan asumsi, di tahun 2006 kapasitas pasang daya listrik Kalbar hanya 217 megawatt, dengan produksi daya listrik terjual antara tahun 2000 hingga 2005 sebesar 6,78 persen untuk umum, 7,21 persen untuk industri, 21,55 persen untuk usaha dan 64,47 persen untuk rumah tangga.
Menurut Kepala Bidang Lingkungan Hidup dan Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Kabupaten Pontianak, M Marcellus, penting untuk melibatkan pihak ke tiga dalam menjawab persoalan ini . Rencana pembangunan PLTU Gambut oleh Sebukit Group dikatakannya mendukung langkah Pemerintah Daerah Kabupaten Pontianak dalam menjawab tantangan krisis energi di daerah itu. Karena itu November tahun lalu pemerintah telah menandatangani MoU dengan Sebukit Group untuk memulai proyek tersebut.
“Kondisi kelistrikan dengan kapasitas yang ada tidak mencukupi kebutuhan masyarakat, dikarenakan krisis minyak yang kita alami. Karenanya, Pemda mendukung segala bentuk langkah yang akan dilakukan investor dalam mengelola potensi lokal,” jawabnya dalam suatu konferensi pers.
Rencana investasi ini kemudian mendapat restu dari pemerintah pusat. Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral saat berkunjung ke Kalbar menyatakan dukungannya terhadap proyek pembangunan ini. Ia memberi jaminan pengerjaannya akan mendapat bantuan APBN (Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara) dari pemerintah pusat sebesar Rp 3 triliun.
Restu dari pemerintah pusat ini mendapat sambutan baik Gubernur Kalbar Usman Ja’far. Ia mengatakan pemerintah provinsi juga akan mensupport pembangunan ini dengan dana APBD. “Persoalan kepemilikan tanah warga di atas lahan 16 ribu hektar akan diselesaikan dengan baik oleh pemerintah,” ungkap Usman Ja’far.
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Kalbar, lahan gambut di Kalimantan Barat tersebar di empat kabupaten dan kota, dengan luasan yang bervariasi. Di Kota Pontianak seluas 5,592 hektar, Kabupaten Pontianak seluas 450 ribu hektar, Kabupaten Sambas 71.250 hektar dan kabupaten Ketapang seluas 67.250 hektar.
Lahan gambut di Kalbar saat ini masih didominasi pembukaan lahan atau reklamasi, baik untuk lahan pertanian maupun pemukiman, serta untuk saluran pembuangan air atau drainase. Namun reklamasi dan penggalian gambut menurut kalangan akademisi dan aktivis lingkungan hidup dapat membahayakan kelestarian alam.
Dosen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura, DR Gusti Zakaria Anshari MES mengatakan pemerintah harus mengkaji ulang rencana tersebut. Sebab menurutnya gambut sebagai spons raksasa sangat berguna untuk menyerap air tanah, agar tidak terjadi bencana banjir. Kalbar sebagai salah satu paru-paru dunia menurutnya sudah dihadapkan pada persoalan illegal logging, jangan lagi dirusak dengan pertambangan gambut. Kalau ini sampai terjadi, maka pemanasan global (global warming) akan terjadi lebih cepat dari prediksi para ilmuwan.
“Penting bagi pemerintah untuk melakukan kajian ilmiah dengan berbagai pihak sebelum memutuskan menerima investasi ini. Sebab cost yang nanti akan dikeluarkan akibat bencana alam bisa jadi lebih besar dibanding keuntungan yang diterima dari investasi tersebut,” katanya.
Alumni Monash University of Victoria Australia ini juga menegaskan, penggalian terhadap gambut dengan kedalaman 2-3 meter saja bisa menimbulkan banjir setinggi 10 meter. Kondisi Pontianak yang dikelilingi sungai dengan drainase yang kurang baik mendukung potensi tersebut. Dalam kondisi normal tanpa ada penggalian gambut, pemerintah sudah mengalami kesulitan mengatasi persoalan drainase.
Aktivis wahana lingkungan hidup (WALHI), Hendi Candra mengatakan daerah aliran sungai (DAS) di Mempawah, Kabupaten Pontianak, DAS Pinyuh dan DAS Duri kini semakin kritis. Lebih ironis lagi, sebagian besar hutan yang tersisa berada di lahan gambut. Sementara lahan itu kini akan difungsikan sebagai rencana proyek pengembangan listrik tenaga uap (PLTU). “Besarnya manfaat gambut dalam mengendalikan banjir ini perlu difahami oleh banyak pihak,” katanya.
Hal ini dibenarkan pula oleh Haryono, aktivis World Wildlife Fund (WWF). Ia mengatakan setiap tahun lokasi yang berada di tiga DAS ini mengalami banjir. Terlebih bila gambut digali untuk proyek pengembangan listrik tenaga uap. Ia berharap pemerintah mempertimbangkan kembali apakah sudah ada PLTU yang sukses menggunakan media pembakaran gambut.
Lanjutnya, landscape di tiga DAS ini adalah landscape yang kritis. Dapat dilihat dari rendahnya persentase penutup lahan (vegetasi), tingginya laju erosi tahunan, besarnya rasio debit sungai maksimum dan minimum, serta kandungan lumpur yang berlebihan. Sebagian besar ekosistem didominasi oleh hamparan Kerangas, hamparan Gambut dan hamparan Mangrove dan hutan dataran rendah Kalimantan.
Keseluruhan kondisi ekosistemnya kritis jika dilihat dari forest cover dan fungsi hidrologi yang dipegangnya. Kondisi yang masih baik tersisa pada tutupan pada lahan gambut dan jika dikonsesi untuk listrik kondisinya akan semakin mengenaskan. Kerentanan lingkungan yang terjadi dari DAS diantaranya: kondisi sungai Mempawah yang hampir flat, sehingga aliran sungai akan sangat tergantung dari tinggi muka air laut. Untuk itu kawasan gambut yang akan dikonversi ini menjadi penting sebagai buffer dari limpasan air sungai yang terhambat (karena kondisi sungai yang flat).
Pihak investor, President of Direktur PT Sebukit Power, Endi Kurniawan mengatakan pihaknya tidak kesulitan dalam menentukan lokasi pembangunan PLTU dimaksud. Endi menjamin proses tersebut akan difasilitasi secara sungguh-sungguh untuk memastikan adanya pengakuan terhadap hak mendasar masyarakat dan lingkungan hidup.
"Selain telah membuat komitmen bersama Klub Indonesia Hijau 21, kami melibatkan unsur akademisi di Universitas Tanjungpura dan Universitas Muhammadiyah Pontianak, PT ERM Indonesia dalam melakukan studi guna memenuhi prasyarat analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) bagi kelangsungan proyek ini," ungkapnya. (selesai)
*) Bisnis Indonesia Corespondent, Economic editor for Borneo Tribune. Alumni of Soil Science, Agriculture Faculty, Tanjungpura University. Graduate with a script about peatland reclamation in Pontianak City, and got A point (excellent).
Sunday, December 30, 2007
Diposting oleh Safitri Rayuni di 8:08 AM
Label: ekonomi, lingkungan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment