Wednesday, September 19, 2007

Professional Visits para ALA Fellow di Australia-1

Makan Siang Bersama Anggota Parlemen Victoria

Safitri Rayuni
Borneo Tribune, Melbourne


Setelah melakukan workshop Personal Development selama satu minggu di Kota Sunburry, para Australian Leaderships Awards (ALA) Fellow untuk Economic Reporting Affairs kembali ke apartemen Quest di Lygon Street, Carlton, Melbourne. Selama dua minggu di Carlton, APJC menyediakan satu minggu (17-22 September) untuk program professional visits ke berbagai lembaga.

Kunjungan hari pertama adalah ke Harian The Age dan Dewan Perwakilan Rakyat atau Parlemen Victoria. Gedung kuno ini terletak di Spring Street 157, Melbourne. Anak tangga gedung parlemen ini mungkin jumlahnya mencapai ratusan, cukup membuat lelah ketika sampai di teras gedung.

Rencananya akan ada jamuan makan siang bersama beberapa anggota dewan di sana. Sebelum masuk ke dalam gedung, layaknya di bandara, kami harus di-scan terlebih dahulu, termasuk melepaskan berbagai atribut logam, seperti jam tangan dan ikat pinggang, sebelum melewati pintu scanning.
Setelah lolos, kami diberi tag paper V berwarna merah (warna hijau untuk pengunjung wisata dan warna merah untuk tamu parlemen). Sebelum masuk ke pintu utama, kami diberi pengarahan. Meski bebas diakses publik, di dalam gedung ini kami tidak diperkenankan untuk memotret atau merekam pembicaraan menggunakan recorder, tanpa seizin kepala ruangan.
Naik ke lantai 2, kami disambut sejumlah anggota parlemen dari berbagai partai. Mereka telah menunggu kami lengkap dengan satu set meja makan bundar yang besar, lengkap dengan peralatan makan dan minum.
Bob Stensholt, anggota parlemen untuk Burwood dan beberapa lainnya segera mengajak kami duduk. Makan siang dimulai, diselingi perbincangan dan lainnya. Sebagian besar jurnalis di ALA Fellow menggunakan kesempatan ini untuk sedikit wawancara secara informal.
Duduk di samping saya, Kim Wells, anggota parlemen untuk Scoresby. Kepada saya Kim mengaku pernah ke Gunung Kinabalu dan beberapa kota di Sumatera. Dengan antusias ia membuat beberapa peta pulau-pulau Indonesia di belakang kartu namanya. Setelah bercerita tentang Indonesia, giliran saya bertanya padanya tentang Victoria.
Secara umum kata Kim di Victoria, dengan populasi masyarakat sekitar 4,6 juta jiwa, memerlukan 38 ribu suara untuk bisa duduk di parlemen. “Di parlemen ini ada 88 kursi, dan Victoria memerlukan suara terbanyak dibanding negara bagian yang lain,” katanya.
Dikatakannya sebelumnya ada 6 negara bagian di Australia, Victoria salah satunya. “Kini ada 8 negara bagian, dan sejak 1901 semua negara-negara bagian ini berkomitmen untuk bersatu dengan Australia, diantaranya seperti Australian Capital Territory Canberra, Sydney, Tasmania, NewSouth Wales, ” katanya.
Negara-negara ini tergabung dalam Australia, namun mereka kata Kim diperbolehkan dan punya hak untuk berpisah dari negara Australia. “Dalam sejarah pernah satu kali terjadi, salah satu negara bagian barat Australia, mengancam untuk berpisah dari Australia dan bergabung ke New Zealand karena merasa tidak terima atas perlakuan tidak adil dari pemerintahan Australia. Dan ini baru pertama terjadi,” urainya.
Sementara Bob Stensholt mengatakan pada 25 nopember 2006 lalu parlemen ini memperingati ulang tahunnya yang ke-150. Undang-undang Konstitusi Victoria diproklamasikan pada 23 November 1855. “Hanya berselang sepuluh bulan kemudian, dua majelis dari parlemen berdiri di Jalan Spring ini, pemilihan berlangsung baik dan para anggota menjalani sumpah,” katanya.
Pada 25 november 1856 DPR baru Victoria terbuka kembali.
Momentum ini kata Bob adalah peluang besar bagi semua warga Victoria untuk memberikan warna bagi sejarah di parlemennya.
Ada banyak partai yang masuk, diantaranya Partai Labor, Partai Liberal, Greens dan Partai National. “Ini adalah wujud cita-cita masyarakat untuk melanjutkan bentuk demokrasi di Victoria yang baru terwujud sejak 1856,” ujarnya. Usai makan siang, kami diajak berkeliling. Tidak semua anggota parlemen turut serta. Kami hanya dipandu Hon Robert Smith, Ketua Dewan Legislatif. Ia menjelaskan tentang beberapa ruangan di sini.
Menariknya, saat kami berkeliling gedung, banyak pelajar yang juga sedang melihat-lihat gedung ini, dipandu oleh guru atau guide mereka. Parlemen ini ternyata juga membuka diri untuk tujuan wisata sejarah bagi publik.
Para pelajar dan masyarakat umum boleh mengunjungi gedung ini untuk masuk dan melihat-lihat cerita dan sejarah di dalamnya. Gedung ini boleh dikunjungi setiap pukul 10 – 11 siang, atau pada pukul 02.00 hingga 03.45 sore hari.
Kami masuk ke majelis atau ruang sidang hijau. Kamera lagi-lagi tidak diperbolehkan di sini. Ada foto ketua ruangan yang memegang gada emas sebesar lengan. “Pada zaman dahulu gada ini digunakan untuk memperingatkan para anggota sidang bila mereka terlalu berisik,” jelas Hon.
Gada dipukulkan ke benda semacam gong besar agar peserta sidang lebih tenang. “Gada ini simbol kekuasaan dan kebesaran pemimpin sidang,” katanya.
Di ruang sidang ini lah para anggota parlemen berdebat merumuskan kebijakan. “Ratu tidak boleh masuk ke dalam ruangan ini,” katanya. Di ruang sidang yang besar dan memuat seluruh anggota parlemen ini, terdapat satu kursi untuk ketua, satu kursi untuk kepala ruangan, satu kursi untuk pemandu jalannya sidang (protokoler).
Di tengah-tengah terdapat berbagai buku semacam kitab peraturan undang-undang milik negara. “Ruangan ini boleh memuat semua anggota parlemen dari berbagai kalangan, mulai grass root hingga kalangan dari sistem di british parlemen. Jika perdebatan di ruangan ini selesai, hasilnya masih akan didebatkan lagi ke ruangan sidang merah,” terangnya.
Di ruang sidang merah, hasil dari sidang sebelumnya boleh ditolak atau direkomendasikan untuk beberapa item penambahan. Di ruangan ini ratu (Queens Elizabeth) diperbolehkan untuk masuk.
“Di bawah ruangan ini juga ada penjara bagi para anggota sidang yang membuat gaduh,” kata Hon. Siapapun yang bersalah, kepala ruangan boleh membawa orang tersebut ke penjara bawah untuk dihukum dalam batas waktu tertentu.
Saat ini Hon lah bertanggungjawab dan berwenang untuk melakukan itu. “Sejauh ini sudah beberapa orang yang ditertibkan di sana,” ujarnya.
Gedung ini memiliki security yang sangat kuat. “Jurnalis yang bersikap salah dalam ruang sidang semisal menghina persidangan ini juga bias didenda dan diambil untuk masuk penjara,” lanjutnya.
Ruang ke tiga dan terakhir yang kami kunjungi adalah perpustakaan parlemen. Hampir 80 persen buku-buku di sini adalah buku politik. Ruangan dengan arsitektur klasik ini ditunjang dengan sistem komputerisasi di empat penjuru. Di tengah ada semacam meja baca bagi para anggota perlemen.
“Kami berusaha menyediakan segala jenis buku di sini, meski kebanyakan adalah buku politik. Jika buku yang dicari para anggota parlemen tidak ada, kami akan segera memesannya dan mendapatkannya dalam beberapa hari,” ujarnya.
Perpustakaan parlemen sudah berdiri sejak 14 November 1851. perpustakaan ini didirikan oleh dewan legislative yang pertama. Konstruksi bangunan pertama dibangun pada tahun 1858-1860. Perpustakaan ini berlokasi di tengah, di antara dua majelis persidangan, dan menjadi ruang pusat sosial parlemen, terkadang untuk rapat dan tempat berinteraksi sosial bagi para anggota parlemen.
“Ketua dan para anggota parlemen menemui gubernur di perpustakaan ini satu hari setelah mereka mengucapkan sumpah,” jelas Hon. Arsitektur perpustakaan ini dirancang oleh Peter Kerr, ketua komisi perancangan Perpustakaan Parlemen Victoria.
Kerr menghabiskan waktu bertahun-tahun (antara 1848-1852) di ruang kantor Sir Charless Barry, arsitek Gedung Parlemen di bagian barat Inggris.
Desain perpustakaan ini bukan satu-satunya fokus pekerjaan Kerr. Ia juga mengurus tiga ruang utama. Yakni majelis utama, serta dua ruang lain yang lebih kecil yang tergabung di dalam perpustakaan ini.
“Semula ruangan ini didesain untuk para anggota parlemen yang juga ingin merokok sambil membaca buku, tepatnya pada tahun 1861. Namun sejak 1886, larangan merokok di perpustakaan pun diberlakukan,” katanya.
Di dalam ruangan ini terdapat meja utama untuk membaca buku. Meja ini didesain oleh Peter Kerr dan dibuat berdasarkan kombinasi kayu hitam, yang diambil dari Dandenong Ranges, Victoria dan Kayu Cedar.
Perpustakaan ini juga memiliki berbagai koleksi dokumentasi kuno. Diantaranya surat kabar pertama Victoria, yang ditulis tangan oleh John Pascoe Fawkner’s. Ada lebih dari 70 ribu koleksi buku, termasuk buku karir dan fiksi di sini, sehingga para anggota parlemen dapat melakukan relaksasi dengan membaca buku yang beragam di ruang ini, setelah mereka bekerja seharian. “Gedung parlemen sendiri sudah dibangun sejak 150 tahun lalu dengan arsitektur yang kokoh dan bagus. Pemerintah menghabiskan banyak uang untuk gedung ini,” pungkas Hon. □

No comments: