Wednesday, March 5, 2008

Warga Pertanyakan Ganti Rugi Lahan Perkebunan Sawit


*Pemerintah dan Dewan Diminta Bertindak
Bertahun-tahun menanti, janji penyelesaian lahan dengan sistem ganti rugi kepada warga tak kunjung dipenuhi. PT Harapan Sawit Lestari (PT HSL), perusahaan yang membuka perkebunan di atas tanah warga ini seakan bungkam, setelah melakukan pembukaan lahan di Desa Kalimantan, Kecamatan Manis Mata, Kabupaten Ketapang.
Warga setempat yang ditemui belum lama ini mengaku kecewa atas sikap bungkam perusahaan tersebut. Pemerintah dan anggota dewan juga turut bersikap sama. Warga mengaku bingung, kepada siapa lagi mereka mengadu.

Mainyih (43) misalnya. Pemilih tanah seluas 50 hektar di Kabateng Hulu ini mengatakan, sejak tahun 2000, tanah miliknya telah ditanami kelapa sawit oleh PT HSL. “Sejak pembukaan lahan tersebut, hingga sekarang PT HSL belum memberikan ganti rugi tanah kami,” katanya. Karenanya, Mainyih dengan tegas melarang pihak PT HSL untuk melakukan pemanenan kelapa sawit, sampai permasalahan tanah ini selesai.
Warga lainnya, Hamzah (40) juga mendapatkan perlakuan sama atas tanah miliknya. Hamzah bahkan sudah sepuluh kali dirinya mendatangi pihak manajemen PT HSL dan mengirimkan 15 surat memohon kejelasan, namun semuanya tidak pernah di tanggapi pihak perusahaan.
Kedua warga ini mengaku, sebenarnya mereka menerima keberadaan sawit di kampung itu, namun kini yang mereka tuntut adalah mendapatkan kembali jatah pembagian kapling KKPA.
Dikonfirmasi, Kepala Desa Kalimantan, Awas Alibaba mengungkapkan, penggunaan lahan masyarakat untuk perkebunan merupakan permasalahan di desanya. Tak hanya lahan masyarakat, ia menuturkan, PT HSL juga melakukan penggusuran 33 kuburan di Dusun Purang, menggunakan bulldoser sejak tahun 2000 yang lalu. “Hingga sekarang pihak PT HSL belum pernah menjelaskan permasalahan ini,” ujarnya.
Masyarakat Desa Purang, terutama keluarga yang dimakamkan di atas lahan tersebut, menuntut kembali pihak perusahaan untuk menjelaskan permasalahan tersebut. Karena itu, Awas selaku kepala desa akan mengambil tindakan dengan mempertemukan kedua belah pihak, antara masyarakat dengan PT.HSL.
Pria yang pernah bekerja sebagai mandor PT HSL selama lima ini mengatakan, ia mengetahui kinerja PT HSL, dimana pihak perusahaan akan melakukan penggusuran terlebih dahulu baru penyelesaian kemudian.
Sedangkan Agam (36), warga Desa Kalimantan, mengatakan, PT HSL seakan menutup mata dan bersikap tidak mempunyai masalah, apalagi menurutnya hingga sekarang PT HSL hanya membayar sebesar Rp80.000 per hektar, dan atas sikap tersebut, Agam mengaku tidak bisa menerimanya. Agam mengharapkan, pemerintah terutama pemerintahan kabupaten dapat membantu penyelasaian masalah ini hingga tuntas. (naskah Sugeng Mulyono, editor : Iphiet)

No comments: