*Dari Diskusi Meliput Tambang dan Bisnis
Safitri Rayuni
Borneo Tribune, Pontianak
Isu pemanasan global, deforestasi, social forestry dan disaster bukan hanya persoalan di tingkat elit. Demikian menurut Tadheus Yus, Provintial Coordinator EC Indonesia, membuka pembicaraan pada diskusi Meliput Tambang dan Bisnis, Senin (7/1) kemarin.
“Insan pers menjadi pilar untuk membuka kesadaran publik tentang pentingnya pelestarian lingkungan. Menggugah kesadaran tentang tanggung jawab dalam diri masyarakat, sehingga kritis terhadap persoalan serius dari kerusakan LH yang mengancam mereka,” ungkapnya.
Diskusi yang dirangkai dengan launching buku ‘Covering Oil’ terbitan Yayasan Pantau ini dihadiri puluhan insan pers. Selain Tadheus Yus, menjadi panelis, Andreas Harsono, Direktur Pantau Foundation, dimoderatori Nur Iskandar, Pimred Borneo Tribune.
Tampak hadir diantaranya Kepala Bapedalda Kalbar, Try Budiarto bersama tiga stafnya, Bapedalda Kota Pontianak Muhammad Hairul Anwar, Kepala Kantor Berita Antara Pontianak, Nurul Hayat, Wartawan Kompas Wahyu, Aseanty Pahlevi dan Mella Dani Sari dari Pontianak Post, Kusmalina dari Kapuas Post, aktivis pers kampus Mimbar Untan, Ketua LPS AIR Deman Huri Gustira, Direktur WWF Kalbar Hermayani Putra, dan koordinator Heart of Borneo WWF, Bambang Bider, serta Bacilius Hendy Chandra dari WALHI.
Tampak pula wartawan senior HA Halim Ramli, mantan anggota DPRD Kalbar Andreas Acui Simanjaya, Pemimpin Radio Divasi Zulfydar Zaedar Mochtar dan puluhan peserta lainnya.
Terkait isu lingkungan hidup dan ekonomi, Andreas Harsono memaparkan cerita tersendiri. Tepatnya dua bulan lalu ia bertemu seorang konsultan bisnis yang tinggal di Singapura. Mereka makan siang bersama. Konsultan ini sedang membantu pemerintah Jakarta menjual dua atau tiga BUMN. Si konsultan menolak menyebut BUMN mana saja yang mau dijual tersebut
Namun, si konsultan sebagian besar wilayah target investasi penawarannya berada di Pulau Jawa. “Saya tanya kalau investasi di Pontianak bagaimana?” kata Andreas. “Who wants to go there, tidak ada investor yang mau masuk ke sana, there are great fire and great violence in Pontianak,” jawab si konsultan.
“Cerita tadi mencerminkan apa yang terkait cerita kita hari ini, isu lingkungan hidup dan isu ekonomi,” terang Andreas. Andreas juga menyinggung wartawan ekonomi dan bisnis jarang menghitung green GDP (gross domestic product yang menghitung kerusakan lingkungan). “Buku ini hanya tambahan bacaan kecil bagi wartawan bisnis maupun aktivis LH dan mahasiswa,” ujar Andreas.
Yang menarik satu segmen dari buku ini lanjut Andreas, yakni seorang peraih nobel ekonomi Joseph Stiglitz yang mengeluarkan ungkapan membingungkan para ekonom. Mereka menyebutnya sebagai ‘kutukan minyak atau kutukan sumber daya alam’, di mana negara yang memiliki tambang minyak selama 40 tahun terakhir, bukannya bertambah kaya namun semakin miskin.
Terjadi gap yang semakin tinggi. Dimisalkan Nigeria, penghasil minyak di tahun 1973, pendapatan perkapitanya 302 USD, di tahun 2002 atau 30 tahun kemudian, turun menjadi 254 USD. Contoh lain, Saudi Arabia. Penghasil minyak terbesar tahun 1981 ini memiliki income per kapita 28.600 USD/kapita. Enam tahun lalu turun jadi 2.800 USD per kapita.
Mengapa? Menurut buku ini ada 4 hal yang mempengaruhi, yaitu ketidakstabilan harga sumberdaya alam, minyak, berlian dan sebagainya. Jika harga minyak tidak stabil, terjadi ketidakdisiplinan terhadap anggaran negara dan sering diubah-ubah.
“Ada suatu penyakit yang disebut Dutch Disease (penyakit Belanda), di mana mata uang lokal nilai tukarnya makin hari turun,” ujar Andreas seraya meyakini bahwa semakin bermutu jurnalisme, semakin bermutu pula informasi yang diperoleh warga. “Makin bermutu koran-koran makin bermutu keputusan yang diambil oleh masyarakat. Makin kacau mereka, makin besar apinya,” tukasnya.
Penyakit ketiga perlunya keahlian-keahlian khusus. Sedangkan penyakit yang keempat pengelolaan pajak. Keahlian khusus menyebabkan tenaga kerja banyak yang menganggur digantikan mesin, sedangkan pajak kecil, banyak kebocoran pula.
Hendy Chandra, dari WALHI Kalbar, pada forum ini mengamini hal tersebut. “Sesuai dengan konteks hak atas lingkungan hidup adalah hak asasi atas manusia, pers sebagai pilar perubahan merupakan sesuatu yang penting mempengaruhi warga,” katanya.
Ia menilai di Kalbar lebih didominasi fungsi ekonomi, ketimbang sosial dan ekologi dalam pengelolaan SDA. “Tren kerusakan LH di Kalbar yang amat patut disimak adalah tren konversi hutan untuk perkebunan monokultur, akibatnya bencana kabut asap, ada praktik illegal logging, PETI yang semakin hari semakin marak,” katanya.
Sementara Hermayani Putra, dari WWF menilai isu religiusitas, refleksi dari krisis teologi. Kesalehan individual seseorang, tidak terefleksikan dalam kesalehan lingkungan. “Para pelaku kejahatan LH adalah orang-orang yang rajin mendonasi kesejahteraan mereka terhadap lembaga keagamaan. Donasi pun diterima dengan tangan terbuka. Pesan untuk media, bagaimana mengkritisi praktik ini, sehingga publik tidak lagi terjebak pada pemerintahan yang manipulatif, oleh individu-individu yang dibesarkan pula oleh media,” katanya.
Point dari itu semua menurutnya adalah bagaimana membangun media, NGO, mahasiswa dan tokoh masyarakat untuk bersinergi, agar terbangun agenda politik terhadap masa depan Kalbar. “Saya berharap media-media yang mengklaim besar di Kalbar tidak mengintroduksi budaya kekerasan, karena sampai sekarang saya belum berlangganan media-media lokal khawatir bahasa dalam media tersebut terbawa ke rumah dan mempengaruhi anak-anak saya,” pungkasnya.
Deman Huri Gustira dari LPS AIR mengatakan, kita sepakat bahwa dalam membangun perubahan suatu daerah, media berperan penting. Di lain pihak media akan menghancurkan sebuah daerah ketika informasi yang disampaikan berbeda dari yang terjadi di lapangan.
“Bahwa sesungguhnya nilai secara positivisme, cover both side, global warming dan lain sebagainya sangat menyesatkan dan tidak sesuai fakta, hak-hak masyarakat sangat jarang diberitakan dan dimarginalisasikan sebagai sumber dokumen data dan sebagainya, ini berdampak pada keputusan pemerintah yang lagi tren,” ungkapnya.
Wartawan tiga zaman, HA Halim Ramli mendukung peningkatan mutu SDM wartawan. Untuk liputan lingkungan hidup katanya dibutuhkan integritas dan disiplin ilmu yang khusus. Upaya seperti diskusi liputan lingkungan hidup sangat membantu. “Para ahli juga perlu mengisi ruang opini yang disediakan setiap media,” sarannya untuk pakar mengisi kekurangan pengetahuan wartawan atas isu-isu lingkungan atau penulisan yang kurang mendalam.
Wartawan Kompas, Wahyu mengatakan untuk mewujudkan pers yang baik, perlu membuka peluang untuk kritik, khususnya isu lingkungan. “Butuh pemetaan bersama persoalan lingkungan di Kalbar itu apa, misal kabut asap, PETI dan illegal logging, apa yang harus didorong oleh media. Perlu kerangka berpikir bersama mengenai pemberitaan LH di Kalbar,” kata dia.
Zulfydar menilai, ada kontradiktif terhadap tren politik, sosial, hukum. Lingkungan hidup dinilai kurang menarik. “Saya menduga isu ini ada kontradiktif dengan kepala daerah. Apa yang harus kita lakukan? Membuka pikiran untuk berbeda. Ada gerakan bersama, bisa lewat masyarakat adat, gerakan bahasa, misal bahasa daerah yang menarik buat anak-anak, karikatur, dan pengambil kebijakan,” katanya.
Aktivis WWF, Yuliantini, menceritakan pembuatan skripsi tentang Valuasi Ekonomi dan Budaya yang mengambil studi sub DAS Sibau dan Mendalam di TNBK, di mana ada rencana untuk konversi sawit di lokasi tersebut. “Masyarakat di sana memanfaatkan air untuk semua aktivitas, dan banyak sekali hal-hal yang kita hitung. Ternyata jika dikonversi maka triliunan yang akan hilang,” katanya menyinggung social cost yang harus diderita pasca pengelolaan lingkungan hidup.
Bambang Bider, Koordinator Heart of Borneo WWF juga menimpali. Menurutnya lingkungan hidup menyentuh spektrum yang sangat luas. “Sering kita hanya melihat dari persoalan masalah saja, ketika terjadi kabut asap, kita memberitakan kabut asap, tetapi ketika akan membicarakan spektrum yang lebih luas seperti pengalaman dunia luar, jika ingin menjadi wartawan LH tidak cukup teknisi tetapi juga pemikir,” ungkap mantan wartawan The Jakarta Post ini.
Andreas Acui Simanjaya menilai basic pengetahuan tentang suatu permasalahan menjadi penting sebelum wartawan menulis suatu masalah. “Jika tidak akibatnya kabur dan distrorsinya besar. Pandangan wartawan mengambil angle sangat penting,” ujarnya.
Muhlis Suhaeri dari Harian Borneo Tribune mengungkapkan ada suatu sistem di media sendiri yang banyak tidak diketahui publik. “Dalam berbagai pertemuan di Jogja, Bandung dan Jakarta, ada satu yang terpetakan dari permasalahan wartawan daerah dan nasional,” katanya. Ketika wartawan berada di media nasional yang besar, yang memang punya wartawan banyak, punya suatu standar peliputan dengan isu besar tidak akan mengalami kendala. Lain halnya media lokal yang dari segi pendanaan tidak terlalu besar.
Bekerja sama dengan suatu lembaga tentu akan mempengaruhi independensi, dan apakah media juga menyediakan ruang yang lebar untuk melepas wartawan intens melakukan liputan mendalam tanpa mengerjakan liputan lain. Ini disebutkannya sebagai sejumlah kendala kenapa tidak muncul suatu tulisan investigasi yang sebenarnya bisa digarap oleh suatu media.
Dijawab Andreas, pada tahun 1995, ia yang bekerja untuk The Nation di Bangkok, koran dengan oplah 55 ribu eks per hari, juga memiliki keterbatasan dana. “Uangnya juga terbatas, tidak mungkin saya meliput dari Sabang sampai Merauke. Sangat berat. Namun redaktur saya mengatakan, di dunia ada tren ‘non profit reporting’. Artinya cukup banyak lembaga di negara maju, seperti Jepang, AS, dan Canada yang menjadi funding bagi wartawan yang mau memberikan bantuan,” katanya.
Muhammad Hairul Anwar, dari Bapedalda Pontianak mengungkapkan sedianya pemerintah bisa memberikan award (penghargaan, red) kepada wartawan yang bersedia menulis dengan baik. Ide ini disambut aplaus. Namun menurut Andreas, akan lebih baik juga media memberi penghargaan kepada pemerintah atau pejabat yang peduli lingkungan hidup.
Di penghujung diskusi, Andreas mengulas akan ada suatu media besar dari Kompas Gramedia Group, pesaing Jawa Pos Group yang akan segera masuk Pontianak.
Setiap perkembangan media selalu mendapat kontribusi, kecintaan, iklan, langganan dari masyarakat, karena media tersebut adalah milik publik. “Sehingga kadang merasa jengkel bila pemilik media sok-sokan. Karena sebenarnya media adalah milik publik, dan publiklah yang membesarkan mereka. Anda sah untuk mengkritik media. Saya mohon wartawan itu dikritik, karena wartawan juga manusia,” tandasnya. □
Tuesday, January 8, 2008
Jurnalisme Bermutu Penggugah Kesadaran Pentingnya LH
Diposting oleh Safitri Rayuni di 12:07 AM
Label: lingkungan, media dan jurnalisme
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Salam kenal,
nama saya eriek. saat ini saya tinggal di Bandarlampung. menarik sekali diskusinya mba. diskusi seperti ini pernah saya ikuti ketika diadakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung. Saat itu mengundang seorang aktivis JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) dari Jakarta. tapi, saya lupa namanya. hehe..
saya sempat mendapatkan bukunya "Covering Oil, Panduan Wartawan Meliput Energi dan Pembangunan". untungnya gratis :-) ada sejumlah jurnalis diundang saat itu.
salam kenal juga Eriek,
PANTAU memang lagi road show
untuk membuat diskusi-diskusi serupa (lengkapnya program tsb kamu bisa tanya mas AH), termasuk launching n bagi-bagi buku Covering Oil tsb
Post a Comment