Senang rasanya melihat pertumbuhan anakku yang semakin hari semakin pinter. Kayanya dia ngerti kalau bundanya ga tahan kalo liat bayi nangis. hehheee...
Sebagai bukti rasa cinta yang besar baginya, ASI eksklusif adalah kemutlakan yang gak bisa ditawar (insya allah....semoga Allah membantu cita-cita mulia bunda ini ye nak, dengan kelancaran ASI yang konsisten dalam jumlah dan kualitas tentunya)...Terlebih asi eksklusif itu adalah hak setiap bayi di dunia....no reason to denie it....sekalipun ibunya bekerja atau sakit (kecuali sakit TB dan kanker).
Asi mengandung colostrum yang memberi kekuatan daya tahan tubuh manusia hingga ia dewasa. So, setiap ibu pasti ingin anaknya tumbuh sehat, kuat dan cerdas dengan memberikan ASI eksklusif (just ASI, tanpa makanan/minuman apapun) sampai bayi berusia 6 bulan. Usia di mana pencernaannya sudah cukup siap menerima makanan pendamping lain selain ASI.
Nak, demi Allah...bunda sayang kamu...bunda rela kok menunda bahkan kehilangan karir jurnalistik bunda sementara ...demi kamu,...cinta baru dalam hidup bunda..bunda ingin limpahan kasih sayang bunda bisa tercurah penuh buat kamu, sepanjang hari..juga air susu ini...special for you ..my beloved son...
Cepet besar ya nak, tumbuh menjadi manusia dewasa dan mandiri. Ga manja dan ga suka mengemis pertolongan orang lain. Sebaliknya, lebih suka memberi dan menolong, jauhi benar sifat menindas dan menjajah....
Tangan kanan gunakan untuk menolong sesama. Tangan kiri gunakan untuk membuang semua kotoran yang melekat di diri kita. Gunakan pikiran dan perasaan tidak untuk ngakali orang. Bunda berdoa anak bunda menjadi anak yang gemar menanam kebaikan di mana pun berada.
Anak bunda gak harus agamis gak juga harus sekuler (nah lho)....bunda berharap anak bunda menjadi anak yang humanis. Bisa memfungsikan semua indra kemanusiaannya guna kemaslahatan di muka bumi..amiiin
Tuesday, July 7, 2009
bayiku ASI eksklusif
Diposting oleh Safitri Rayuni di 3:50 PM 0 komentar
Thursday, May 14, 2009
iiih melahirkan itu seperti... (part3)
Wedew sorry everyone....its too long for me finishing my story...maklum meski rutinitas ngenet gak berhenti, ternyata inspirasi menulis gak semudah itu saja datang. Bayi yang sempat rewel mulai usia satu bulan sampai 2 bulan sempat menyita perhatian dan waktu. Beberapa kali kami membawa Nathan ke rumah sakit dan ke dokter anak khawatir kalau-kalau ada yang kurang nyaman di badannya.
Maklum, kalau dia mulai nangis dan berlanjut hingga lama sering tak tega rasanya. Kadang nangisnya dicampur jeritan seperti kesakitan. Nangisnya pada jam-jam tertentu, biasanya menjelang sore, pernah juga gak tidur semalaman dan rewel sampe pagi. Pas dibawa naik mobil baru berhenti nangis trus bobo.
Wajar kalau saya sedikit panik dan merasa khawatir kalau-kalau ada sakit yang ia derita. Belakangan, memasuki usia 2,5 bulan (jalan 3 bulan) kebiasaan nangisnya mulai berkurang. Paling merengek kecil dan tidak lama kalau pas datang kantuk.
Ajaibnya anak ku ini lebih mementingkan bobo daripada mimik susu. Prinsipnya dia ga tahan kalau mengantuk, tapi lebih tahan lapar. (Agaknya sama dengan perilaku ayah dan bundanya hahaaa....)
Nathan agaknya mengadopsi sikap saya. Biasanya saya tahan laper 10 jam, tapi gak tahan kalo jatah tidur berkurang. Nah, waktu malam mau melahirkan di klinik, meski menahan sakit dengan interval waktu yang makin padat, sempat-sempatnya saya bobo.
Malam itu, sakit mendera bertubi-tubi setiap setengah jam sekali. Semakin larut sakit semakin cepat pula datangnya. Hingga subuh menjelang, sakit datang setiap lima menit sekali. Duh tak tahan lagi rasanya. Melihat begitu, Ronny berinisiatif memanggil bidan. Tepat pada waktu yang sama, bidan Ike pun mengetuk pintu kamar kami.
Saya dipapah menuju ruang bersalin. Air mata yang ditahan sejak tadi pun luruh demi sakit yang sangat. Bidan Ike tak sendiri, ada dua asisten yang membantu. Tapi ke mana Bidan Ratna? Bukannya dia janji juga akan ikut menolong persalinan saya? Belakangan dia klarifikasi kalau dia tertidur sampai pukul 06.45. Tepat setelah bayi saya lahir.
Pukul 05.00 itu jam seakan berhenti berdetak. WAKTU terasa berjalan begitu lama. saya dirangsang untuk BAB selama 15 menit, disuntik, mengedan dan entah banyak lagi sampai kurang lebih 1 jam, air ketuban tak kunjung pecah. Saya sudah lemes. Untuk mengedan pun serasa tak kuat. Satu-persatu wajah tampak di depan saya. Kedua mertua saya juga ada, tapi, mana ibuku? siapa yang menjemputnya ke klinik? Oh aku semakin kacau bila tanpa ibuku. Bidan yang marah-marah karena saya tak bisa mengedan sesuai teknik yang ia sarankan tak saya dengarkan. Saya konsentrasi berdoa di dalam hati.
Kasihan suamiku, tampak sudah tak tahan melihat derita itu, bidan pun memintanya keluar ruangan. Tak lama infus pun dipasang untuk mensuplai cairan tubuh yang mulai habis karena banyaknya keringat yang keluar. Tapi agaknya jaringan pembuluh darahku menolak dijejali jarum dengan slang cairan itu. 8 tusukan sudah merusak kulit.
Diposting oleh Safitri Rayuni di 11:44 PM 1 komentar
Label: diary
Sunday, March 22, 2009
Iiihh melahirkan itu seperti...(part Two)
Ada beberapa alasan mengapa kami memutuskan untuk melahirkan di klinik bidan. Walaupun sejumlah keluarga dekat menyayangkan pilihan itu. Maklum, anak pertama (juga cucu pertama) bagi keluarga suami saya, semua pinginnya berjalan mulus dan sempurna.
Bagi kami, pilihan melahirkan di bidan tidaklah mengurangi keinginan melewati semua dengan sempurna. Justru kami sangat ingin persalinan ini bisa sempurna dengan cara normal (bukan operasi). Kami ingin proses yang dilalui bisa sealami mungkin, sehingga pemulihan pasca melahirkan bisa berjalan cepat.
Walaupun jujur saya takut juga. Berbagai macam rasa takut mendera saya. Takut menanggung sakit yang amat sangat. Takut jika saya harus pergi selamanya. Saya sungguh tak bisa membayangkan rasa duka yang melingkupi bila semua terjadi seperti ketakutan-ketakutan saya itu.
Rasa berani juga coba saya kumpulkan. Keyakinan bahwa pertolongan itu selalu ada. Manusia tak bisa mengandalkan kekuatannya sendiri. Melainkan kekuatan Tuhan dan tentu doa orang-orang yang mengasihinya. Bismillah.....
Tiba di bidan. Saya kaget. Bidan yang memeriksa malam itu bukan Bidan Ratna, seperti biasa, tapi bidan lain, yang belakangan saya tau namanya Bidan Marike (Ike). Wajahnya manurut saya jutek (sorry ya bu Bidan). Wajahnya sangat susah menyunggingkan senyum. Pembawaannya panikan alias gak tenang seperti bidan Ratna. Saya menilai begitu karena begitu tiba, berkenalan pun tidak (sebagai basa-basi orang timur yang baru pertama ketemu), ditensi pun tidak, saya diminta membuka pakaian bagian bawah. Its very tactically for me. Sangat tak nyaman.
Malam itu kami ditempatkan di kamar kelas I. Bidan Ike pesan, jangan panggil pertolongan kalau sakitnya belum sakit sekali. "Baru pembukaan dua, tahan saja sakitnya dan jangan panggil saya sebelum ibu benar-benar tidak tahan sakitnya ya. Kalau sakit sekali pegang saja lutut sambil bilang iihhhkkkkk (dengan wajah menggeram merapatkan gigi). Ibu tidak akan bisa tidur malam ini, karena akan sakit sekali. Perkiraan saya pagi baru melahirkan," pesannya.
Oooh sungguh pesan yang tidak menenangkan buat saya dan suami yang malam itu memang memutuskan menginap dan menanti di klinik. Ya, kami tak mau panik saat waktu semakin dekat. Jadi lebih baik menginap. Saya juga tak mau melihat suami panik menyetir mobil karena harus segera tiba di klinik.
Sepanjang malam itu, servis di bidan hanya dijenguk sekali oleh bidan Ratna dan perawat yang mengganti bola lampu WC yang putus. No snack, no food just drink water. Malam semakin larut. Sakit semakin menghujam.
t
Diposting oleh Safitri Rayuni di 11:58 PM 2 komentar
Label: diary
Wednesday, March 11, 2009
Iiihh melahirkan itu seperti...(part One)
Aku mau cerita-cerita dikit soal proses persalinan normal yang aku jalani. Walau sampai sekarang aku belum menemukan kata-kata yang pas buat mendeskripsikan rasa yang aku alami. Baik padanan kata yang pas buat menggambarkan jeri pada fisik dan kebahagiaan pada psikis. Juga ketegangan-ketegangan yang aku lewati.
Tegangnya, malam di mana kami terburu-buru akan ke klinik bidan, suami saya harus mengantarkan seorang ibu korban penjambretan untuk melapor ke pos polisi terdekat. Jeri fisik yang tak tertahankan lagi memaksa aku untuk tetap berusaha bersabar, semoga pertolongan yang diberikan suami secara tak langsung turut mempermudah proses kelahiran bayi kami nantinya.
Suami saya yakin dan bilang, jika kita menolong orang susah Allah pasti juga akan menolong kita. Saya terkesima. Kagum bercampur bangga. Merasakan betapa beruntungnya saya dicintai lelaki yang berjiwa sosial, tidak individualis alias mengutamakan kepentingan dirinya di atas kepentingan orang lain yang sedang kesusahan. Thanks god, u send me a nice person.
Ceritanya, pada sore harinya aku sudah mulai merasakan kontraksi ringan. Kami ke bidan. Periksa dan tensi. Bidan bilang belum pembukaan. Padahal tanda berupa lendir dan darah cokelat sudah mulai ada sedikit-sedikit. Kata Rinda via telepon dari Sintang, kakak saya yang bidan, berarti sudah dekat waktunya.
Pulang dari bidan, saya dan suami jalan-jalan sore. Kami belanja ikan, jagung muda, dan sayuran, buat stok di rumah. Kebetulan Ibu saya sudah tiba sejak dua minggu lalu. Ibu saya hobi masak. Kami hobi makan. Klop lah. Sepanjang jalan, suami memutar lagu Internationale, lagu perjuangan katanya, dengan harapan anak kami jadi pejuang kelak. hehe ada ada aja..amin deh
Magrib menjelang. Kontraksi semakin kuat dan intens. Ayah mertua saya datang menjenguk. Ibu mertua sedang pemulihan usai opname, jadi tidak ikutan. Mertua meminta kami segera ke RS bersalin RS Fatima. Saya masih menunggu. Sebab kami memang berniat ke klinik bidan.
Pukul 20.30 mertua pulang. Tak lama saya merasakan kontraksi yang semakin kuat. Kami sudah hendak pergi, tapi kasihan ibu saya sendiri di rumah. Suami pun saya minta menjemput Risma, anak Bibik (orang yang selalu bantu-bantu beresin rumah) buat menemaninya. Nah, dalam perjalanan menjemput itulah seorang ibu sedang panik karena tasnya dijambret dua pria bermotor Yamaha Mio. Orang-orang ramai mengelilingi si Ibu tanpa memberi solusi apapun. Mana tangan si Ibu keseleo akibat adu tarik dengan si jambret. Pemuda setempat yang mau mengejar pelaku juga tertinggal jauh. Pak RT hanya bengong, sampai Ronny berinisiatif mengantar korban ke pos polisi terdekat. Sebelumnya ia menyempatkan menelepon saya meminta bersabar dan minta kirimkan nomor polres ketapang. Ck..ck...mana hape nya pake ketinggalan lagi....duhhh
Pukul 21.30 kami pun tiba di klinik Bidan Ratna. Di sinilah proses ketegangan dan jeri tak terkira mendera sepanjang malam hingga pagi menjelang. Ada sabar yang hendak dikayuh, ada sendu yang mendayu, ada haru yang membiru, juga ada kantuk (secara sepanjang malam gak bisa tidur dengan enak)...yang tak tertahankan..uaaaahhhhmmmmmm (to be contiuned)
Diposting oleh Safitri Rayuni di 11:37 PM 0 komentar
Tuhan rela memberi....
Nathan Ganesh Ilkiya. Nama ini kami pilih buat bayi kecil kami yang lahir Kamis (26/2) lalu. Nathan saya ambil dari Nahtan yang bahasa Spanyol berarti Tuhan rela memberi. Juga dari bahasa Ibrani...nama Nathan adalah nama dari saya, ibunya.
Sebelumnya kami (saya dan ayah Nathan) sudah menyadari, sebagai muslim nama ini pasti jadi kontroversi di kalangan keluarga besar kami yang umumnya lebih cenderung kepada nama-nama 'islami' yang identik dan notabene dengan kosakata bahasa Arab.
Abang kembar saya, orang pertama yang komplain kalau nama Nathan adalah nama tokoh Yahudi. Walau komplain ini ditujukan lewat ibu saya dan tidak langsung ke saya dan suami. Kami bisa memahaminya. Buat kami, nama 'islami' bukan jaminan perilaku hidup si empunya nama. Coba lihat orang-orang yang disidik dan ditangkap KPK, kebanyakan memiliki nama dengan kosakata arab berbau islam dengan arti yang sungguh indah. Betapa memalukannya.
Suami saya berpendapat bahwa nama tidak dengan serta merta mengkafirkan seseorang. Setiap nama menurut Ronny mengandung doa dan harapan buat si empunya nama. Tak ada yang salah dengan arti nama yang kami berikan, arti dan harapan yang terkandung dalam nama itu kami nilai sangat bagus. Pertanyaannya pakah salah dan tak boleh seorang dengan nama berbau Yahudi atau Nasrani memiliki keyakinan sebagai muslim atau sebaliknya, tak sedikit orang di Timur Tengah memiliki nama berbau muslim dan menganut agama non muslim. Apakah seorang Nathalie atau Kristin tak boleh beragama Islam, dan harus mengubah namanya dahulu sebelum atau sesudah masuk Islam. Betapa ironisnya.
Sebelumnya cukup lama bagi kami untuk merumuskan dan memilih nama. Waktu kehamilan sembilan bulan tidaklah cukup bagi kami untuk memutuskan nama yang tepat. Bisa dibilang, persiapan dan kelengkapan bagi kelahiran bayi kami sudah 90 persen tersedia, namun tidak dengan nama.
Sebelum kami memberi nama bagi Nathan, abang saya minta anak kami dikasi nama yang ada Muhammad nya. Ayah mertua saya malah sudah menyiapkan nama seperti Muhammad Rafiq, dan dua nama lain yang saya lupa. Tapi kami berpikiran, cukuplah nama kami selaku anak yang diintervensi ortu, sementara nama anak kami biar kami selaku ortu yang memberi. Adil bukan? hehe
Nama Nathan juga terinspirasi dari Nathan Sang Bijak (judul asli dalam bahasa Jerman Nathan der Weise) adalah sebuah sandiwara karya Gotthold Ephraim Lessing, yang diterbitkan pada 1779. Isinya mengandung imbauan yang mendesak untuk toleransi keagamaan.
Sandiwara ini dilarang dipertunjukkan oleh Gereja pada masa hidup Lessing.
Sandiwara yang mengambil tempat di Yerusalem pada masa Perang Salib Ketiga, melukiskan bagaimana Nathan, sang pedagang Yahudi yang bijaksana, Sultan Saladin yang berhikmat dan Templar (yang mulanya anonim) menjembatani perbedaan-perbedaan mereka antara agama Kristen, Yudaisme dan Islam.
Bagian inti dari karya ini adalah perumpamaan cincin, yang dikisahkan oleh Nathan ketika ditanya oleh Saladin, agama manakah yang benar: Sebuah cincin warisan yang mempunyai kemampuan ajaib untuk membuat si pemiliknya berkenan di mata Allah dan umat manusia telah diteruskan oleh seorang ayah kepada anak lelaki yang paling dikasihinya.
Ketika tiba pada seorang ayah yang mempunyai tiga orang anak lelaki yang sama-sama ia cintai, ia berjanji untuk memberikannya (dalam "kelemahan yang saleh") kepada masing-masing anaknya. Ia berusaha mencari jalan untuk memegang janjinya, karenanya ia membuat dua tiruan yang sempurna dari cincin aslinya. Begitu sempurnanya sehingga kedua cincin tiruan itu tidak dapat dibedakan dari aslinya. Di ranjang kematiannya ia memberikan masing-masing cincin itu kepada masing-masing anaknya. Ketiga bersaudara itu saling bertengkar tentang siapa yang mendapatkan cincin yang sejati. Seorang hakim yang bijaksana menasihati mereka bahwa semuanya tergantung kepada diri mereka sendiri untuk menunjukkan melalui hidup mereka bahwa kuasa cincin itu benar-benar terbukti. Nathan membandingkan hal ini dengan agama, sambil mengatakan bahwa masing-masing kita hidup menurut agama yang telah kita pelajari dari mereka yang kita hormati.
Tokoh Nathan ini pada umumnya mengikuti teladan sahabat lama Lessing, sang filsuf terkemuka Moses Mendelssohn. Serupa dengan Nathan Sang Bijak dan Saladin, yang dibuat Lessing bertemu di sekitar papan catur, mereka sama-sama mencintai permainan itu.
Nama Ganesh adalah nama sumbangan dari Oppie, adik ipar saya yang sedang menyelesaikan kuliah pertambangan di Yogya. Ganesh artinya berilmu dan cerdas. Mulanya Oppie menyumbang nama Ganesh Lenno (pria) Minerva (bijaksana) buat bayi cowok dan Almira (putri) Gian Istifari (selalu beristighfar) buat bayi perempuan.
Sedangkan nama Ilkiya adalah nama pemberian Ronny, suami saya. Nama ini diambil dari bahasa Persia yang berarti orang yang terpandang. Mudah-mudahan dengan nama ini kamu tumbuh dan besar sebagai manusia yang humanis dalam didikan orang tua mu ya Nak. Amiiin
Diposting oleh Safitri Rayuni di 10:07 PM 3 komentar
Sunday, January 25, 2009
Here this Obama inauguration speech
Barack Obama has been sworn in as the 44th US president. Here is his
inauguration speech in full.
Barack Obama delivers inauguration speech, 20 January 2009
Barack Obama made his speech in front of more than a million people
My fellow citizens:
I stand here today humbled by the task before us, grateful for the trust you
have bestowed, mindful of the sacrifices borne by our ancestors. I thank
President Bush for his service to our nation, as well as the generosity and
co-operation he has shown throughout this transition.
Forty-four Americans have now taken the presidential oath. The words have
been spoken during rising tides of prosperity and the still waters of peace.
Yet, every so often the oath is taken amidst gathering clouds and raging
storms. At these moments, America has carried on not simply because of the
skill or vision of those in high office, but because we, the people, have
remained faithful to the ideals of our forbearers, and true to our founding
documents.
So it has been. So it must be with this generation of Americans.
That we are in the midst of crisis is now well understood. Our nation is at
war, against a far-reaching network of violence and hatred. Our economy is
badly weakened, a consequence of greed and irresponsibility on the part of
some, but also our collective failure to make hard choices and prepare the
nation for a new age. Homes have been lost; jobs shed; businesses shuttered.
Our health care is too costly; our schools fail too many; and each day
brings further evidence that the ways we use energy strengthen our
adversaries and threaten our planet.
These are the indicators of crisis, subject to data and statistics. Less
measurable but no less profound is a sapping of confidence across our land -
a nagging fear that America's decline is inevitable, and that the next
generation must lower its sights.
Today I say to you that the challenges we face are real. They are serious
and they are many. They will not be met easily or in a short span of time.
But know this, America - they will be met.
On this day, we gather because we have chosen hope over fear, unity of
purpose over conflict and discord.
On this day, we come to proclaim an end to the petty grievances and false
promises, the recriminations and worn out dogmas, that for far too long have
strangled our politics.
We remain a young nation, but in the words of scripture, the time has come
to set aside childish things. The time has come to reaffirm our enduring
spirit; to choose our better history; to carry forward that precious gift,
that noble idea, passed on from generation to generation: the God-given
promise that all are equal, all are free, and all deserve a chance to pursue
their full measure of happiness.
In reaffirming the greatness of our nation, we understand that greatness is
never a given. It must be earned. Our journey has never been one of
short-cuts or settling for less. It has not been the path for the
faint-hearted - for those who prefer leisure over work, or seek only the
pleasures of riches and fame. Rather, it has been the risk-takers, the
doers, the makers of things - some celebrated but more often men and women
obscure in their labour, who have carried us up the long, rugged path
towards prosperity and freedom.
For us, they packed up their few worldly possessions and travelled across
oceans in search of a new life.
For us, they toiled in sweatshops and settled the West; endured the lash of
the whip and ploughed the hard earth.
For us, they fought and died, in places like Concord and Gettysburg;
Normandy and Khe Sahn.
Time and again these men and women struggled and sacrificed and worked till
their hands were raw so that we might live a better life. They saw America
as bigger than the sum of our individual ambitions; greater than all the
differences of birth or wealth or faction.
This is the journey we continue today. We remain the most prosperous,
powerful nation on earth. Our workers are no less productive than when this
crisis began. Our minds are no less inventive, our goods and services no
less needed than they were last week or last month or last year. Our
capacity remains undiminished. But our time of standing pat, of protecting
narrow interests and putting off unpleasant decisions - that time has surely
passed. Starting today, we must pick ourselves up, dust ourselves off, and
begin again the work of remaking America.
For everywhere we look, there is work to be done. The state of the economy
calls for action, bold and swift, and we will act - not only to create new
jobs, but to lay a new foundation for growth. We will build the roads and
bridges, the electric grids and digital lines that feed our commerce and
bind us together. We will restore science to its rightful place, and wield
technology's wonders to raise health care's quality and lower its cost.
We
will harness the sun and the winds and the soil to fuel our cars and run our
factories. And we will transform our schools and colleges and universities
to meet the demands of a new age. All this we can do. All this we will do.
Now, there are some who question the scale of our ambitions - who suggest
that our system cannot tolerate too many big plans. Their memories are
short. For they have forgotten what this country has already done; what free
men and women can achieve when imagination is joined to common purpose, and
necessity to courage.
What the cynics fail to understand is that the ground has shifted beneath
them - that the stale political arguments that have consumed us for so long
no longer apply. The question we ask today is not whether our government is
too big or too small, but whether it works - whether it helps families find
jobs at a decent wage, care they can afford, a retirement that is dignified.
Where the answer is yes, we intend to move forward. Where the answer is no,
programs will end. And those of us who manage the public's dollars will be
held to account - to spend wisely, reform bad habits, and do our business in
the light of day - because only then can we restore the vital trust between
a people and their government.
Nor is the question before us whether the market is a force for good or ill.
Its power to generate wealth and expand freedom is unmatched, but this
crisis has reminded us that without a watchful eye, the market can spin out
of control - that a nation cannot prosper long when it favours only the
prosperous. The success of our economy has always depended not just on the
size of our gross domestic product, but on the reach of our prosperity; on
the ability to extend opportunity to every willing heart - not out of
charity, but because it is the surest route to our common good.
As for our common defence, we reject as false the choice between our safety
and our ideals. Our founding fathers, faced with perils we can scarcely
imagine, drafted a charter to assure the rule of law and the rights of man,
a charter expanded by the blood of generations. Those ideals still light the
world, and we will not give them up for expedience's sake. And so to all
other peoples and governments who are watching today, from the grandest
capitals to the small village where my father was born: know that America is
a friend of each nation and every man, woman, and child who seeks a future
of peace and dignity, and we are ready to lead once more.
Recall that earlier generations faced down fascism and communism not just
with missiles and tanks, but with the sturdy alliances and enduring
convictions. They understood that our power alone cannot protect us, nor
does it entitle us to do as we please. Instead, they knew that our power
grows through its prudent use; our security emanates from the justness of
our cause, the force of our example, the tempering qualities of humility and
restraint.
We are the keepers of this legacy. Guided by these principles once more, we
can meet those new threats that demand even greater effort - even greater
cooperation and understanding between nations. We will begin to responsibly
leave Iraq to its people, and forge a hard-earned peace in Afghanistan. With
old friends and former foes, we will work tirelessly to lessen the nuclear
threat, and roll back the spectre of a warming planet. We will not apologize
for our way of life, nor will we waver in its defence, and for those who
seek to advance their aims by inducing terror and slaughtering innocents, we
say to you now that our spirit is stronger and cannot be broken; you cannot
outlast us, and we will defeat you.
For we know that our patchwork heritage is a strength, not a weakness. We
are a nation of Christians and Muslims, Jews and Hindus - and non-believers.
We are shaped by every language and culture, drawn from every end of this
earth; and because we have tasted the bitter swill of civil war and
segregation, and emerged from that dark chapter stronger and more united, we
cannot help but believe that the old hatreds shall someday pass; that the
lines of tribe shall soon dissolve; that as the world grows smaller, our
common humanity shall reveal itself; and that America must play its role in
ushering in a new era of peace.
To the Muslim world, we seek a new way forward, based on mutual interest and
mutual respect. To those leaders around the globe who seek to sow conflict,
or blame their society's ills on the West - know that your people will
judge
you on what you can build, not what you destroy. To those who cling to power
through corruption and deceit and the silencing of dissent, know that you
are on the wrong side of history; but that we will extend a hand if you are
willing to unclench your fist.
To the people of poor nations, we pledge to work alongside you to make your
farms flourish and let clean waters flow; to nourish starved bodies and feed
hungry minds. And to those nations like ours that enjoy relative plenty, we
say we can no longer afford indifference to suffering outside our borders;
nor can we consume the world's resources without regard to effect. For the
world has changed, and we must change with it.
As we consider the road that unfolds before us, we remember with humble
gratitude those brave Americans who, at this very hour, patrol far-off
deserts and distant mountains. They have something to tell us, just as the
fallen heroes who lie in Arlington whisper through the ages. We honour them
not only because they are guardians of our liberty, but because they embody
the spirit of service; a willingness to find meaning in something greater
than themselves. And yet, at this moment - a moment that will define a
generation - it is precisely this spirit that must inhabit us all.
For as much as government can do and must do, it is ultimately the faith and
determination of the American people upon which this nation relies. It is
the kindness to take in a stranger when the levees break, the selflessness
of workers who would rather cut their hours than see a friend lose their job
which sees us through our darkest hours. It is the firefighter' s courage to
storm a stairway filled with smoke, but also a parent's willingness to
nurture a child, that finally decides our fate.
Our challenges may be new. The instruments with which we meet them may be
new. But those values upon which our success depends - honesty and hard
work, courage and fair play, tolerance and curiosity, loyalty and patriotism
- these things are old. These things are true. They have been the quiet
force of progress throughout our history. What is demanded then is a return
to these truths. What is required of us now is a new era of responsibility -
a recognition, on the part of every American, that we have duties to
ourselves, our nation, and the world, duties that we do not grudgingly
accept but rather seize gladly, firm in the knowledge that there is nothing
so satisfying to the spirit, so defining of our character, than giving our
all to a difficult task.
This is the price and the promise of citizenship.
This is the source of our confidence - the knowledge that God calls on us to
shape an uncertain destiny.
This is the meaning of our liberty and our creed - why men and women and
children of every race and every faith can join in celebration across this
magnificent mall, and why a man whose father less than 60 years ago might
not have been served at a local restaurant can now stand before you to take
a most sacred oath.
So let us mark this day with remembrance, of who we are and how far we have
travelled. In the year of America's birth, in the coldest of months, a
small
band of patriots huddled by dying campfires on the shores of an icy river.
The capital was abandoned. The enemy was advancing. The snow was stained
with blood. At a moment when the outcome of our revolution was most in
doubt, the father of our nation ordered these words be read to the people:
"Let it be told to the future world...that in the depth of winter, when
nothing but hope and virtue could survive...that the city and the country,
alarmed at one common danger, came forth to meet [it]."
America. In the face of our common dangers, in this winter of our hardship,
let us remember these timeless words. With hope and virtue, let us brave
once more the icy currents, and endure what storms may come. Let it be said
by our children's children that when we were tested we refused to let this
journey end, that we did not turn back nor did we falter; and with eyes
fixed on the horizon and God's grace upon us, we carried forth that great
gift of freedom and delivered it safely to future generations.
Thank you. God bless you. And God bless the United States of America.
Diposting oleh Safitri Rayuni di 2:01 AM 0 komentar
Label: hukum