*Desa hingga parlemen bahas skema REDD
Oleh : Safitri Rayuni
FFI Update Ketapang- Tidak adanya akses legal masyarakat terhadap hutan dan kemiskinan menjadi salah satu penyebab pengrusakan hutan. Puluhan juta jiwa yang tinggal di kawasan hutan di Indonesia adalah masyarakat miskin. Angka ini seiring dengan lajunya degradasi hutan yang mencapai angka 0,8 juta hektar per tahun.
Uraian ini disampaikan Direktur Bina Perhutanan Sosial (BPS), Ditjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Kementrian Kehutanan, Billy Hindra, dalam ekspos program yang dilakukan Fauna & Flora International (FFI)-Indonesian Programme kantor Ketapang bersama anggota Komisi II DPRD Ketapang, di gedung DPRD Ketapang, Rabu (3/3) lalu.
Hadir dalam forum itu Ketua DPRD Ketapang, Ir Gusti Kamboja MH selaku moderator, Sekda Ketapang, Drs Bachtiar, anggota komisi II DPRD Ketapang, sejumlah perwakilan instansi Pemkab Ketapang, Perwakilan Dinas Kehutanan Kalbar, Bambang Prihanung PS, Country Director Fauna & Flora International (FFI)-Indonesia Programme, Darmawan Liswanto, Koordinator REDD Nasional, Dewi Rizki, Kalimantan Project Leader FFI, Ahmad Kusworo, dan Project Leader FFI Ketapang, Happy Hendrawan.
Billy mengatakan, pemberian akses terhadap hutan negara bisa meningkatkan kapasitas hidup masyarakat miskin, namun harus mengikuti aturan yang berlaku.
Ia mencontohkan program Hutan Desa yang di-launching di Jambi. Pelaku utama adalah lembaga desa yang ditunjuk desa dengan peraturan desa (perdes). “Hak pengelolaan bisa dilaksanakan di hutan produksi, dengan mengambil manfaat alam, non kayu, dan tanaman. Sedangkan di hutan lindung, bisa memanfaatkan jasa lingkungan seperti air dan ekowisata,” terangnya.
“Banyak praktik-praktik pengrusakan hutan oleh masyarakat sekitar hutan. Pengembangan kebutuhan pemerintah dan masyarakat melalui skema REDD diharapkan bisa menjadi jalan tengah,” sambung Billy.
REDD kependekan dari reducing emission from deforestation and forest degradation atau pengurangan emisi dari kerusakan (deforestasi) dan penurunan kualitas (degradasi) hutan, adalah pendekatan yang mencoba mengurai benang kusut masalah kerusakan hutan.
Pendekatan ini terbilang baru. Konferensi Para Pihak Konvensi Perubahan Iklim ke-13 (COP 13) di Bali pada tahun 2007 menghasilkan Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan), melanjutkan Protokol Kyoto. Rencana ini mengakui pentingnya hutan dalam mengatasi perubahan iklim dan perlunya strategi mitigasi perubahan iklim melalui skema REDD.
Harapannya melalui skema ini pengurangan emisi karbon dan pengentasan kemiskinan berjalan beriringan. Hak masyarakat lokal untuk memanfaatkan hutan harus diseimbangkan dengan tujuan masyarakat internasional dalam mengatasi perubahan iklim.
Ide ini berbeda dengan kegiatan konservasi hutan sebelumnya, karena dikaitkan langsung dengan insentif finansial untuk menjaga hutan yang berfungsi sebagai penyimpan karbon.
Direktur FFI-IP, Darmawan Liswanto mengatakan, hak kelola pada masyarakat yang paling baik adalah yang menghasilkan benefit (manfaat). “Sebab selama ini pola kelola masyarakat hanya memakan biaya konservasi tanpa benefit,” ujarnya.
Ia menilai community carbon pool (CCP) adalah salah satu pemecahan masalah perubahan iklim. Banyak kawasan hutan yang dikelola masyarakat secara tradisional yang terancam terdegradasi akibat belum adanya legal akses dan tingginya tekanan dari pengembang perkebunan.
Legal akses diantaranya bisa diperoleh melalui penetapan hutan kelola masyarakat menjadi hutan desa. Ditambahkannya, dalam rentang waktu tahun 2009-2012 FFI membuat kesepakatan (MoU) untuk empat kawasan hutan desa yang menjadi pilot project (proyek percontohan) di Ketapang.
FFI juga akan memfasilitasi penguatan kapasitas masyarakat untuk mengelola hutan sehingga memungkinkan mereka menjual karbon dari hutan desa ke pasar karbon dunia. Dengan CCP, masyarakat di sekitar hutan bisa memperoleh insentif dari negara-negara maju.
Kalimantan Project Leader FFI, Ahmad Kusworo menambahkan, hutan gambut di Sungai Putri, Pematang Gadung, Pesaguan, dan lima desa di Kecamatan Tumbang Titi merupakan empat kawasan yang masuk dalam pengembangan mekanisme pendanaan berkelanjutan melalui skema REDD.
Sedangkan di Kabupaten Kayong Utara, ada zona penyangga Taman Nasional Gunung Palung. Sedangkan di Kapuas Hulu, ada hutan gambut di Danau Sentarum, Danau Siawan dan Danau Belida.
Sedangkan National REDD Coordinator, Dewi Rizki mengatakan, sedikitnya 10.300 hektar hutan telah diukur kedalaman gambutnya di komplek Hutan Sentap Kancang. Hutan ini juga merupakan koridor orangutan dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang tinggi.
“Semua spesies atau jenis pohon dilihat sebarannya, diameternya untuk melihat biometri hutan itu seperti apa,” katanya. Pengukuran itu dilakukan untuk memberikan nilai bagi sebidang lahan berhutan yang berpotensi menyimpan karbon.
Sekda Ketapang, Drs H Bachtiar mengatakan, Pemda Ketapang merespon program tersebut. “Status kawasan sudah tidak menjadi masalah, masyarakat juga bersungguh-sungguh, intinya bagaimana menyejahterakan masyarakat tetapi hutan kita tetap lestari,” katanya.
Project Leader FFI Ketapang, Happy Hendrawan menambahkan, permohonan hak pengelolaan hutan desa dilakukan oleh lembaga desa dan ditujukan kepada bupati untuk diteruskan kepada gubernur. “FFI Ketapang juga membantu masyarakat melakukan pemetaan partisipatif melalui pelatihan pemetaan belum lama ini, agar masyarakat desa mengetahui batas-batas desa mereka,” urainya.
Pada kesempatan lain perwakilan dari Dinas Kehutanan Kalbar, Bambang Prihanung PS mengatakan, satu dari enam sasaran yang dituju pemerintah saat ini adalah peningkatan sumberdaya manusia. “Pemerintah memfasilitasi agar masyarakat tidak terkena pidana kehutanan. Caranya dengan memberikan edukasi dan pelatihan bagi masyarakat sekitar hutan,” ujarnya.
Sejumlah anggota legislatif yang hadir dalam forum tersebut juga merespon baik program yang dipaparkan FFI-IP. Beberapa catatan yang menjadi masukan dari para wakil rakyat ini diantaranya adalah pentingnya pengawasan dari perangkat desa agar tidak menimbulkan masalah baru. Hal ini disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPRD Ketapang, A Sani.
Sementara legislator dari PKS, A Yani, mengingatkan agar pemanfaatan hutan desa juga perlu diiringi pengembangan ekonomi masyarakat sekitar. Yani juga meminta contoh program REDD dari FFI yang telah berhasil dilaksanakan.
Pentingnya mengelola hutan desa dengan tetap mengindahkan tata ruang daerah, disampaikan salah satu anggota Komisi II, Samsidi. “Saat ini saja PP (peraturan pemerintah-ed) tentang hutan adat belum terbit, belum lagi kita berbicara hutan desa yang belum ada implementasinya. Penting untuk diperhatikan agar program hutan desa dikaitkan dengan tata ruang daerah ini,” sarannya.
12 Pertanyaan Warga Desa
Dalam diskusi di Desa Sungai Putri, Rabu (17/2) lalu, ada sekitar 12 pertanyaan dari lima kelompok peserta diskusi membahas skema REDD. Setiap kelompok terdiri dari warga desa dan fasilitator ini mendapat instrumen berupa poster skema pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.
Mereka membahas skema REDD tersebut selama satu jam lebih dengan antusiasnya. Dari diskusi per kelompok yang dimoderatori Social Research Community FFI-IP, Sabinus Melano, timbul 12 pertanyaan dari warga. Diantaranya persoalan solusi lapangan pekerjaan, apabila pekerjaan membalak kayu mulai dibatasi.
Pertanyaan pemanfaatan kayu untuk rumah dan kayu bakar juga muncul dari kelompok II, Masyarakat pedesaan umumnya hidup tergantung hutan, bagaimana caranya hutan tetap terjaga dan kebutuhan masyarakat tetap terpenuhi? Usaha apa yang dapat diupayakan FFI dan pemerintah untuk menanggulangi hal tersebut? Bagaimana sistim bagi hasil dari REDD?
Dari berbagai pertanyaan itu setidaknya warga desa mulai peduli akan nasib desa dan hak mereka terhadap hutan yang ada di kawasannya. Project Leader FFI-IP Ketapang, Happy Hendrawan menilai pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah potret kegelisahan dan keinginan masyarakat yang bisa dipahami. “Semua ada proses, ibarat melamar gadis ada banyak tahapan yang bisa dilalui sebelum memasuki malam pertama. FFI adalah fasilitator, tanggungjawab negara dan masyarakat adalah untuk sama-sama menyejahterakan diri,” katanya.
Melano menambahkan, Hutan Sentap Kancang adalah hutan Negara dimana masyarakat memiliki hak untuk mengaksesnya. “Masyarakat Sungai Putri lah yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, kita akan membantu mereka menemukan jawabannya,” tukasnya.(*)
Wednesday, April 21, 2010
Mengurai solusi kerusakan hutan di Ketapang
Diposting oleh Safitri Rayuni di 6:52 AM
Label: lingkungan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment