Monday, September 24, 2007

Semalam Bersama Muslim Indonesia di Melbourne


Syahdunya Buka Puasa dan Tarawih di Negeri Orang

Safitri Rayuni
Borneo Tribune, Melbourne


Suasana haru dan bahagia terpancar jelas pada hari itu. Bagaimana tidak, jauh dari sanak family di tanah air, menjadikan suasana berkumpul dengan saudara se-tanah air di bulan ramadhan menjadi lebih bermakna. Setidaknya juga bagi muslim Indonesia di Melbourne.

Ditambah menu-menu berbuka yang sangat Indonesia, membawa kenangan tersendiri akan kampung halaman. Setelah lebih satu minggu berpuasa, Sabtu (22/9) itu komunitas muslim Indonesia di Melbourne, khususnya di Monash University menggelar buka puasa perdana. Buka puasa ini juga dihadiri sejumlah pejabat dari Konjen RI di Melbourne.

Biasanya masjid Westall (masjid yang dibangun sendiri oleh orang-orang Indonesia-ed), ini menyediakan menu berbuka puasa setiap hari. “Tetapi karena kesibukan masing-masing, buka puasa tidak seramai hari Sabtu ini, sehingga harus dibagi menjadi dua tempat,” kata Dosen Interbiology di Monash, Dr Mulyoto Pangestu, peraih Gold Award Biology (Young Invent Awards) di Australia. Pak Mul (panggilan akrabnya) inilah yang membawa saya ke dua tempat sekaligus pada hari itu.
Di mana salah satu rumah di komplek Monash University, dijadikan tempat berbuka puasa bagi para dosen dan mahasiswa. Sedangkan tak jauh dari sana, Masjid Westall, dijadikan tempat berbuka bagi para ibu-ibu dan remaja dilanjutkan dengan tarawih bersama.

Pukul 18.15, setelah mengantar Ibu Lis dan Galih, istri dan anak Pak Mul ke Masjid Westall, kami tiba di tempat kedua. Puluhan mahasiswa dan dosen tumpah ruah di sana, hingga ke teras depan dan teras belakang rumah. Usai menyantap hidangan ringan, ada sirop lemon, es kopyor, dan kue-kue kering di teras depan, satu-persatu mengantre wudhu dan shalat magrib berjamaah.

Karena sangat padat, shalat dilakukan berjamaah dan dibagi dalam empat putaran, di ruang tamu dan ruang tengah. Usai shalat, masing-masing menyerbu teras belakang untuk menikmati hidangan nasi dengan menu khas Indonesia. Lengkap dengan canda tawa khas anak muda. Semua bergembira. Terlebih menu yang disajikan seperti menu rumahan, ada tempe, tahu, sambal udang, rendang, bakso, juga ada mie ayam, yang jadi menu favorite sore itu.

Saat makan, berbagai kisah terlontar. Kebetulan saya bertemu dengan Daru Sanjaya, mantan wartawan senior di Bisnis Indonesia. Daru saat ini sedang mengambil program doktoral untuk media dan komunikasi di Monash University. Kami ngobrol banyak, terutama soal media dan berita. Ia menyarankan saya bersekolah di sini. “Tidak banyak jurnalis yang sekolah lagi dik, bisa dihitung dengan jari, pensiun cari berita sebentar nggak apa-apa to, kayak saya,” selorohnya sambil tertawa.

Saya juga bertemu dengan Zakiyah Hasan dari Pontianak. Saat ini ia sedang mengambil program doktoral di bidang Human Society. Zakiyah sangat senang ketika mendengar saya berasal dari Pontianak. Ia juga menawarkan untuk ikut ke Festival Tulip bersama-sama rombongan mahasiswa keesokan harinya.

Orang Pontianak lain yang saya temui adalah dosen FKIP yang sedang mengambil Phd di Monash, yakni Pak Uray Salam dan Ibu Nurul, istrinya, beserta tiga anak mereka. Kami bertemu di Masjid Westall usai shalat tarawih. Cerita pun mengalir lancar, apalagi kalau bukan soal situasi Pontianak saat ini.

Kebanyakan yang saya temui adalah student alias mahasiswa, baik S2 maupun S3. Ada yang baru masuk semester pertama, seperti Ningrum dari UPN, bahkan ada yang tinggal menunggu wisuda pada Desember nanti, dan sudah bisa kembali ke Indonesia pada Oktober mendatang.

Bagi mahasiswa perempuan yang sudah menikah, dan kebetulan mendapat beasiswa doctoral ataupun pasca sarjana, kebanyakan membawa serta suami mereka ke Melbourne. Ada pula yang suaminya bekerja di Jawa Pos dan ikut serta, sehingga menjadi koresponden JP di Melbourne. Ada juga yang pengusaha batik di Jogja dan mencari pekerjaan di Melbourne, seperti menjadi labor (buruh) atau pekerjaan part time sejenis.

“Gaji mereka sebagai buruh di sini cukup besar, tiga minggu bekerja bisa mendapat puluhan ribu dollar (bisa buat beli rumah tipe 45 di Indonesia-ed). Walau sayangnya mentalitas orang Indonesia tidak begitu kuat dengan model pekerjaan seperti ini, biasanya karena gengsi,” kata Pak Mul menerangkan.

Pak Mul yang sudah sepuluh tahun tinggal di Melbourne mengaku ia belajar banyak dari sikap mental egaliter orang Australia. “Di sini anak-anak yang bapaknya sopir truk tidak malu menjawab apa pekerjaan bapak mereka dengan suara lantang di kelas. Ini karena apapun pekerjaan seseorang, respek dan hormat terhadap orang tersebut sama, ini yang dinamakan egaliter yang bukan hanya sebatas wacana,” katanya.

Pak Mul sudah seperti bapak kandung bagi siswa-siswa di sini. Banyak persoalan luar dalam mahasiswa yang ia tahu. Karena kepada dosen yang mengajar para trainer untuk klinik bayi tabung ini lah kebanyakan mereka mengadu. Tak saja menampung dan mendengarkan keluhan, Pak Mul juga memberi solusi, seperti menawarkan pekerjaan part time bagi siswa-siswanya, atau bagi suami-suami mereka.

Di rumah ayah satu putera ini lah malam itu saya menginap dan sahur bersama. Keluarga Pak Mul sangat baik dan ramah. Kepada saya mereka bercerita bahwa dulu pernah satu rumah dengan dosen saya di Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Dr Gusti Zakaria MEs, yang saat ini tengah menjalankan riset di Taiwan. Informasi tentang Masjid Westall juga saya dapat dari Pak Gusti melalui emailnya lima hari lalu. Kontak dengan Pak Mul saya dapatkan dari Sri Dean, penyiar radio SBS untuk program Bahasa Indonesia di Australia. (habis)





Read More..

Thursday, September 20, 2007

Professional Visits para ALA Fellow di Australia-5

Radio SBS, Dua Jurnalis Kuasai 15 Bahasa

Safitri Rayuni
Borneo Tribune, Melbourne

Setelah melakukan workshop Personal Development selama satu minggu di Kota Sunburry, para Australian Leaderships Awards (ALA) Fellow untuk Economic Reporting Affairs kembali ke apartemen Quest di Lygon Street, Carlton, Melbourne. Selama dua minggu di Carlton, Asia Pasific Journalism Centre (APJC) menyediakan satu minggu (17-22 September) untuk program professional visits ke berbagai lembaga.

Studio radio dan TV Internasional Special Broadcasting Service (SBS) di Melbourne Victoria yang kami kunjungi ini besarnya sama dengan SBS di Sydney. Gedung dengan empat lantai ini memiliki enam studio. Tak jauh dari SBS, terdapat gedung radio dan TV ABC Australia, yang juga akan kami kunjungi.

Pertama tiba di halaman gedung, monitor besar di dinding yang tinggi akan menyambut kita di gedung ini. Banyak warga Melbourne menghabiskan sore hari di halaman gedung yang terbuka untuk publik ini, mereka duduk untuk menyaksikan tayangan di monitor atau hanya sekadar mengobrol atau bertemu teman dan lainnya.
Di lantai 2, kami diajak masuk ke studio 6 dan melihat bagaimana berita diakses dari berbagai penjuru dunia. Bagaimana berita itu diedit untuk langsung disiarkan dan sebagainya, termasuk bagaimana menggunakan perangkat-perangkat canggih di sana.
“Kampanye informasi, direkam di computer, retail advertising, 34 simultan instrument,” kata seorang teknisi. SBS menghabiskan 250 dollar AUD untuk membeli satu kaset perekam yang besar setiap harinya. “Dengan kualitas kaset yang berbeda dan suara yang jernih, itulah keunggulan SBS disbanding yang lainnya,” katanya.
Ada 6 frekuensi analog saat ini, dan jika dibagi legi di 10 tempat maka dikhawatirkan dapat menurunkan kualitas atau mutu siaran SBS, “Karena itu saat ini SBS sedang ada eksperimen untuk memperbaiki hal tersebut,” ujarnya.
Siaran radio dan TV SBS disiarkan dalam 68 bahasa. Lazimnya setiap dua jurnalis harus menguasai 15 bahasa. Pertanyaannya, bagaimana SBS menemukan orang dengan talenta seperti ini?
Bella Kusumah Kasim, Executive Producer untuk Program Bahasa Indonesia mengatakan kebanyakan para jurnalis itu datang sendiri ke SBS untuk bekerja di sana. Setiap jurnalis dibayar berdasarkan kemampuan reportase dan bahasa yang ia kuasai. “SBS juga memiliki banyak koresponden di berbagai negara,” katanya.
SBS menyiarkan berbagai berita, termasuk dua berita yang dianggap terpenting di Australia, yakni Sport dan Bisnis. “Hampir semua warga Ausi tertarik dengan olah raga dan bisnis,” kata Bela. Usia SBS saat ini dikatakannya sudah memasuki 30 tahun, dan dari riset yang dilakukan SBS, sebanyak 23 persen dari penduduk Australia mempercayakan SBS sebagai saluran berita mereka.
Dalam peringatan 30 tahun radio SBS belum lama ini, Perdana Menteri John Howard mengatakan SBS sangat berperan dalam mempromosikan Australia di mata dunia. “Australia memiliki banyak keunikan yang ingin diketahui dunia internasional, sebagai seorang Australia, kita juga telah berkomitmen untuk selalu mengedepankan toleransi, kejujuran, dan kebanggaan terhadap tradisi demokrasi kita,” katanya.
Pemimpin SBS, Carla Zampatti mengatakan, kurun waktu 30 tahun adalah waktu yang tidak singkat untuk mengembangkan sebuah organisasi. “Kita sudah semestinya bangga terhadap kontribusi yang diberikan SBS radio untuk kebangsaan Australia dalam mewujudkan persatuan dalam berbagai perbedaan yang ada,” katanya.
Sebagai orang Indonesia yang lama hidup di Australia, Bela Kusumah mengaku sudah 20 tahun bekerja untuk SBS. Mulai menjadi koresponden untuk SBS di Indonesia, ia merintis karir hingga dipanggil ke SBS Melbourne. Pria perpaduan Sunda dan Batak ini mengaku betah bekerja di SBS karena terdiri dari banyak kebudayaan. “Sangat menarik di sini adalah iklim kerja yang multi kultur,” katanya memperkenalkan sejumlah rekan dari Indonesia, Jerman dan Portugal.
Dari Indonesia ada Sri Dean, yang bertugas mengedit dan menyiarkan berita dalam bahasa Indonesia. Sri dan Bela sangat ramah. Mereka berjanji menelpon kami yang dari Indonesia untuk berbuka puasa dan berlebaran bersama dengannya. Sayangnya saat lebaran nanti mungkin kami sudah berada di Sydney. □

Read More..

Professional Visits para ALA Fellow di Australia-4

Bagaimana ANZ Bank Memprediksi Situasi Ekonomi Australia?

Safitri Rayuni
Borneo Tribune, Melbourne

Setelah melakukan workshop Personal Development selama satu minggu di Kota Sunburry, para Australian Leaderships Awards (ALA) Fellow untuk Economic Reporting Affairs kembali ke apartemen Quest di Lygon Street, Carlton, Melbourne. Selama dua minggu di Carlton, Asia Pasific Journalism Centre (APJC) menyediakan satu minggu (17-22 September) untuk program professional visits ke berbagai lembaga.

Jika sebelumnya kami diperbolehkan ikut duduk mendengarkan rapat perencanaan Harian The Age, kali ini kami boleh ikut duduk dalam rapat pimpinan divisi di Bank Internasional, Australia and New Zealand (ANZ) Banking.



Di dalam rapat itu, ada sejumlah ahli di sana, mereka duduk menghadap satu meja besar yang tersambung dengan line telepon ke AS. Tidak boleh ada kamera dan recorder di ruangan ini, namun berbagai hasil prediksi boleh kami akses dan tulis di media, sesuai dengan hasil prediksi para ahli di dalam rapat ini.
Rapat ini penting, karena hasil prediksi mengenai investasi, pengangguran dan lainnya akan mempengaruhi kepercayaan nasabah ANZ untuk menyimpan atau menarik kembali uangnya. Apabila prediksi para ahli ini terbukti salah, maka orang akan beramai-ramai menarik investasinya. ANZ tak hanya mengelola investasi dalam skala besar, namun juga investasi bagi pelaku usaha kecil. Bank ini mempunyai motto ‘Anda mengelola bisnis, kami mengelola risiko’.
Kami dibawa masuk oleh Senior Economist ANZ, Cherelle Murphy, yang wajahnya tak asing lagi, karena sering tampil di Stasiun TV SBS maupun ABC Australia. Setiap jam 11 siang setiap harinya, Cherelle tampil secara langsung dari ANZ untuk melaporkan kondisi keuangan makro terkini di Australia.
Para ahli ini juga dari berbagai negara, namun telah memiliki kewarganegaraan Australia. Diantaranya Ricky Jackson, ekonom perempuan dari Prancis, ada Jannet, periset dari Inggris, ada Nicolle dari Jerman yang pernah bertugas untuk ANZ di Jakarta dan Mark, senior economist di ANZ. Meja kerja Mark tak jauh dari meja Cherelle, berhadapan dengan studio mini atau tepatnya kamera siaran langsung Cherelle setiap harinya.
Dalam catatan saya, ada empat persoalan yang menjadi bahasan utama mereka selain kurs dolar Australia dalam posisi dunia. Yakni emas, besi, krisis air dan pertanian, serta harga minyak dunia, yang mempengaruhi stabilitas ekonomi di Australia.
Tidak semua peserta rapat kami tahu namanya. Namun pendapat mereka banyak menjadi catatan khusus kami tentang situasi ekonomi di Australia. Ada yang mengatakan, dari grafik kurs dollar Australia hari itu, dollar Australia tidak memberikan pengaruh banyak terhadap dunia. Sebaliknya, dunia memberikan pengaruh besar terhadap mata uang ini.
“Bisa dilihat dari grafik yang naik dan turun secara tajam dari AUD (Australia Dollar-ed), dibanding negara-negara eropa dan amerika. Ini menandakan ketidakstabilan,” katanya. Ia juga memprediksi bahwa dollar Amerika akan turun pada penghujung tahun ini.
Ada pula yang berpendapat bahwa naiknya harga emas tidak mempengaruhi situasi ekonomi di Australia, juga krisis perumahan di AS. “Dollar Australia tidak terpengaruh akan naiknya harga emas, juga krisis perumahan di AS. Krisis perumahan hanya akan berpengaruh bagi para developer baru yang akan berinvestasi,” katanya.
Sedangkan Mark berpendapat, apabila para pelaku bisnis mau berinvestasi saat ini, sebaiknya jangan berinvestasi di sektor emas. “Besi mungkin lebih baik, sebab harga besi akan terus merangkak naik sepanjang tahun ini,” katanya.
Sedangkan Nicolle berpendapat bahwa pemerintah Australia telah melakukan kesalahan besar dengan menandatangani kontrak di bidang pemasaran hasil pertanian terhadap negara-negara luar selama lima tahun. “Lima tahun terlalu lama, terlebih saat ini pertanian kita mengalami krisis air karena sudah dua bulan terakhir Australia tidak diguyur hujan,” katanya. Pendapat lain mengatakan, harga minyak dunia yang tinggi lebih disebabkan karena krisis perumahan yang terjadi di AS. Selebihnya tidak terlalu dipengaruhi oleh sistem perdagangan yang diterapkan negara-negara berkembang. Sepanjang rapat, sesekali terjadi pembicaraan via telepon dengan orang-orang Australia di AS.
Dari ruang rapat, kami melanjutkan perjalanan menuju ruang kerja para karyawan ANZ. Kebanyakan mereka berpakaian casual alias santai. Meski demikian, suasana amat serius dan tegang. “Kalian lihat, suasana mencekam di sini. Ini pertanda sesuatu yang sulit sedang terjadi, saya tidak tahu mengapa, tetapi pasti ada kaitannya dengan posisi dollar Australia,” terang Cherelle.
“Dulu, jika sepulang kantor ada sesuatu ketegangan terjadi, para karyawan memotong dasi mereka, dan menggantungkannya di sini,tapi sekarang tidak lagi,” kata Cherelle menunjuk kotak kaca berisi banyak dasi dan scraf wanita. “Hal yang sama juga terjadi apabila prediksi keuangan yang mereka berikan kepada nasabah salah besar,” pungkasnya sambil berlalu permisi, kemudian menyalakan kamera yang menghadap dirinya. Tak lama, wajah Cherelle muncul di layer TV SBS melaporkan situasi keuangan saat ini, dengan latar belakang ANZ Bank. □

Read More..

Professional Visits para ALA Fellow di Australia-3

The Age Serius Mengelola Media Online

Safitri Rayuni
Borneo Tribune, Melbourne

Setelah melakukan workshop Personal Development selama satu minggu di Kota Sunburry, para Australian Leaderships Awards (ALA) Fellow untuk Economic Reporting Affairs kembali ke apartemen Quest di Lygon Street, Carlton, Melbourne. Selama dua minggu di Carlton, Asia Pasific Journalism Centre (APJC) menyediakan satu minggu (17-22 September) untuk program professional visits ke berbagai lembaga.

Dalam kunjungan ke The Age, kami tidak hanya menyaksikan rapat perencanaan mereka, namun mengintip dapur media online milik harian yang berdiri sejak 1854 ini. Simon Johanson, editor The Age Online, bersedia membagi ceritanya dengan kami.
Secara manajemen, The Age adalah koran yang memiliki satu induk perusahaan dengan The Sydney Morning Herald.

Redaktur Pelaksana The Age mengatakan ibarat tenda yang talinya satu, seperti itulah dulu The Age. Tidak begitu kuat. “Tetapi kini tenda The Age telah memiliki dua tali, orang bisa mengakses berita The Age di mana-mana di seluruh penjuru Australia, terlebih setelah The Age menerbitkan edisi online,” katanya.
Pengelolaan media online atau media internet digarap seserius mungkin seperti edisi cetak. “Kami tidak pernah mau membeli stasiun TV, sebab saat ini kemudahan mengakses berita menjelma via internet. Sehingga lebih baik masuk ke dunia internet daripada stasiun TV,” katanya.
Meski diakses gratis oleh para netter, media online bukannya tidak menjanjikan. Pendapatan iklan dari media online ini menurut Simon Johanson, terbilang cukup besar. “Sesuatu yang sifatnya gratis seperti ini tidak selalu membahayakan organisasi, media online buktinya,” kata Simon.
Media online The Age memiliki 26 jurnalis. “Yang paling penting untuk online adalah breaking news, karena respon pembaca sangat cepat. Mereka akan langsung klik dan bisa memberikan feedback tentang berita apa dan macam apa yang mereka mau via online,” terang Simon.
Karena itu, hubungan antara para editor dan wartawan online dengan para pembaca medianya sangat erat. Interaksi dilakukan sangat cepat. Saat ini The Age Online memiliki 400 ribu audiens tetap perhari. Angka rata-rata adalah 4,6 juta audiens perbulan se-Australia. “Pembaca tetap The Age Online sama dengan seperempat jumlah penduduk di Victoria,” katanya.
Pemberitaan di media online dibuat agak berbeda dari edisi cetak The Age. Media online cenderung membuat berita-berita pendek dan up to date. Wartawan biasanya mengirim berita tidak dari kantor, bisa melalui telpon, sms atau email dari tempat lain. “Web The Age diperbarui sebanyak 6 kali di pagi hari dan 6 kali di sore hari,” ujarnya.
Setiap hari, para editor dan wartawan mulai bekerja pada pukul 07.00 pagi, dan selesai pada pukul 07.00 malam. Situs The Age dapat diakses di http://www.theage.com.au/. Meja kerja para editor online berada di tengah-tengah ruangan redaksi The Age. Di sekelilingnya ada meja kerja kru redaksi ekonomi, sport, seni, pendidikan dan lainnya. Kami juga diajak masuk ke studio di mana gambar dan suara diedit untuk ditayangkan sebagai sajian audio visual via internet.
Studio ini terpisah satu lantai dari kru redaksi dan hanya ditangani satu orang ahli, yang juga merangkap sebagai pengisi suara atau komentator terhadap suatu peristiwa pada rekaman video tersebut. Benar-benar seorang yang multi talented.
Suasana kerja di studio ini dibuat sedemikian santai. Poster-poster dan foto kreatif ditempel sebagai ilustrasi menarik untuk dilihat. Di dalamnya juga ada tempat tidur, meja makan, kamar mandi dan alat fitness. “Beberapa kawan suka menumpang gym di sini kalau sudah terlalu penat,” katanya.
Sebagai seorang editor yang membawahi 26 jurnalis bersama beberapa asisten editor, diakui Simon tidak mudah.
“Diperlukan kesabaran yang luar biasa, bukan kepintaran manajemen saja, karena itu kami berusaha menciptakan suasana kerja yang enak dan santai, penuh kreatifitas, canda dan tidak terlalu serius,” katanya mengakhiri. □

Read More..

Professional Visits para ALA Fellow di Australia-2

Menyaksikan Rapat Perencanaan Harian The Age

Safitri Rayuni
Borneo Tribune, Melbourne


Setelah melakukan workshop Personal Development selama satu minggu di Kota Sunburry, para Australian Leaderships Awards (ALA) Fellow untuk Economic Reporting Affairs kembali ke apartemen Quest di Lygon Street, Carlton, Melbourne. Selama dua minggu di Carlton, APJC menyediakan satu minggu (17-22 September) untuk program professional visits ke berbagai lembaga.

Senin (17/9) pagi itu jam 09.45 kami sudah duduk di ruang rapat perencanaan Harian The Age. Satu persatu redaktur datang dan duduk di kursi masing-masing. Rapat berlangsung seperti biasa, dan kami duduk di sana menyaksikan bagaimana The Age, koran berbahasa inggris tertua ini merencanakan liputannya.

Sebelum membuat rencana liputan, mereka lebih dulu membicarakan edisi cetak hari itu. Rapat dipimpin redaktur pelaksana. Para editor yang berasal dari berbagai negara, seperti Irlandia, Amerika dan Prancis ini duduk mengelilingi meja dengan rapi.
Ada screen besar di tengah ruangan, juga keyboard di meja rapat untuk memutar beberapa video dan gambar pada edisi Online The Age. HL di online dan di edisi cetak tidak sama. Penyajiannya pun berbeda. Edisi online The Age hari itu mengangkat HL tentang seorang gadis kecil berusia tiga tahun yang sengaja ditinggal sendiri oleh ayahnya di bandara Melbourne. Perbuatan sang ayah terekam dengan jelas oleh kamera CCTV bandara. Rekaman video ini ditayangkan online.
Pada edisi cetak, ada tiga berita mengisi halaman depan. Yakni headline kecelakaan pesawat di Bangkok, Thailand, yang menewaskan 88 jiwa. Dua warga Australia tewas dalam kecelakaan ini, satu lain dan 42 jiwa lainnya tertolong.
Seken HL nya adalah tentang pemilihan perdana menteri baru Australia, yang berjudul ‘Howard Would Lose Seat’. Berita ke tiga di bagian bawah halaman tentang korupsi di tubuh kepolisian yang melibatkan 40 orang pejabat di dalamnya. Berita korupsi di kepolisian ini sempat menjadi HL pada edisi Jumat sebelumnya.
Di dalam rapat itu dilibatkan dua wartawan senior dan dua wartawan liputan investigasi. Untuk kecelakaan pesawat, mereka mengaku belum memperoleh konfirmasi dari pihak perusahaan penerbangan One-Two-Go Airliner, dikarenakan awak penerbangan ini marah-marah akan pertanyaan yang diajukan oleh wartawan.
Sejumlah editor juga dimintai laporan HL di masing-masing halaman pada hari itu. The Age menebitkan tiga sisipan koran berukuran kecil dengan 16 halaman pada hari itu, yakni pendidikan, bisnis, dan olahraga.
Editor halaman opini, juga memberikan laporannya. HL halaman 11 itu berjudul ‘We’re ethical, aren’t we?’ yang ditulis Leon Gettler. “Isu ini menarik dan penting bagi warga Australia, karena persoalan etika menjadi persoalan serius yang dibahas berbagai kalangan,” kata si editor.
Sementara halaman bisnis hari itu ditangani oleh editor sementara (plt), karena editor aslinya sedang mengambil cuti tahunan. Halaman ini mengangkat tentang bidang infrastruktur yang membutuhkan 8 miliar AUD untuk menyamai asset milik Negara-negara maju Eropa.
Halaman 3 koran ini juga mengangkat tentang Sungai Yarra yang tercemar limbah racun berbahaya pada musim panas tahun ini, dengan narasumber Professor Hart. Banyak hal yang mereka bahas dalam rapat ini. Banyak isu dan wacana terlontar yang tidak semuanya dimengerti dengan jelas oleh para ALA fellow, sebab beberapa persoalan dibahas tidak begitu detil.
Untuk liputan korupsi di kepolisian, rapat ini memutuskan untuk mengutus satu wartawan investigasi untuk masuk di tubuh kepolisian, memantau perkembangan yang terjadi di sana. Wartawan investigasi yang terpilih adalah wartawan senior, Nick McKenzie yang sudah menulis berita ini dalam beberapa edisi. Hari itu Nick tidak di tempat, karena sedang dalam penugasan.
Usai rapat, para editor bubar, dan mengejar deadline cetak pada pukul 07.00 malam. “Kami pulang pada pukul 08.00 malam tiap harinya,” kata Nicolle, editor seni dan budaya.
The Age memiliki dua divisi, yakni divisi cetak dan online. “Kami memutuskan untuk tidak mengelola TV, sebab tahun nanti TV sudah akan dikalahkan oleh internet, yang menayangkan berita sekaligus video gambar secara online. Bisnis TV akan mati perlahan-lahan,” kata redpel The Age.□

Read More..

Wednesday, September 19, 2007

Professional Visits para ALA Fellow di Australia-1

Makan Siang Bersama Anggota Parlemen Victoria

Safitri Rayuni
Borneo Tribune, Melbourne


Setelah melakukan workshop Personal Development selama satu minggu di Kota Sunburry, para Australian Leaderships Awards (ALA) Fellow untuk Economic Reporting Affairs kembali ke apartemen Quest di Lygon Street, Carlton, Melbourne. Selama dua minggu di Carlton, APJC menyediakan satu minggu (17-22 September) untuk program professional visits ke berbagai lembaga.

Kunjungan hari pertama adalah ke Harian The Age dan Dewan Perwakilan Rakyat atau Parlemen Victoria. Gedung kuno ini terletak di Spring Street 157, Melbourne. Anak tangga gedung parlemen ini mungkin jumlahnya mencapai ratusan, cukup membuat lelah ketika sampai di teras gedung.

Rencananya akan ada jamuan makan siang bersama beberapa anggota dewan di sana. Sebelum masuk ke dalam gedung, layaknya di bandara, kami harus di-scan terlebih dahulu, termasuk melepaskan berbagai atribut logam, seperti jam tangan dan ikat pinggang, sebelum melewati pintu scanning.
Setelah lolos, kami diberi tag paper V berwarna merah (warna hijau untuk pengunjung wisata dan warna merah untuk tamu parlemen). Sebelum masuk ke pintu utama, kami diberi pengarahan. Meski bebas diakses publik, di dalam gedung ini kami tidak diperkenankan untuk memotret atau merekam pembicaraan menggunakan recorder, tanpa seizin kepala ruangan.
Naik ke lantai 2, kami disambut sejumlah anggota parlemen dari berbagai partai. Mereka telah menunggu kami lengkap dengan satu set meja makan bundar yang besar, lengkap dengan peralatan makan dan minum.
Bob Stensholt, anggota parlemen untuk Burwood dan beberapa lainnya segera mengajak kami duduk. Makan siang dimulai, diselingi perbincangan dan lainnya. Sebagian besar jurnalis di ALA Fellow menggunakan kesempatan ini untuk sedikit wawancara secara informal.
Duduk di samping saya, Kim Wells, anggota parlemen untuk Scoresby. Kepada saya Kim mengaku pernah ke Gunung Kinabalu dan beberapa kota di Sumatera. Dengan antusias ia membuat beberapa peta pulau-pulau Indonesia di belakang kartu namanya. Setelah bercerita tentang Indonesia, giliran saya bertanya padanya tentang Victoria.
Secara umum kata Kim di Victoria, dengan populasi masyarakat sekitar 4,6 juta jiwa, memerlukan 38 ribu suara untuk bisa duduk di parlemen. “Di parlemen ini ada 88 kursi, dan Victoria memerlukan suara terbanyak dibanding negara bagian yang lain,” katanya.
Dikatakannya sebelumnya ada 6 negara bagian di Australia, Victoria salah satunya. “Kini ada 8 negara bagian, dan sejak 1901 semua negara-negara bagian ini berkomitmen untuk bersatu dengan Australia, diantaranya seperti Australian Capital Territory Canberra, Sydney, Tasmania, NewSouth Wales, ” katanya.
Negara-negara ini tergabung dalam Australia, namun mereka kata Kim diperbolehkan dan punya hak untuk berpisah dari negara Australia. “Dalam sejarah pernah satu kali terjadi, salah satu negara bagian barat Australia, mengancam untuk berpisah dari Australia dan bergabung ke New Zealand karena merasa tidak terima atas perlakuan tidak adil dari pemerintahan Australia. Dan ini baru pertama terjadi,” urainya.
Sementara Bob Stensholt mengatakan pada 25 nopember 2006 lalu parlemen ini memperingati ulang tahunnya yang ke-150. Undang-undang Konstitusi Victoria diproklamasikan pada 23 November 1855. “Hanya berselang sepuluh bulan kemudian, dua majelis dari parlemen berdiri di Jalan Spring ini, pemilihan berlangsung baik dan para anggota menjalani sumpah,” katanya.
Pada 25 november 1856 DPR baru Victoria terbuka kembali.
Momentum ini kata Bob adalah peluang besar bagi semua warga Victoria untuk memberikan warna bagi sejarah di parlemennya.
Ada banyak partai yang masuk, diantaranya Partai Labor, Partai Liberal, Greens dan Partai National. “Ini adalah wujud cita-cita masyarakat untuk melanjutkan bentuk demokrasi di Victoria yang baru terwujud sejak 1856,” ujarnya. Usai makan siang, kami diajak berkeliling. Tidak semua anggota parlemen turut serta. Kami hanya dipandu Hon Robert Smith, Ketua Dewan Legislatif. Ia menjelaskan tentang beberapa ruangan di sini.
Menariknya, saat kami berkeliling gedung, banyak pelajar yang juga sedang melihat-lihat gedung ini, dipandu oleh guru atau guide mereka. Parlemen ini ternyata juga membuka diri untuk tujuan wisata sejarah bagi publik.
Para pelajar dan masyarakat umum boleh mengunjungi gedung ini untuk masuk dan melihat-lihat cerita dan sejarah di dalamnya. Gedung ini boleh dikunjungi setiap pukul 10 – 11 siang, atau pada pukul 02.00 hingga 03.45 sore hari.
Kami masuk ke majelis atau ruang sidang hijau. Kamera lagi-lagi tidak diperbolehkan di sini. Ada foto ketua ruangan yang memegang gada emas sebesar lengan. “Pada zaman dahulu gada ini digunakan untuk memperingatkan para anggota sidang bila mereka terlalu berisik,” jelas Hon.
Gada dipukulkan ke benda semacam gong besar agar peserta sidang lebih tenang. “Gada ini simbol kekuasaan dan kebesaran pemimpin sidang,” katanya.
Di ruang sidang ini lah para anggota parlemen berdebat merumuskan kebijakan. “Ratu tidak boleh masuk ke dalam ruangan ini,” katanya. Di ruang sidang yang besar dan memuat seluruh anggota parlemen ini, terdapat satu kursi untuk ketua, satu kursi untuk kepala ruangan, satu kursi untuk pemandu jalannya sidang (protokoler).
Di tengah-tengah terdapat berbagai buku semacam kitab peraturan undang-undang milik negara. “Ruangan ini boleh memuat semua anggota parlemen dari berbagai kalangan, mulai grass root hingga kalangan dari sistem di british parlemen. Jika perdebatan di ruangan ini selesai, hasilnya masih akan didebatkan lagi ke ruangan sidang merah,” terangnya.
Di ruang sidang merah, hasil dari sidang sebelumnya boleh ditolak atau direkomendasikan untuk beberapa item penambahan. Di ruangan ini ratu (Queens Elizabeth) diperbolehkan untuk masuk.
“Di bawah ruangan ini juga ada penjara bagi para anggota sidang yang membuat gaduh,” kata Hon. Siapapun yang bersalah, kepala ruangan boleh membawa orang tersebut ke penjara bawah untuk dihukum dalam batas waktu tertentu.
Saat ini Hon lah bertanggungjawab dan berwenang untuk melakukan itu. “Sejauh ini sudah beberapa orang yang ditertibkan di sana,” ujarnya.
Gedung ini memiliki security yang sangat kuat. “Jurnalis yang bersikap salah dalam ruang sidang semisal menghina persidangan ini juga bias didenda dan diambil untuk masuk penjara,” lanjutnya.
Ruang ke tiga dan terakhir yang kami kunjungi adalah perpustakaan parlemen. Hampir 80 persen buku-buku di sini adalah buku politik. Ruangan dengan arsitektur klasik ini ditunjang dengan sistem komputerisasi di empat penjuru. Di tengah ada semacam meja baca bagi para anggota perlemen.
“Kami berusaha menyediakan segala jenis buku di sini, meski kebanyakan adalah buku politik. Jika buku yang dicari para anggota parlemen tidak ada, kami akan segera memesannya dan mendapatkannya dalam beberapa hari,” ujarnya.
Perpustakaan parlemen sudah berdiri sejak 14 November 1851. perpustakaan ini didirikan oleh dewan legislative yang pertama. Konstruksi bangunan pertama dibangun pada tahun 1858-1860. Perpustakaan ini berlokasi di tengah, di antara dua majelis persidangan, dan menjadi ruang pusat sosial parlemen, terkadang untuk rapat dan tempat berinteraksi sosial bagi para anggota parlemen.
“Ketua dan para anggota parlemen menemui gubernur di perpustakaan ini satu hari setelah mereka mengucapkan sumpah,” jelas Hon. Arsitektur perpustakaan ini dirancang oleh Peter Kerr, ketua komisi perancangan Perpustakaan Parlemen Victoria.
Kerr menghabiskan waktu bertahun-tahun (antara 1848-1852) di ruang kantor Sir Charless Barry, arsitek Gedung Parlemen di bagian barat Inggris.
Desain perpustakaan ini bukan satu-satunya fokus pekerjaan Kerr. Ia juga mengurus tiga ruang utama. Yakni majelis utama, serta dua ruang lain yang lebih kecil yang tergabung di dalam perpustakaan ini.
“Semula ruangan ini didesain untuk para anggota parlemen yang juga ingin merokok sambil membaca buku, tepatnya pada tahun 1861. Namun sejak 1886, larangan merokok di perpustakaan pun diberlakukan,” katanya.
Di dalam ruangan ini terdapat meja utama untuk membaca buku. Meja ini didesain oleh Peter Kerr dan dibuat berdasarkan kombinasi kayu hitam, yang diambil dari Dandenong Ranges, Victoria dan Kayu Cedar.
Perpustakaan ini juga memiliki berbagai koleksi dokumentasi kuno. Diantaranya surat kabar pertama Victoria, yang ditulis tangan oleh John Pascoe Fawkner’s. Ada lebih dari 70 ribu koleksi buku, termasuk buku karir dan fiksi di sini, sehingga para anggota parlemen dapat melakukan relaksasi dengan membaca buku yang beragam di ruang ini, setelah mereka bekerja seharian. “Gedung parlemen sendiri sudah dibangun sejak 150 tahun lalu dengan arsitektur yang kokoh dan bagus. Pemerintah menghabiskan banyak uang untuk gedung ini,” pungkas Hon. □

Read More..

Monday, September 10, 2007

Personal Energy, Kekuatan Seorang Reporter

Safitri Rayuni
Borneo Tribune, Melbourne

We have stated that this ‘War against Corruption’ has no end to it…ours will be the longest war ever fought in any small democrazy.

Ungkapan ini milik Oseah Philemon, editor Post Courier, Port Moresby, Papua New Ginea. Ia menambahkan, “My view is that the ‘war’ on corruption and all the good (journalism) courses we run..will achieve very little unless we focus on these personal skills,” katanya.

Agaknya Oseah tidak berlebihan untuk itu. Sebab hal terpenting dari kemampuan personal seorang reporter tentu sangat menentukan keseriusan pemberitaan yang ia buat. Contoh kecil yang saya buat dalam notes saya, bagaimana seorang reporter peduli akan persoalan korupsi (yang menjadi momok di setiap negara), dan menuliskannya dengan baik, menyajikan data dan fakta yang lengkap, serius, akurat, dengan semangat dan vitalitas tinggi, apabila ia tidak memiliki personal interest terhadap persoalan itu. Sebab ketertarikan akan menimbulkan energi yang luar biasa kuatnya bagi seseorang.

Melihat betapa pentingnya energi personal ini, saya jadi merenung. Mengapa saya dan enam orang peserta dari negara yang berbeda, berada di sini pagi ini? Tepatnya Senin (10/9) pagi, di lantai II Carlton Library, perpustakaan terlengkap di 667 Rathdowne Street, North Carlton.

Ada Frans, saya dan Herman dari Indonesia, Mouzinho, dari Timor Leste, Sandra, Bibian, dan Eric dari PNG, dan Cherele dari Samoa Selandia Baru.
Kami datang tidak untuk membuka literatur dan mencari data tentang apa saja di perpustakaan ini. Kami datang untuk meng-explore personality kami. Agaknya program yang dibuat Asia Pasific Journalism Centre (APJC) ini bagi saya sebagai salah satu aktualisasi dari ungkapan Oseah untuk fokus pada skills personal, dimulai dari energi personal.

Ya. Selama enam minggu di Australia, kami akan mendapat dua workshop serius terkait personality. Leadership dan Economic Reporting. “Kalian tidak selamanya menginap di Quest on Lygon, Street Carlton (meski ini adalah tempat pulang resmi selama enam minggu-ed), namun kalian juga akan menjelajah di empat tempat, di Melbourne, Sunbury, Canberra, dan Sydney,” terang Direktur Program APJC, John Wallace. “Kita akan berada di Sunbury selama empat hari, mulai pukul 4 sore ini. Saya harap perjalanan nanti menjadi pengalaman yang sangat berkesan bagi kalian semua,” timpal Alexandra Kenedy, projecy officer APJC. Mereka menamai minggu pertama sebagai Personal Development Program. Di luar jendela perpustakaan, tampak kesibukan Melbourne mulai terlihat. Kami pun tak kalah sibuknya menatap potret personal masing-masing melalui The Johari Window (Luft 1984).

Suzi Woodhouse, instruktur pelatihan pagi ini memberikan banyak gambaran baru bagi saya. Dengan The Johari Window, ia mengajak kami melihat empat kuadran personal pribadi. Seperti ‘what others know about me, dan what others don’t know about me’. Ada area blind spot juga orang tidak tahu bahkan kita pribadi juga tidak mengetahuinya. Kuadran ini banyak saya temui di berbagai pelatihan. Mulanya agak terkesan biasa.

Tetapi ternyata begitu beda. Tidak seperti pelatihan motivasi dan kepemimpinan yang pernah saya ikuti, ini sangat berbeda. Beda, karena setiap peserta memiliki sikap terbuka dan lugas mengutarakan ide dan sikapnya. Tak ada yang pasif dan malu-malu. Kritik terlontar dengan penuh etika dan kesadaran bagi yang menerimanya. Budaya keterbukaan mengutarakan pendapat, perasaan dan menghargai perbedaan, terasa damai dan menyejukkan. Iklim seperti ini amat saya rindukan. Agaknya suasana seperti ini sehat bagi iklim emosional sebuah komunitas.

Tidak sedikit jurnalis senior yang ikut di sini. Saya mungkin tergolong paling muda. Sebab umumnya mereka memiliki pengalaman jurnalistik di atas lima tahun lamanya. Walau begitu, setiap individu memberikan respek yang sama terhadap berbagai usia. Saya jadi ingat iklan sebuah rokok (Sampoerna A Mild) di TV: “Belum Tua Belum Boleh Bicara”, dan saya tertawa sendiri.

Bibian, teman sekamar saya bertanya, “What its that funny girl?” , “Oh its okay..so many things pass away in my head, I wondering you wear something like me,” jawabku menggodanya. “What is it,” ia penasaran. “Adaaa deeehh,” ia makin penasaran. Kami tertawa.

Serius tapi santai. Kami juga diajak memikirkan dunia. Kami diminta membuat daftar nilai yang patut dianut seseorang terhadap berbagai persoalan yang ada di dunia ini. Untuk menjunjung tinggi equalitas, persamaan dalam memperoleh kesempatan bagi semua kalangan, keindahan dan kelestarian lingkungan di bumi, dan kebebasan dari perang dan konflik. (www.safitrirayuni.blogspot.com)

Read More..

Hari Minggu yang Hening dan Kangguru yang Malang

Safitri Rayuni
Borneo Tribune, Melbourne

Jika di hari libur, Sabtu dan Minggu, kebanyakan orang memilih berjalan-jalan di pusat kota, tidak demikian dengan kebanyakan warga Melbourne, Victoria, kota terbesar kedua di Australia.

Orang-orang lebih memilih di rumah atau beribadah di gereja pada dua hari off day (sabtu dan minggu) ini. "Kamu lihat, sedikit sekali terlihat warga yang berbelanja di mal-mal dan factory outlet (FO) pada hari ini, kebanyakan di rumah atau di gereja," kata Alexandra Kennedy kepada saya, dalam perjalanan dari airport menuju kediaman John Wallace, pagi Minggu (09/09) itu. Tangannya menunjuk satu gereja paling besar di sini. "This is an oldest and big one," ujarnya, aku mengangguk dan terpana melihat begitu banyak warga kota beribadah di gereja ini. "So many people there!" seruku surprise.

Matanya menatap lurus ke jalan, sambil menyetir, Alex yang ramping dan cantik tampak sangat 'macho' di mata saya. Ia terus bercerita. "Nah itu lihat, kebanyakan orang Asia yang berjalan di hari ini," katanya dalam aksen Australia. Ia menunjuk beberapa FO dan supermarket. Alex adalah sekretaris John Wallace, Direktur Program untuk Asia Pasific Journalism Centre (APJC) di Australia.

Cuaca hangat pagi itu, kami tiba pukul 07.45 am atau 04.30 WIB di Indonesia. Perjalanan yang melelahkan, sekitar enam jam dari Bali. Namun begitu tiba, dan mendengar banyak kisah dari Alex, hilang segala penat saya. "Jikapun ada yang memilih ke luar kota, umumnya mereka mengikuti program sekolah bagi anak-anak, dan program studi banding dari universitas," lanjutnya.

Bahkan, kata dia, sebagian besar mahasiswa hanya off day di hari Minggu.
"Sabtu padat dengan kelas dan kuliah, walau sebagian besar memilih outdoor class," ujarnya. "Apakah di hari Sabtu ada perbedaan materi pelajaran dibanding hari lainnya?" tanya saya. "Tentu, dosen di sini sangat peduli akan hal itu. Banyak hal yang dipermudah dan disesuaikan dengan aspirasi mahasiswa, kebanyakan dosen sangat demokratis, namun tetap disiplin terhadap aturan yang berlaku secara umum," terangnya.

Kami masih terus melaju melewati pusat kota. Di depan kami, mobil John juga melaju kencang. John membawa dua teman saya dari Indonesia, Herman Lengam dari Radio Manokwari, Papua dan Frans Angal dari Flores Post.

Sebelumnya, di perjalanan sebelum tiba di pusat kota, mobil kami sempat terhenti. Sejumlah polisi berseragam biru tampak berdiri di badan jalan. Beberapa orang berseragam coklat tampak sedang mengangkat tubuh, tepatnya (maaf, bangkai) binatang dari sana. Kasihan, tampaknya tergilas kendaraan besar.

"Apa itu Alex, apa itu anjing?," tanyaku. Ia tampak berpikir sejenak, berhenti dan melongokkan kepala. "I dont know exactly, its like a kangaroos," katanya setengah yakin. Sebab melihat bentuk yang sudah tidak beraturan itu, sosok berbulu abu-abu dan besar ini tidak terlihat begitu jelas. Namun satu ekor panjang menjuntai begitu tandu diangkat. Aku yakin, itu kangguru.

Ia mencoba menjelaskan bahwa terkadang ada beberapa kangguru yang melintasi jalan pinggir Kota Melbourne. "How it can be here?" tanyaku penasaran. Kata Alex, masih ada populasi kangguru yang hidup secara alami di sebagian kecil hutan di Australia. Mereka mampu melintasi negara dan bertahan hidup cukup lama. Namun, ada beberapa kangguru yang tersasar dari kelompoknya, melintasi jalan raya dan tertabrak kendaraan besar.

"Kangguru dinilai berbahaya oleh sebagian orang, karena kakinya yang panjang dapat menjangkau jarak sekian meter bila menendang," terang Alex. Terlebih bila jalanan sepi, apabila kangguru melintas, pengendara melarikan kendaraannya dengan sedikit kencang, karena ketakutan. Tak jarang terjadi katanya, kangguru yang melintas tertabrak mobil besar atau truk.

"How poor they are," kataku prihatin. "How about koala,Alex?," tanyaku. "Oooh, its a nice and sweet one," katanya. Alex mengaku jatuh cinta pada sosok koala yang kata dia terkadang bisa ditemui di taman-taman kota dan di kebun binatang di Melbourne. "Di kebun binatang, mereka hidup bersama lebih dari 300 jenis spesies liar di sana," terangnya.

Pukul 09.00 am. Kami tiba di Amees Street Carlton North nomor 90, Victoria. Rumah John dan juga Kantor APJC. Bangunan rumah hunian pribadi di sini tidak begitu besar dan tinggi seperti rumah di Pontianak. Kalaupun bertingkat, desain dan halaman dibuat sangat minimalis. Bangunan besar hanya untuk apartemen dan toko.

John memiliki taman di belakang rumahnya. Banyak tanaman tropis di sana, seperti pakis, nanas dan sedikit kaktus. Karena pernah ke Jakarta beberapa lama, John agak fasih berbahasa Indonesia. Kami minum teh dan sarapan dengan roti pagi itu. John tampak antusias dan tak sabar bercerita tentang surat kabar di Victoria. Ia menujukkan beberapa eksemplar surat kabar kepada kami. Cerita tentang surat kabar di sini akan ada pada bab selanjutnya. Juga tentang perjalanan ke Kampus Victoria di Sunbury, perjalanan satu jam dari Melbourne. Kalau dunia tidak kiamat (mengutip ungkapan yang sering dilontarkan Bung Nur Is) dan internet tidak macet tentunya. (www.safitrirayuni.blogspot.com)

Read More..

Tuesday, September 4, 2007

Makalah workshop LAPMI

Telaah Singkat Teknik dan Penulisan Berita

Safitri Rayuni, SP

Disampaikan sebagai materi Pelatihan Jurnalistik Lembaga Pers Mahasiswa Islam Himpunan Mahasiswa Islam (LAPMI HMI) Cabang Pontianak, Sabtu (1 September 2007).

Di dalam kitab Vademekum Wartawan (1997), masalah terakhir dalam reportase dasar, yaitu BAGAIMANA MENULIS BERITA. Inilah bagian yang paling tak mungkin dibicarakan secara sistematis seperti bagian-bagian lain. Meskipun demikian, akan diberikan sekadar pokok-pokoknya.

Setiap orang dengan keunikannya memiliki teknik berbeda dalam penulisan. Latar belakang pendidikan, guru tempat menimba ilmu, juga pengalaman akan membentuk semua itu. Satu hal, Anda adalah orang merdeka yang boleh menyuarakan apa saja dalam tulisan Anda.
Meski ada pakem-pakem dan etika menulis yang membatasi Anda sebagai individu, penulis dan bagian dari komunitas sosial (baca Sembilan Elemen Jurnalisme, Bill Kovach)
Secara alami, setiap orang memiliki naluri bercerita, baik lisan atau tulisan.
Berbagai peristiwa yang dialami setiap hari bisa menjadi suatu tulisan menarik.
Umumnya, penulis dan wartawan (rekan-rekan dan kenalan saya) punya buku harian (diary). Kebiasaan menulis buku harian ini sangat baik untuk seorang penulis, di samping kebiasaan baca tulis yang ditanamkan orang tua sejak kita kecil.
Lima tugas seorang reporter tentu sudah dibahas pada sesi sebelumnya (teknik reportase dan wawancara). Lima tahap ini merupakan rangkaian organis yang jadi kaidah pekerjaan seorang reporter.

Bagaimana menentukan LEAD atau INTRO?
LEAD atau INTRO adalah bagian awal dari berita.
Satu alineanya sebaiknya tidak lebih dari 35 kata (30 kata dalam bahasa Inggris) di dalam lead inilah tercakup secara singkay keenam unsur berita. (5W + 1 H)

Hubungan antara LEAD dan SUDUT BERITA memaksa reporter untuk memikirkan LEAD sejak masih di lapangan.
Bahkan penentuan LEAD di lapangan akan sangat membantu mengarahkan pengumpulan bahan.

Nah, untuk memperkaya pengertian tentang memastikan sudut berita dan memastikan sudut berita dan menentukan lead, silakan Anda baca koran hari ini. Carilah mana yang menurut Anda cocok ditulis dari sudut PEG dan dengan LEAD PEG dan mana yang tidak.

16 macam LEAD: (Anda boleh melakukan penambahan, sesuai inovasi)
1. Lead pasak (peg)—penyebab peristiwa menjadi pembuka berita
2. Lead kontras (sisi-sisi kontras dari suatu peristiwa utama dengan keadaan sekitarnya)
3. Lead pertanyaan (Cari sebab mendasar yang bisa diajukan sebagai pertanyaan untuk memulai suatu berita)
4. Lead deskriptif (menggambarkan peristiwa seperti secara deskriptif, detil dan runut)
5. Lead Stakato (cari sudut berita yang dijadikan lead, gunakan salah satu sampel)
6. Lead Ledakan (sensasi dari suatu peristiwa diangkat di awal berita)
7. Lead Figuratif (Membingkai peristiwa dengan bahasa ungkapan, eks: bagai siang memeluk malam, begitulah perkawinan Firman (28) dan Fiola (82)……dst
8. Lead Epigram (gunakan banyak ungkapan, atau rumusan yang khas dan terkenal di dalam kehidupan masyarakat)
9. Lead Literer (Menjadikan karya sastra atau legenda yang dikenal rakyat untuk memulai mengantarkan peristiwa)
10. Lead Parodi (Sudut humor ditonjolkan dalam mengangkat berita di awal cerita)
11. Lead kutipan (dimulai dengan kutipan yang menarik)
12. Lead dialog/percakapan (dimulai dengan adegan percakapan)
13. Lead kumulatif (tiap kalimat atau alinea secara ketat membawa pembaca ke arah rasa ingin tahu yang makin besar sampai pada kesimpulan puncak, menyajikan berita secara berurut, membawa pembaca sampai pada antiklimaks peristiwa)
14. Lead suspensi (klimaks peristiwa tertunda hingga titik akhir)
15. Lead urutan (idem ditto)
16. Lead sapaan (eks: Rizki sayang, di dalam … atau pembaca, mungkin Anda)….dst

Setelah menentukan LEAD, kita perlu menginventarisasi jenis-jenis keterangan yang telah dikumpulkan di lapangan, yaitu JALAN CERITA dari PERISTIWA yang hendak Anda laporkan. Hasil inilah yang perlu dibongkar pasang sampai terasa pas dengan JALAN CERITA yang ditemukan. Itulah pula yang jadi sub judul dari berita.

Read More..

Saturday, September 1, 2007

sekelebat asa dalam sepetak tanya

masih lima hari, itu pun aku masih menanti-nanti
kapan kebersamaan yang sisa lima hari ini bisa kurengkuh bersamamu
sebelum akhirnya aku terbang ber mil-mil jauhnya dari sini

menurut jadwal
enam minggu lamanya
tapi usia manusia
siapa jua lah yang tahu

setidaknya aku ingin
sedikit mendramatisir suasana batin ini
kekasihku

bahwa aku
ingin sungguh-sungguh menghayati
waktu-waktu aku di samping mu
memandang matamu
dari dekat

dan kau kubiarkan memandang
wajah ini
wajah yang cukup sering membuatmu
bertanya-tanya
sedalam apa arti cinta ini dapat kumaknai
wajah yang mungkin saja usianya tak kan lama

kembali.....ketika kita bicara usia
air mata kita selalu berurai
entah kita...ataukah aku?
tapi kesedihan dan haru
tak selalu bisa dibahasakan dengan air mata
tawa yang menghias di wajah
terkadang jua tangis yang menggelegak
bergemuruh seperti anak sungai menyapa muara

tidurlah sejenak kekasihku
dalam buai hangat ujung dadaku

Read More..