Safitri Rayuni
Borneo Tribune, Melbourne
Jika di hari libur, Sabtu dan Minggu, kebanyakan orang memilih berjalan-jalan di pusat kota, tidak demikian dengan kebanyakan warga Melbourne, Victoria, kota terbesar kedua di Australia.
Orang-orang lebih memilih di rumah atau beribadah di gereja pada dua hari off day (sabtu dan minggu) ini. "Kamu lihat, sedikit sekali terlihat warga yang berbelanja di mal-mal dan factory outlet (FO) pada hari ini, kebanyakan di rumah atau di gereja," kata Alexandra Kennedy kepada saya, dalam perjalanan dari airport menuju kediaman John Wallace, pagi Minggu (09/09) itu. Tangannya menunjuk satu gereja paling besar di sini. "This is an oldest and big one," ujarnya, aku mengangguk dan terpana melihat begitu banyak warga kota beribadah di gereja ini. "So many people there!" seruku surprise.
Matanya menatap lurus ke jalan, sambil menyetir, Alex yang ramping dan cantik tampak sangat 'macho' di mata saya. Ia terus bercerita. "Nah itu lihat, kebanyakan orang Asia yang berjalan di hari ini," katanya dalam aksen Australia. Ia menunjuk beberapa FO dan supermarket. Alex adalah sekretaris John Wallace, Direktur Program untuk Asia Pasific Journalism Centre (APJC) di Australia.
Cuaca hangat pagi itu, kami tiba pukul 07.45 am atau 04.30 WIB di Indonesia. Perjalanan yang melelahkan, sekitar enam jam dari Bali. Namun begitu tiba, dan mendengar banyak kisah dari Alex, hilang segala penat saya. "Jikapun ada yang memilih ke luar kota, umumnya mereka mengikuti program sekolah bagi anak-anak, dan program studi banding dari universitas," lanjutnya.
Bahkan, kata dia, sebagian besar mahasiswa hanya off day di hari Minggu.
"Sabtu padat dengan kelas dan kuliah, walau sebagian besar memilih outdoor class," ujarnya. "Apakah di hari Sabtu ada perbedaan materi pelajaran dibanding hari lainnya?" tanya saya. "Tentu, dosen di sini sangat peduli akan hal itu. Banyak hal yang dipermudah dan disesuaikan dengan aspirasi mahasiswa, kebanyakan dosen sangat demokratis, namun tetap disiplin terhadap aturan yang berlaku secara umum," terangnya.
Kami masih terus melaju melewati pusat kota. Di depan kami, mobil John juga melaju kencang. John membawa dua teman saya dari Indonesia, Herman Lengam dari Radio Manokwari, Papua dan Frans Angal dari Flores Post.
Sebelumnya, di perjalanan sebelum tiba di pusat kota, mobil kami sempat terhenti. Sejumlah polisi berseragam biru tampak berdiri di badan jalan. Beberapa orang berseragam coklat tampak sedang mengangkat tubuh, tepatnya (maaf, bangkai) binatang dari sana. Kasihan, tampaknya tergilas kendaraan besar.
"Apa itu Alex, apa itu anjing?," tanyaku. Ia tampak berpikir sejenak, berhenti dan melongokkan kepala. "I dont know exactly, its like a kangaroos," katanya setengah yakin. Sebab melihat bentuk yang sudah tidak beraturan itu, sosok berbulu abu-abu dan besar ini tidak terlihat begitu jelas. Namun satu ekor panjang menjuntai begitu tandu diangkat. Aku yakin, itu kangguru.
Ia mencoba menjelaskan bahwa terkadang ada beberapa kangguru yang melintasi jalan pinggir Kota Melbourne. "How it can be here?" tanyaku penasaran. Kata Alex, masih ada populasi kangguru yang hidup secara alami di sebagian kecil hutan di Australia. Mereka mampu melintasi negara dan bertahan hidup cukup lama. Namun, ada beberapa kangguru yang tersasar dari kelompoknya, melintasi jalan raya dan tertabrak kendaraan besar.
"Kangguru dinilai berbahaya oleh sebagian orang, karena kakinya yang panjang dapat menjangkau jarak sekian meter bila menendang," terang Alex. Terlebih bila jalanan sepi, apabila kangguru melintas, pengendara melarikan kendaraannya dengan sedikit kencang, karena ketakutan. Tak jarang terjadi katanya, kangguru yang melintas tertabrak mobil besar atau truk.
"How poor they are," kataku prihatin. "How about koala,Alex?," tanyaku. "Oooh, its a nice and sweet one," katanya. Alex mengaku jatuh cinta pada sosok koala yang kata dia terkadang bisa ditemui di taman-taman kota dan di kebun binatang di Melbourne. "Di kebun binatang, mereka hidup bersama lebih dari 300 jenis spesies liar di sana," terangnya.
Pukul 09.00 am. Kami tiba di Amees Street Carlton North nomor 90, Victoria. Rumah John dan juga Kantor APJC. Bangunan rumah hunian pribadi di sini tidak begitu besar dan tinggi seperti rumah di Pontianak. Kalaupun bertingkat, desain dan halaman dibuat sangat minimalis. Bangunan besar hanya untuk apartemen dan toko.
John memiliki taman di belakang rumahnya. Banyak tanaman tropis di sana, seperti pakis, nanas dan sedikit kaktus. Karena pernah ke Jakarta beberapa lama, John agak fasih berbahasa Indonesia. Kami minum teh dan sarapan dengan roti pagi itu. John tampak antusias dan tak sabar bercerita tentang surat kabar di Victoria. Ia menujukkan beberapa eksemplar surat kabar kepada kami. Cerita tentang surat kabar di sini akan ada pada bab selanjutnya. Juga tentang perjalanan ke Kampus Victoria di Sunbury, perjalanan satu jam dari Melbourne. Kalau dunia tidak kiamat (mengutip ungkapan yang sering dilontarkan Bung Nur Is) dan internet tidak macet tentunya. (www.safitrirayuni.blogspot.com)
Monday, September 10, 2007
Hari Minggu yang Hening dan Kangguru yang Malang
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment