Monday, September 24, 2007

Semalam Bersama Muslim Indonesia di Melbourne


Syahdunya Buka Puasa dan Tarawih di Negeri Orang

Safitri Rayuni
Borneo Tribune, Melbourne


Suasana haru dan bahagia terpancar jelas pada hari itu. Bagaimana tidak, jauh dari sanak family di tanah air, menjadikan suasana berkumpul dengan saudara se-tanah air di bulan ramadhan menjadi lebih bermakna. Setidaknya juga bagi muslim Indonesia di Melbourne.

Ditambah menu-menu berbuka yang sangat Indonesia, membawa kenangan tersendiri akan kampung halaman. Setelah lebih satu minggu berpuasa, Sabtu (22/9) itu komunitas muslim Indonesia di Melbourne, khususnya di Monash University menggelar buka puasa perdana. Buka puasa ini juga dihadiri sejumlah pejabat dari Konjen RI di Melbourne.

Biasanya masjid Westall (masjid yang dibangun sendiri oleh orang-orang Indonesia-ed), ini menyediakan menu berbuka puasa setiap hari. “Tetapi karena kesibukan masing-masing, buka puasa tidak seramai hari Sabtu ini, sehingga harus dibagi menjadi dua tempat,” kata Dosen Interbiology di Monash, Dr Mulyoto Pangestu, peraih Gold Award Biology (Young Invent Awards) di Australia. Pak Mul (panggilan akrabnya) inilah yang membawa saya ke dua tempat sekaligus pada hari itu.
Di mana salah satu rumah di komplek Monash University, dijadikan tempat berbuka puasa bagi para dosen dan mahasiswa. Sedangkan tak jauh dari sana, Masjid Westall, dijadikan tempat berbuka bagi para ibu-ibu dan remaja dilanjutkan dengan tarawih bersama.

Pukul 18.15, setelah mengantar Ibu Lis dan Galih, istri dan anak Pak Mul ke Masjid Westall, kami tiba di tempat kedua. Puluhan mahasiswa dan dosen tumpah ruah di sana, hingga ke teras depan dan teras belakang rumah. Usai menyantap hidangan ringan, ada sirop lemon, es kopyor, dan kue-kue kering di teras depan, satu-persatu mengantre wudhu dan shalat magrib berjamaah.

Karena sangat padat, shalat dilakukan berjamaah dan dibagi dalam empat putaran, di ruang tamu dan ruang tengah. Usai shalat, masing-masing menyerbu teras belakang untuk menikmati hidangan nasi dengan menu khas Indonesia. Lengkap dengan canda tawa khas anak muda. Semua bergembira. Terlebih menu yang disajikan seperti menu rumahan, ada tempe, tahu, sambal udang, rendang, bakso, juga ada mie ayam, yang jadi menu favorite sore itu.

Saat makan, berbagai kisah terlontar. Kebetulan saya bertemu dengan Daru Sanjaya, mantan wartawan senior di Bisnis Indonesia. Daru saat ini sedang mengambil program doktoral untuk media dan komunikasi di Monash University. Kami ngobrol banyak, terutama soal media dan berita. Ia menyarankan saya bersekolah di sini. “Tidak banyak jurnalis yang sekolah lagi dik, bisa dihitung dengan jari, pensiun cari berita sebentar nggak apa-apa to, kayak saya,” selorohnya sambil tertawa.

Saya juga bertemu dengan Zakiyah Hasan dari Pontianak. Saat ini ia sedang mengambil program doktoral di bidang Human Society. Zakiyah sangat senang ketika mendengar saya berasal dari Pontianak. Ia juga menawarkan untuk ikut ke Festival Tulip bersama-sama rombongan mahasiswa keesokan harinya.

Orang Pontianak lain yang saya temui adalah dosen FKIP yang sedang mengambil Phd di Monash, yakni Pak Uray Salam dan Ibu Nurul, istrinya, beserta tiga anak mereka. Kami bertemu di Masjid Westall usai shalat tarawih. Cerita pun mengalir lancar, apalagi kalau bukan soal situasi Pontianak saat ini.

Kebanyakan yang saya temui adalah student alias mahasiswa, baik S2 maupun S3. Ada yang baru masuk semester pertama, seperti Ningrum dari UPN, bahkan ada yang tinggal menunggu wisuda pada Desember nanti, dan sudah bisa kembali ke Indonesia pada Oktober mendatang.

Bagi mahasiswa perempuan yang sudah menikah, dan kebetulan mendapat beasiswa doctoral ataupun pasca sarjana, kebanyakan membawa serta suami mereka ke Melbourne. Ada pula yang suaminya bekerja di Jawa Pos dan ikut serta, sehingga menjadi koresponden JP di Melbourne. Ada juga yang pengusaha batik di Jogja dan mencari pekerjaan di Melbourne, seperti menjadi labor (buruh) atau pekerjaan part time sejenis.

“Gaji mereka sebagai buruh di sini cukup besar, tiga minggu bekerja bisa mendapat puluhan ribu dollar (bisa buat beli rumah tipe 45 di Indonesia-ed). Walau sayangnya mentalitas orang Indonesia tidak begitu kuat dengan model pekerjaan seperti ini, biasanya karena gengsi,” kata Pak Mul menerangkan.

Pak Mul yang sudah sepuluh tahun tinggal di Melbourne mengaku ia belajar banyak dari sikap mental egaliter orang Australia. “Di sini anak-anak yang bapaknya sopir truk tidak malu menjawab apa pekerjaan bapak mereka dengan suara lantang di kelas. Ini karena apapun pekerjaan seseorang, respek dan hormat terhadap orang tersebut sama, ini yang dinamakan egaliter yang bukan hanya sebatas wacana,” katanya.

Pak Mul sudah seperti bapak kandung bagi siswa-siswa di sini. Banyak persoalan luar dalam mahasiswa yang ia tahu. Karena kepada dosen yang mengajar para trainer untuk klinik bayi tabung ini lah kebanyakan mereka mengadu. Tak saja menampung dan mendengarkan keluhan, Pak Mul juga memberi solusi, seperti menawarkan pekerjaan part time bagi siswa-siswanya, atau bagi suami-suami mereka.

Di rumah ayah satu putera ini lah malam itu saya menginap dan sahur bersama. Keluarga Pak Mul sangat baik dan ramah. Kepada saya mereka bercerita bahwa dulu pernah satu rumah dengan dosen saya di Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Dr Gusti Zakaria MEs, yang saat ini tengah menjalankan riset di Taiwan. Informasi tentang Masjid Westall juga saya dapat dari Pak Gusti melalui emailnya lima hari lalu. Kontak dengan Pak Mul saya dapatkan dari Sri Dean, penyiar radio SBS untuk program Bahasa Indonesia di Australia. (habis)





No comments: